Selasa, 27 Desember 2011

---Tentang Kepala Yang Sakit---

Makassar, 24 Desember 2011

Tiga hari baru saja berlalu, saat mengantarnya pulang dari kampus. Pada waktu itu, ia di daulat jadi asisten bagi mahasiswa FKM asal Gorontalo yang datang praktek di laboratorium bersama FKM Unhas. Sebelum berangkat ke kampus, ia memberi tahu saya lewat sms kalau keadaannya lagi kurang fit. Ia mengalami sakit kepala dan sedikit mual. Awalnya saya menganggapnya sakit biasa, dan tak jadi soal. Dan dia pun menganggap demikian. Ia memaksakan diri berangkat ke kampus, sebelumnya terlebih dahulu ia singgah di tempat kerjanya. Di Rumah Sakit Pendidikan Unhas.
Ada cerita lucu ketika dia singgah. Ia ditegur atasannya karena memakai celana jeans. Dia sms ke saya “ Sayang, ditegur ka karena make celana jeans ke kantor.” Membaca sms itu, saya hanya bisa tersenyum geli. Saya tak bisa membayangkan mukanya pada saat di tegur. Pasti lucu. Ato malah sebaliknya, menyeramkan. Saya tahu, pasti dia sangat malu ditegur meski itu hanya teguran sepele. Tokh memang tujuan awal dia mau ke kampus, bukan ke kantor. Bagi saya, itu taka pa. Saya memberi tahunya lewat sms agar tak usah memikirkan soal tadi. Angap aja itu hal speele, keluar telinga kanan masuk telinga kiri.
Belum lupa saya akan kejadian tadi, di hp tiba2 berdering. Saya membacanyta. Saya melihat ada sms dia. Dia bilang kalau keplanya tambah sakit, ia juga sempat muntah. Dia meminta antuan saya untuk membelikan obat pereda nyeri. Tapi saya tak membelikannya, saya justru membelikannya obat maagh. Saya piker mungkin dia maag, makanya muntah. Saya membelikan juga susu, mungkin tadi pagi dia belum makan.
Di kampus saya menemuinya di lt.3, saya lihat mukanya sedikit pucat. Kasian dia. Padahal sehrusnya hari ini dia sehat, dia harus sehat agar bisa bisa menuntun praktikan dengan lebih baik. Tapi sayang, Tuhan mungkin terllau menyanyaginya. Saya meberikan obar dan susu yang saya bwa. Dia bertanya, kok obat maag? Saya bilang, tadi saya naya sama apotekernya kalau sakit kepa gak ciocok minum obat pereda nyeri. Dia mengeti juga rupanya. Dia kemudian msuk kembali tanpa lupa bilang terimaksih. Kata terimaksh dari mulutnya paling syaa benci. Seolah-olah apa yang saya lakukan membutuhkan pamrih. Saya tahu, pada saat saya menyatakan suka padanya, pada saat itu pula kewajibab menjanya melekat. Saya berjannji untuk menjaganya, dalam suka maupun duka. Meski saya tahu, saya belum bisa menjaganya secra ituh. Ada wilayah-wilayah yang tak bisa saya langgar. Kami belum resmi secara syah menjadi sebuah pasangan. Kami belm legal sebagi sebuah suami istri. Saya coba membatasi diri.
Sememtara dia melanjutkja kegiatanya, saya turun menuju perpustkaan. Sambil menunggu, siapa tahu dia ambah parah. Kalau saja tambah parah, saya kan memintanya pulang dan minta dia izin keatsannya. Saya takut dia apa-apa. Saya menunggu dengan was-was. Belum cukup 1 jam saya di perpust, dia membritahu say lewat sms klaau dia mutah lagi. Dia meminta sya ke atas, dan seklaigus mengantar pulang. Dia sudah tak tahan sakitnya. Saya buru-buru menuju lantai 3. Menemuinya. Tapi tak saya lihat. Agaknya dia masih di dalam. Say meng-sms dia agar keluar. Tapi sms nya tertunda. Jaringan lagi error. Beberapa menit kemudian, alya, teman nya yang juga teman saya, menelpon saya gar datang menjempunya di lt.3. saya bilang saya ada di lt.3. beberpa detik kelmudian saya melihat dia di depoan pintu,dengan muka yang snagat pucat. Saya menghampirinya. Dan bilang supaya dia siap-iap untuk pulang saja. Dia msuk sebentar mengambil tasnya. Dan kemi sama-sam turun dari lantai 3. Waktu itu, saya ingin seklai emmapahnya, tapi saya tak berani terllau jauh, tak enak nnati kalau da orang lain atau siapa yang melihat. Nanti bisa menimbulkan fitnah. Saya tak mau itu.
Saya mengantar di apulang dengan motor butut, motor kesayangan ku. Di tengah jalan, dia menyandarkan kepal anya pada bahu ku. Saya kasian dia. Agaknya kepalnya sakit sekali. Mukanya tambah pucat. Kami lmelewati jalan tanpa helm. Dan diseberang jalan ada polisi. Dengan sok saya menatap polisi itu, dan dia terlihat was-was, kalau saja polisi itu mengejar. Tapi saya ingatkan kalau tak usah khwatir. Saya kebal polisi, kataku menenangkan.
Kami ampai di rumahnya. Sebelum turun, saya mewanti dia agar lekas makan dan langsung tidur. Sgaknya dia capek. Sousinya ya iistrahat. Hanya itu cara paling jitu. Di jalan, saya was-was kalau terjadi apa2 dengan dia, say takut kehilangan dia. Saya tahu, saya mencintainya melebihi diriku. Say merindukannya bahkan dihampir tiap perpindahan jarum detik jam. Saya tak tahu, apa bisa kau hidup tanpamya. Aku merindukannya.
Siang itu dia istrahat. Saya meg sms dia pada sore hari. Mennayakan tentang sakitnya. Alhamdulilah sudah cukup sehat, dan tak terllau sakit. Say amnegucap syukur pada tuhan, karena telah menyembuhkannya hari itu. Terimakasih Tuhan, kalu telah menyembuh kannya. Begitulah sekelumit cerita kami tentang kepal yang sakit.

---Fajar Itu Disana, Di Sudut Bola Matamu---

Makassar, 10 Desember 2011 Pukul 23.00 Wita

“Kami menjalaninya dengan resmi pada suatu malam yang panjang, di sebuah café, Makassar Town Square. Saya merasa, malam itu awal dari sejarah yang akan kami ukir, minggu 10 Desember 2011 pukul 20.00 Wita.”

Sore hari, seperti biasa, ada deringan nada getar dari Hp butut merek Nokia N1200 yang saya simpan tergeletak di atas tempat tidur kusam. Saya belum lagi bangun dari pembaringan. Dua minggu belakangan ini segala aktivitas hancur berantakan. Entah kenapa, semenjak kehadiran dia, aku tak bisa menjalani semuanya dengan benar. Semua daya pikiran terfokus padanya. Padahal saya belum memilki hubungan apa-apa denganya.
Saya dengan mata sedikit terpejam, membuka sms itu dan terkaget saat melihat dia mengajak saya keluar. Saya seketika terbangun dari tempat tidur, pergi ke kamar kecil sekaligus mencuci muka. Saya buru-buru kembali ke kamar dan meraih hp di atas meja. Saya membuka kembali sms tadi, siapa tahu salah baca, atau tadi saya lagi ngigo. Berkali-kali saya buka itu sms, hasil nya tetap sama, yang terbaca “Malam minggu keluar yuk, ke Popsa.”
Saya sebenarnya sudah tak ingin berhubungan dengannya, cukup saja persoalan 2 minggu lalu membuat saya kapok. Ya, waktu itu saya memutuskan untuk tidak “mengejarnya” lagi, lantaran dia menolak meresmikan hubungan menjadi sebuah ikatan resmi bernama pacaran. Saya berpikir, itu semacam cara paling halus dari sebuah penolakan. Saya paham itu, sangat paham.
Dengan hati yang agak berat, saya mengatakan “ya’. Saya berpikir, tak ada salahnya saya menemaninya, tokh mungkin ini cara saya melupakannya dengan tak lari darinya. Saya tahu, semakin saya melupakan dia, semakin sadar, perasaaan ini tambah besar. Rindu saya bertambah. Ini rindu terlarang bukan? Tapi persetan, saya siap mencintainya dalam diam, mencintainya dengan kesendirian. Mencintai kan tokh tak harus memiliki? Cinta itu adalah bagaimana cara kita merelakan semuanya, berjalan sesuai kenyataan.
Jeda antara dia sms dengan waktu pertemuannya adalah dua hari. Jeda waktu itu, saya berpikir keras, pergi tidak ya? Pergi berarti siap mengingat kembali dan membuat rasa ini makin menggebu. Tidak berarti lari dari kenyataan. Semua serba rumit.
Saya menjemputnya dengan persiapan ‘matang’, dengan celana yang masih basah. Sudah tiga hari ini hujan terus, celana itu saya cuci kemarin, saya berpikir, celana ini akan kering tepat saat saya akan berangkat. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Celana itu masih basah, serius, masih basah. Meski begitu, kretivitas tak lantas hilang, saya mengambil jalan pintas, dengan menyetrikanya. Tapi mungkin dasar lagi apes, listrik lagi tak bersahabat. Tenaga listrik tak bisa menghanagtkan setrika, tegangan seharian itu lagi turun. Bayangkan saja, bagaimana paniknya saya. Saya tak boleh tampil seadanya. Saya harus tampil perfek, paling tidak saya berusaha. Berusaha membuat dia terpikat. Itulah cara pecinta yang naïf belajar bagaiamana menghargai perasaan dan kata hati.
Sore itu saya menjemput di rumahnya, tepat setelah kami sholat magrib. Dengan keyakinan penuh meluncur menuju rumahnya. Sesampainya disana, saya sms dia kalau udah nyampe. Dia keluar dengan, seperti biasa, senyuman yang selalu membuat saya mati kutu. Saya suka mengatakan itu sebagai seyuman maut. Senyuman mematikan, sebab apalagi bertingkah, berkutik saja hati saya sudah tak mampu.
Sebelum berangkat, saya disuruh masuk, orang tuanya mau kenal saya. Saya memang pernah bilang, “kamu kasi kenal saya ma ortu mu dong.” Biar saya enak bawa kamu pergi keluar. Tapi apa yang terjadi, saya kaget minta ampun, dia mirip mama saya. Atau itu hanya halusinasi … ya sudah, lewat aja.
Kami tak jadi ke tempat tujuan awal, sebab sore itu lagi hujan rintik, kami kemuadian memutuskan menuju Makassar Town Square (Mtos), kami sepakat datang nonton aja malam itu. Tapi sesampainya di studio, kami tak jadi nonton, waktu itu, dari list film yang ada, tak ada film yang membuat kami sepakat untuk menontomnya. Filmnya tak ada yang berkualitas. Semua film tentang pocong dan hal turunannya. Pokoknya tak ada! Titik!
Kami keluar dari studio, menuju toko buku yang ada disebalah, kami keliling mencari judul buku yang berkualitas. Tapi kami tak menemukannya. Ditempat itu, kami bercerita, dan saya agaknya merasakan hal lain, dia memegang dan sedikit manja. Saya awalnya menganggap itu sebagai hal biasa. Ya sudah, kami terus keliling sambil bercerita tentag suatu hal, tentang filsafat lah, tentang cinta, agama.
Sekira 40 menit kami berjalan disitu, kami memutuskan untuk turun ke lantai satu. Saya mengajak dia untuk jalan-jalan di luar saja, entah itu balapan dijalan melepas penat, ke pantai, atau kemana aja. Tapi ternyata langit sedang tak bersahabat, hujan masih rintik. Kami kemudian memutuskan naik ke atas, ke lantai tiga, menuju kafe. Dia bilang, ingin bercerita tentang suatu hal yang serius. Saya waktu itu, tahu apa yang akan dibicarakan. Tapi saya harus bersikap ‘kalem’. Tokh saya sudah janji tak akan memaksanya lagi untuk meresmikan hubungan. Saya tak ingin jadi lelaki egois dan arogan. Saya cukup satu kali diberi tahu.
Tapi dia mengawalinya sendiri. ‘Bagaimana kalau kita resmikan.”. maksudnya? Saya kemudian menjawab dengan sedikit pura-pura ‘bego’. Ada banyak hal yang kami bahas di tempat itu, termasuk mendengar curhatnya yang gak penting, gak penting karena bikin saya jadi gak enak hati alias jeales.
Tapi saya mau juga mendengarnya. Tak apa. Ini konsekuensi. Kami banyak bercerita, termasuk soal bagaimana hubungan kami ke depan, tiga bulan lagi saya harus pergi jauh, mengejar cita yang sempat tertunda. Setelah semua kami bahas, kami pun bersepakat mendeklarasikan hari itu sebagai hari jadian kami. Tanggal 10 Desember 2011 pukul 20.00 Wita. Itulah awal dari sejarah itu, sejarah yang akan terukir kelak. Saya sangat bahagia. Tak tahu, masih adakah hal di dunia yang membuat saya bahagia setelah malam itu. Wallahualam.
Tapi ada satu hal yang saya tangkap dari dia, ada keraguan d matanya. Pada secercah kalimat yang dia utarakan, tersembunyi keraguan yang menggunung. Saya maklumi, saya orang jauh. Bahkan lebih jauh dari yang diperkirakan. Sebab meskipun kami telah kenal sudah hampir enam tahun, tapi saya baru benar-benar mengenalnya 2 bulan belakangan ini saja. Saya menganggap keraguan itu merupakan hal wajar. Tinggal ke depan, saya mesti membuktikan kalau saya bisa dia percaya. Titik!
Malam itu, saya menjalani dengan indah, tak tahu dia, apakah mengalami hal yang sama. Semua masih misteri bagi saya. Saya juga malu menanyakannya.
Tapi ada satu hal yang perlu dia tahu, bahwa bagaimana pun, anugrah cinta yang Tuhan titipkan akan saya jaga dengan baik. Saya kan memupuknya, terus merawatnya hingga menjadi besar, seperti pohon-pohon di hutan Amazon sana. Saya berjanji pada diri untuk menghargai rasa yang dia simpan pada sudut kamar hati ku. Saya mencintainya dengan tulus, ingin memilikinya dengan pretensi tapi saya paham, semua itu harus dijalani dengan perlahan.
Semua itu mesti dijalani dengan hati-hati, sebab didepan ada banyak kerikil tajam menghadang. Saya bilang padanya, kita mesti saling menguatkan kalau hubungan kita mau langgeng. Hanya itu cara saya untuk mengingatkannya. Saya yakin, pada suatu titik kenangan itu, pada sebuah perjalanan panjang nan melelahkan. Saya yakin pada fajar disana, di sudut bola matanya yang jujur, tujuan itu bersembunyi dengan lugunya, ya, pada dirimulah saya akan datang kelak, mencuri kembali hartaku yang telah kau rampas. Sayang, maukah kau menjadi istriku?

Kamis, 02 Juni 2011

Membincang Kembali Teori Evolusi

Dihari ketika Charles Darwin diminta Beagle, mahagurunya untuk berlayar mengelilingi dunia, ayahnya seketika menolak. Alasannya sederhana, perjalanan itu hanya dalih Darwin untuk lari dari pekerjaan serius. Tapi Darwin beruntung, berkat kemampuan Bealge meyakinkan ayahnya ia kemudian diberi ijin. Inilah tonggak awal bagi perjalanan ilmu pengetahuan barat.

Waktu itu, Darwin baru berumur dua puluh dua tahun. Darwin berangkat berlayar diatas kapal H.M.S Beagle tahun 1831. Lima tahun Darwin mengarungi dunia, dua pertiga waktunya dihabiskan di darat. Ia menyusuri pantai Amerika Selatan, menyelidiki pulau Galapagos dan menembus pulau-pulau Pasifik, samudra Hindia hingga selatan Samudra Atlantik. Dan kita tercengang: ‘pemalas’ ini berhasil mengguncang dunia.

Selama berlayar, Darwin membaca buku Charles Lyell, Princip of Geology. Buku itu berisi penjelasan penampilan geologis sebagai akibat proses bertahap selama proses yang panjang. Selama perjalanan, ia banyak menyaksikan keajaiban alam. Ia mengunjungi suku-suku primitif, menemukan fosil-fosil, meneliti tumbuhan dan juga binatang. Buku itu sangat membantunya, hingga suatu saat ketika ia mengirim surat ke keluarganya, “saya menyaksikan tanah-tanah seolah-olah saya mempunyai mata Lyell.”

Ia mencatat secara rinci dan panjang atas apa yang dilihat dan dialaminya dalam perjalanan. Berkat “kegemarannya” menulis itulah yang membuatnya kelak mendapat gelar naturalis sejati. Dan tulisan itulah yang membuatnya menjadi teoritis terkemuka dunia. Tulisan itu pula yang kedepannya menjadi kontroversial bagi agamawan, ilmuawan, dll. Darwin berkesimpulan, manusia itu berasal dari kera. Ia menamakan teori barunya sebagai teori evolusi.

Seabad lebih telah berlalu semenjak kontroversi itu pecah, di Ankara Turki lahirlah seorang penulis bernama Adnan Oktar. Pemuda yang taat beragama ini memiliki nama pena Harun Yahya kelak menjadi antitesa bagi pemikiran Darwin. Harun terbukti getol membantah teori evolusi Darwin. Sama seperti Darwin, walaupun tak memiliki latar sebagai ahli Biologi, berkat kegemarannya membaca ia akhirnya berhasil menerbitkan buku-buku yang menentang teori evolusi. Karya-karyanya disambut hangat pembaca dari Eropa hingga Indonesia.

Di Universitas Mimar Sinan tempatnya menuntut ilmu, Harun resah ke setiap orang, termasuk mahasiswa dan staf pengajar. Di setiap forum diskusi, di kantin kampus, di koridor-koridor kampus, seseorang dapat melihat Harun sedang menjelaskan kelemahan dan kesalahan teori evolusi. Menurutnya, teori itu dimunculkan oleh kelompok tertentu untuk melawan fakta penciptaan. Dengan menggunakan kedok sains, teori tersebut sebenarnya bertujuan untuk meracuni dan menghancurkan akidah dan akhlaq pemuda. Jika kebohongan ilmiah ini tidak dibongkar, maka akan muncul generasi yang tak memiliki nilai spiritual, moral dan religius.

Dari puluhan buku yang ditulisnya, harus dengan keras mengkritik filsafat materialistik yang menunggangi teori evolusi. Menurutnya, ini adalah agenda tersembunyi—yang belakangan—Harun menyebut kelompok itu sebagai Freemasonry. Kaum Freemason ini memiliki tujuan menghancurkan islam. Tentu harus dicatat, inilah kelemahan terbesar pemikiran Harun. Memulai sesuatu dari stereotype, tentu ini tak dibenarkan. Walaupun Harun dengan susah payah membuktikan kenyataan diatas. Tapi tetap, asumsi itu tak bisa dibenarkan.

Kalau kita amati seluruh buku tentang atheisme kontemporer, memang hampir semua argumen-argumennya bermuara pada Darwinisme, pada teori evolusi, pada teori seleksi alam. Jadi apa yang dicurigakan Harun ada benarnya. Hanya saja, bangunan epistemologis Harun terkesan tendensius.

Begitu mengakarnya Darwinisme, Lutfi Assyaukani pentolan JIL sampai membuat judul makalah yang terdengar profokatif. Bagi umat islam judul itu sangat dekat dengan syahadat. Kira-kira ashadu an laa ilaaha ila Allah ia ganti dengan ashadu an la ilaaha illa Darwin, tidak ada Tuhann selain Darwin. Artinya, tak ada Tuhan selain Darwin.

Di Prancis, jauh sebelum Harun lahir ada seorang ahli bahasa bernama Ferdinand D. Saussure. Ia belakangan disebut-sebut sebagai peletak dasar strukturalisme. Dalam teori strukturalis sebuah kata terdiri dari penanda dan petanda. Penanda adalah aspek material dan petanda adalah aspek mental. Contohnya buah Apel, ketika kita menyebut Apel, Apel (bunyinya) dan Apel (makna yang ada dibenak kita). Lalu apa kaitannya dengan teori evolusi? Begini, saling serang wacana antara kaum agamawan yang menentang teori evolusi dan kaum sekuler yang mendukungnya selama ini tak menemui jalan keluar, bahkan bisa dibilang buntu. Semua pihak saling mengklaim dirinya yang paling benar. Tapi apakah saling klaim itu hal yang benar? Disitulah teori strukturalisme disini layak diketengahkan.

Dalam teori pascastrukturalis, yang ditandai itu menjadi tidak penting karena penanda itu yang bermain. Makna itu lahir dari perbedaan antara penanda. Jadi kalau kita bicara tentang kucing, apa kucing? Kita tidak mendefinisikan satu binatang yang kita juga tidak bisa definisikan. Artinya tidak bisa mendefinisikan kucing, apa definisi kucing? Tidak bisa kan? Karena kucing baru kita mengerti kalau kita bandingkan dengan anjing. Juga soal teori evolusi itu hanya pengertian-pengertian lahir, makna yang lahir dari perbedaan, yang tidak pernah final, yang selalu ditunda makna finalnya. Tidak ada teori yang mutlak benar. Kita harus menyadarinya.

Salah seorang pemikir pascastrukturalis terkemuka, M. Faucault bahkan lebih jauh membuat kesimpulan. Pengetahuan itu berkelit-kelindan dengan kekuasaan, begitupula sebaliknya. Artinya, segala klaim atas kebenaran merupakan efek permainan kuasa. Siapa yang paling berkuasa, dialah yang menang dan dianggap sahih. Begitupula tentang dengan teori evolusi, kita sendiri tak punya otoritas untuk mengklaim teori itu salah? Apakah kita cukup representatif untuk mengklaim kebenaran? Dulu, orang yang mengatakan bumi mengeliling matahari pasti akan dicap gila. Lihat saja Copernikus yang di cap kafir, Descartes yang dibunuh. Tapi belakangan kita mahfum, ternyata pendapat mereka benar. Lalu bagaimana kalau suatu saat teori evolusi terbukti benar?

Kalau semua adalah relatif, dimana kita memposisikan diri dalam menanggapi teori evolusi? Solusi yang paling baik adalah dengan melihat dunia dengan tertawa. Tertawa adalah bagian dari cara kita melihat kebenaran, melihat dunia. Tertawa adalah cara orang melihat kebenaran supaya tak menjadi dogma. Tertawa juga menjungkirbalikkan apa yang telah ada. Intinya, semua memiliki potensi untuk memposisikan diri sebagai benar. Tinggal kita bijak memposisikan diri. Akhirnya semua adalah proses menjadi. Kita hanya bisa melihat teori evolusi sebagai hal yang ironik.

Selama ini kita menyikapi teori evolusi dengan kenak-kanakan. Menurut Richard Rorty, segala sesuatu harus dilihat dari gunanya. Kita mestinya berhenti berbicara tentang konsep atau gagasan yang hanya berputar-putar dengan masalah metafisis-filosofis. Kalau teori evolusi menyebabkan sikap rasialis, yang menggap ras Eropa sebagai makluk sempurna, maka silakan teori itu dienyahkan, titik!

Jumat, 06 Mei 2011

‘Seksualitas menyimpang’ dalam telaah Faucault

Beredarnya video ‘panas’ yang melibatkan tiga artis papan atas Indonesia belakangan ini menyita perhatian masyarakat Indonesia. Video syur yang melibatkan Luna Maya, Ariel dan Cut Tari tak hanya diburu ‘kolektor’ video porno, tapi telah beredar bebas dikalangan pelajar dan mahasiswa. Bahkan, anggota dewan yang terhormat menjadikan berita ini sebagai guyonan saat rapat resmi kenegaraan.

Selain video, berita terkait juga di incar masyarakat, baik di media cetak maupun media elektronik. Hal ini bisa dibuktikan dengan meningkatnya rating pemberitaan acara televisi, khususnya infotainment. Indikasi lainnya bisa dilihat dari sepuluh informasi yang paling banyak diakses masyarakat dalam satu bulan terakhir.

Besarnya perhatian masyarakat mengakibatkan sejumlah kalangan angkat bicara. Mulai dari agamawan, sosiolog, dan seksolog. Mereka semua menghujat perilaku tersebut. Seksolog ternama, dr Boyke Dian Nugraha sampai mengatakan Ariel sudah tak waras. Dalam istilah medisnya, skopofolia yaitu kelainan seks dengan menonton adegan syur dirinya sendiri untuk memperoleh kenikmatan. Ini disimpulkannya setelah mendengar kabar adanya 29 video serupa dengan wanita lainnya yang belum di publikasikan.

Indonesia sendiri telah mengenal budaya seks (baca: budaya yang melibatkan seks didalamnya) sejak lama, yaitu pada abad ke-8. Relief Karmawibangga bagian bawah di Borobudur menggambarkan posisi ideal bercinta ala Kamasutra. Hingga akhirnya ditutup pemerintah kolonialis Belanda. Alasannya, tidak sesuai norma agamanya.

Sementara itu, pada abad ke-11, muncul sekte varian Buddha di Sumatera, Jawa dan Bali. Namanya Tantra. Salah satu ajarannya, untuk berhubungan dengan Tuhan dan mencapai surga, pemeluknya harus makan ikan, menari dan bersenggama. Lalu, Candi Sukuh yang dibuat pada tahun 1437 di dinding candi banyak gambar memuat perwujudan genital pria dan wanita.

Akhirnya pada tahun 1906, seorang Mas Ngabehi, anggota dewan penasihat Raja Pakubuwana X, dipermalukan di harian Darmo Konda, harian rakyat setempat. Sang dewan ketahuan berbuat mesum dengan seorang penari ronggeng.


Seksualitas dan episteme

Dari runutan sejarah diatas dapat kita lihat konsep masyarakat mengenai apa yang dilarang dan yang tidak dilarang, apa yang benar dan salah terjadi berbedaan. Pada awalnya, sesuatu yang berbau seksualitas tidak ditutup-tutupi. Kata-kata yang bernada seks dilontarkan tanpa ragu. Bahkan secara terang-terangan seksualitas menjadi bagian penting dalam setiap acara resmi. Para pandita agung juga tak ragu untuk melukis gambar-gambar erotis di dinding-dinding candi. Baru pada awal abad ke-19 seksualitas kemudian benar-benar dibungkam.

Dalam persfektif Faucault, terjadinya perbedaan pandangan mengenai seksualitas di tiap zaman disebabkan oleh struktur diskursif yang berlaku pada zaman itu. Menurutnya, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif yaitu pandangan yang mendefinisikan bahwa yang benar ini dan lainnya tidak. Inilah oleh Faucault dinamakan episteme yaitu keseluruhan ruang bermakna, stratigrafi yang mendasari kehidupan intelektual, serta kumpulan pra-pengandaian suatu zaman.

Menurut Ankersmit, salah seorang ‘penerjemah’ pemikiran Faucault ada tiga karakteristik episteme yang diajukan filsuf kelahiran Poitiers, Prancis tersebut. Pertama, episteme menentukan cara kita melihat dan mengalami kenyataan. Kenyataan itu subjektif dan seringkali tidak disadari.

Kedua, karakter episteme yang lainnya adalah adanya larangan, penyangkalan, pengabaian dan penolakan. Episteme itu mengendalikan dan mengontrol pengetahuan manusia melalui tabu, kegilaan dan ketidak-benaran. Cap gila yang dilabelkan dr. boyke terhadap Ariel menunjukkan perannya sebagai agent pengontrol. Bidang psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu lainnya inilah penanggung-jawab utama pembungkam ‘seksualitas menyimpang’.

Ketiga, dalam episteme terdapat hubungan antara bahasa dan realitas. Umumnya, bahasa dipandang sebagai medium yang transparan, bahasa adalah refleksi kenyataan. Bagi Faucault, bahasa selalu ditentukan episteme yaitu bentuk penggunaan bahasa yang dipakai untuk merumuskan kebenaran. Dengan demikian, bahasa dan episteme tidak lah pasif melainkan aktif. Bahasa turut menentukan dan menciptakan kebenaran.

Kalau kita lacak secara saksama, adanya penyangkalan terhadap ‘seksualitas menyimpang’ ala Ariel, Luna Maya dan Cut Tari terkait dengan episteme (penerimaan zaman) terhadap sesuatu yang tak bertujuan, tak bersifat produktif, dll. Intinya, adanya penolakan besar-besaran oleh masyarakat kita lebih kepada pola pokir masyarakat yang telah dijangkiti ‘virus’ kapitalisme. Segala sesuatu jika tidak diatur untuk membangun keturunan (baca: reproduktif) dan yang tidak diidealkan berdasarkan tujuan yang sama tidak lagi memiliki tempat dan tidak boleh bersuara; diusir, disangkal dan ditumpas sampai hanya kebungkaman yang tersisa. Seksualitas bukan saja tidak ada, melainkan tidak boleh hadir dan segera ditumpas begitu tampil dalam tindak atau wicara.

Penolakan pun terpaksa menerima kompromi jika berbagai tindakan ‘seksualitas menyimpang’ itu tak terelakkan. Maka dibuanglah ‘seksualitas menyimpang’ itu ditempat dimana bisa diterima, kalau bukan disektor produktif paling tidak bisa mendatangkan keutungan. Contohnya, rumah pelacuran, diskotik, dll.

Di Barat masa awal terjadinya represi seksual yaitu pada abad ke-17. Puncaknya ketika ratu Victoria memerintah Inggris. Ketika itu, seksualitas betul-betul ditabukan. Kalau kita baca sejarah secara saksama, pada abad ke-17 inilah awal perkembangan kapitalisme. Dengan begitu, riwayat sejarah seksualitas berikut riwayat represinya tidak lain merupakan sejarah kelam penguasaan alat-alat produksi.
Dalam suatu diskusi tentang pornografi dan pornoaksi, salah seorang teman saya berujar, penolakan masyarakat terhadap video Aril, Luna Maya dan Cut Tari lebih diakibatkan ketakutan mereka akan efek video tersebut bagi generasi bangsa. Menurut pemberitaan televisi swasta, video syur tersebut telah menelan beberapa korban. Salah seorang kakek tua di Sumatra memperkosa pembantunya usai menonton video Ariel. Kemudian ada seorang anak yang menjadi korban pelecehan setelah melihat adegan yang sama.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis kalau semenjak beredarnya video ini terjadi peningkatan kejahatan seksual terhadap anak-anak. Menurut Masnah, ketua KPAI, dari hasil survei yang mereka lalukan terjadi peningkatan kejahatan seksual terhadap anak-anak sebesar duapuluh persen semenjak video beredar. Tapi pertanyaannya, banyaknya kasus tersebut apakah punya korelasi langsung dengan beredarnya video itu? Bukankah kejadian pemerkosaan, pencabulan terhadap anak-anak juga terjadi sebelumnya. Jauh hari sebelum video ini beredar. Hanya saja KPAI terlihat bertindak serius saat kasus ini merebak. Saya beranggapan, KPAI hanya numpang tenar saja sebab isu video ini begitu menyedot perhatian media.

Mantan Presiden Indonesia, Abdurahman Wahid pernah mengatakan banyaknya tindakan kejahatan, termasuk kejahatan kelamin membuktikan kalau masyarakat Indonesia yang—katanya—beragama ternyata hanya isapan jempol belaka. Masyarakat kita merupakan masyarakat yang munafik, sibuk, dan suka menghitung-hitung sesuatu secara ekonomis. Jika tak dianggap produktif, tak bisa menghasilkan uang maka sesuatu menjadi haram, disangkal bahkan dianggap tak waras.

Nah, satu pertanyaan terakhir: Apakah Ariel, Luna, dan Cut Tari yang berani bertindak subversif dengan melanggar norma dan moralitas agama itu benar-benar tak waras lagi atau sebaliknya, dr. Boyke dan masyarakat kita yang—dengan rasa hormat—sebetulnya gila? Tabik!

Menyibak Selubung Ideologis Pemikiran Islam Mahzab Garis Keras

“Semua pemerintahan selain Islam tidak dibenarkan dan merupakan pemerintahan kufur.” Petikan tulisan diatas saya ambil dari tulisan balasan saudara Firman Gani yang di muat di Rubrik Opini PK identitas Awal Agustus atas tulisan saya di rubrik Bias edisi Akhir Juni 2010. Judul tulisan saya saat itu, Negara Islam, No Way. Dari bahasa yang di lontarkan sodara Firman dalam tulisannya, saya melihat ada kesalahan fatal dalam menafsirkannya. Parahnya, sodara Firman secara implisit mengatakan kalau saya congkak dan salah baca. Tapi saya sendiri tidak akan mengomentari bahasa-bahasa seperti itu. Menurut saya, lontaran seperti itu tidak lahir dari rasio yang sehat, namun datang dari nafsu amarah yang menggebu.

Dari hasil pencarian saya di beberapa kamus dan mesin pencari Google, secara bahasa kafir berasal dari kata kufur yang artinya menutupi kebenaran, melanggar kebenaran yang telah diketahui dan tidak berterima kasih. Kata jamak dari kafir adalah kaafirun atau kuffar. Kata kafir dan derivasinya disebutkan sebanyak 525 kali dalam Al Qur’an. Semuanya mengacu pada perbuatan mengingkari Allah swt. Kalau kita cermati, arti kafir yang paling dominan disebutkan dalam Al Qur’an adalah pengingkaran terhadap Allah dan Rasul-Nya, khususnya Muhammad saw. dengan ajaran-ajaran yang dibawanya.

Jadi, orang kafir adalah mereka yang menolak, menentang, mendustakan, mengingkari, dan bahkan anti kebenaran. Seseorang disebut kafir apabila melihat sinar kebenaran, ia akan memejamkan matanya. Apabila mendengar ajakan kebenaran, ia menutupi telinganya. Ia tidak mau mempertimbangkan dalil apa pun yang disampaikan padanya dan tidak bersedia tunduk pada sebuah argumen meski telah mengusik nuraninya.

Nah, disinilah titik krusialnya. Apakah islam selain tafsiran sodara Firman lantas bisa kita cap kafir? Karena banyak umat islam sendiri, termasuk para ulama (baca: ulama NU) menolak keras pendirian Negara Islam. Pada titik inilah saya berbeda pemahaman dengan sodara Firman, bukan persoalan lain. Apalagi sampai berdebat soal sejarah Kebangkitan Nasional. Bukan itu esensi tulisan yang ingin saya sampaikan.

Perlu juga diketahui, tulisan saya tidak bermaksud menimbulkan islamophobia. Saya hanya ingin semua umat manusia saling menghargai, tidak saling menghujat, cinta damai. Bisa menerima perbedaan pendapat. Dan, cita-cita inilah yang kadang disalah-tafsirkan oleh orang-orang yang membenci Nucholis Madjid dan Gusdur yang dengan gencar mewacanakan pluralisme. Bagi saya, bukan Negara Islam yang menjadi keharusan, tapi pluralisme. Sebuah sikap yang saling menghargai, saling memberikan kesempatan mengeluarkan semua potensi yang ada. Dan, inilah inti demokrasi. Lalu apa alasan menolak demokrasi?

Mungkin kita harus sedikit merenung, kenapa Tuhan menciptakan manusia dengan bersuku-suku, berbangsa-bangsa. Ini tidak lain agar mereka saling berbuat dalam kebaikan dan taqwa. Bukan malah sebaliknya, mencap orang lain kafir.
Landasan saya mengatakan pemahaman islam macam Firman bisa menggiring islam dari agama menjadi ideologi? Kalau kita ingin membuka selubung “ideologis” pemikiran Firman, kita bisa melacaknya dari landasan pemahamannya. Dalam hal ini filsafat yang mendasarinya. Meskipun saudara Firman sendiri akan membantah kalau sedang berfilsafat. Namun, kalau di lacak secara hati-hati, kita bisa menemukan bahwa sodara Firman telah terkontaminasi paradigma positivistik. Sesuatu yang tidak mungkin disadarinya, baik olehnya maupun oleh pengikutnya yang lain.

Salah seorang pendiri Mahzab Frankfurt, Max Hokheimer menunjukkan tiga pengandaian dasar yang membuat paradigma posistivistik menjadi ideologi dalam arti ketat. Pertama, paradigma positivistik mengandaikan bahwa pengetahuan manusia tidak menyejarah atau ahistoris, dan karenanya teori yang dihasilkan juga ahistoris dan asosial, maka tak salah Firman menganggap saya dan atau yang berpikiran lain dari dia sebagai kafir. Berdasarkan ciri ahistorisnya itu, muncullah pengandaian kedua, yaitu pengetahuan bersifat netral. Teori merupakan dekskripsi murni tentang fakta, yang merupakan “pengetahuan demi pengetahuan.” Akhirnya, karena pengetahuan bersifat netral, maka ia terpisah dari praxis. Proses penelitian dipisahkan dari tindakan etis, dan pengetetahuan dapat dipisahkan dari kepentingan.

Lebih lanjut Hokheimer menjelaskan, sifat ideologis paradigma positivistik itu tampak dalam tiga gejala. Pertama, dengan anggapan teori itu ahistoris, ia mengklaim diri universal, berlaku dimana saja secara transendental dan suprasosial sehingga melupakan proses kehidupan dalam masyarakat real. Maka tak salah saudara Firman kemudian ingin menerapkan Negara Islam di Negara Indonesia yang majemuk ini. Ia tidak akan mau tahu akan perbedaan konteks antara Negara Timur-tengah sana dengan Indonesia. Bagi dia, pemikiran yang berbeda dengan mereka adalah salah dan kufur. Salah dan kufur artinya apa? Bahwa pemikiran yang sah ada di muka bumi hanya pemikiran kelompoknya, selain itu harus dibumihanguskan. Inilah kenapa saya mengatakan bahwa islam tak akan jauh dari bayang-bayang totaliterianisme.

Kedua, dengan mengangap diri netral, paradigma ini berdiam diri terhadap masyarakat yang menjadi objeknya dan membenarkan kenyataan tanpa mempertanyakannya. Firman tak mempertanyakan pemikirannya sendiri, dan menerapkan teorinya secara taken for granted. Ciri-cirinya, tafsirnya lah yang paling sahih. Ketiga, yang tak kalah pentingnya, dengan memisahkan diri dari praxis, ia hanya mengejar teori demi teori dan karenanya tidak memiliki implikasi praktis.

Dari penjelasan diatas, tak salah kalau senior saya Muh Absariarpin mengatakan antara islam versi Firman dengan Marxisme ortodoks tak ada bedanya. Menurutnya, kedua pemikiran tersebut meskipun saling bertentangan, sama-sama berlandaskan diri pada paradigma positivistik. Bagi Marxisme, kebenaran itu hanya ada dan pasti ada di Sosialisme Komunisme, sementara bagi Firman, kebenaran itu hanya ada di Negara Islam. Peran subjek kemudian diabaikan, gerak sejarah dilepaskan dari subjek penggerak sejarah itu sendiri.

Kalau Kampus?

Kalau kampus adalah tempat bermain, maka saya lebih memilih pulang ke rumah dan menyendiri. Sebab kampus tak seharusnya jadi wahana bermain

Andai kampus adalah tempat berkumpul, saya lebih suka mendatangi mall dan tempat nongkrong di luar, disana kita bisa menemukan teman baru

Tapi kalau kampus merupakan tempat belajar, mengapa tak ada riak manusia berdiskusi. Tak ada suara orang berdebat

Mari, saatnya kita berubah! Awali semua dengan senyum dengan sebuah buku di tangan. Tak ada salahnya kita jadikan kampus tempat belajar. Tempat kita merenda asa!

Hakikat Kaum Intelektual

Pada dasarnya, intelektual tak identik dengan sarjana, ustad, pendeta ataupun orang yang bergelut dalam spesiliasasi ilmu tertentu. Kaum intelektual juga tak identik dengan politisi. Ke- Intelektualitasan tak terletak pada simbol-simbol akademik yang formal. Seorang intelektual, harus bisa mendedahkan pemikirannya tanpa terjebak kepentingan dan berkomitmen menjunjung tinggi kebenaran yang diyakininya.

Kebebasan untuk mengungkapkan kebenaran itu tak dibatasi oleh aturan formal organisasi. Seorang intelektual sejati konsisten dengan tujuannya untuk membebaskan masyarakat dari kungkungan struktur yang menindas. Ia melakukan semua itu dengan ikhlas meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri sekalipun.

Secara sosiologis, keberadaan kaum intelektual merupakan kelompok creative elite dalam suatu susunan masyarakat yang berfungsi sebagai early warning system dalam kehidupan masyarakat. Entah itu masyarakat akademis ataupun masyarakat ‘awam’. Kelebihan kaum intelektual adalah kemampuannya untuk menjadi prototype bagi masyarakat diluar dirinya. Kaum intelektual sebagai kaum yang memiliki daya kreatif untuk menciptakan solusi cerdas bagi masalah ummat yang sedang terjadi. Dengan begitu, seluruh pemikirannya bisa menjadi daya tawar bagi masyarakat untuk menghadapi kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang.

Jadi hakikat kaum intelektual dapat dilihat dari corak pemikirannya yang dapat melampaui zamannya. Pada posisi inilah kaum intelektual kadang-kala menjadi kontrovesial, karena terang-terangan menggugah kemapanan kehidupan pada saat itu. Lihat saja bagaimana Friederick Niezche yang dituduh kafir lantaran berani mengkritik arus pemikiran pada zamannya. Atau tengok saja Michael Faucault yang dituduh gila. Cermin paling kuat untuk ini adalah para nabi, yang meskipun harus bertaruh nyawa tak pernah lari untuk memperjuangkan keyakinannya.

Bagaimana menjadi kaum intelektual?

Tapi kemudian menjadi persoalan: bagaimanakah cara menjadi kaum intelektual? Mungkin banyak kalangan yang berniat menjadi kaum intelektual, tapi jalan untuk memperoleh predikat itu tak seperti membalikkan telapak tangan. Diperlukan orang-orang yang siap hidup “asketis” dan bersemangat juang tinggi. Jalan menuju kesana penuh dengan kerikil tajam.

Menjadi intelektual, diperlukan seorang yang bisa melihat realitas dengan mata malaikat. Mata malaikat disini artinya seorang yang bisa membedah realitas secara empiris. Tak hanya terlibat dalam diskusi-diskusi yang abstrak tentang Tuhan dan kebenaran yang sifatnya trasendental, tapi jauh melampaui itu, yaitu membicarakan masyarakat yang riil.

Dengan peran fundamentalnya untuk meningkatkan martabat kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kaum intelektual berguna untuk melaksanakan “pemberdayaan” masyarakat yang sedang berada dalam fase kejumudan, ketertinggalan, ketertindasan dan lain sebagainya.

Maka, tak ada jalan yang bisa ditempuh selain belajar sekuat tenaga. Dalam belajar itu, diperlukan sarana yang sangat fundamental, yaitu buku. Buku merupakan jalan utama menjadi kaum intelektual. Tanpa buku, kita hanya bisa ber-angan-angan dan tertunduk lesu melihat realitas yang sebetulnya kita muak melihatnya. Pepatah mengatakan, “buku adalah jendela dunia.” Begitu besarnya peran yang dimainkan buku.