Senin, 03 Desember 2007

Dalam Ketidakwarasan

Pernah gak sih mereka bertanya tentang kehadiranku disini, kehadiran yang bukan pilihanku ?, pernahkah kalian bertanya masih adakah segelintir motif kehidupan tertanam dibenakku?. Apa pentingnya berkoar lewat kata-kata, semua orang tidak butuh banyak omong, toh kehadiran kita tidak dibutuhkan kawan dan emang kita tidak membutuhkan, butuh kaki panjang untuk melangkah, kau tahu? Kakimu sepanjang jengkal! Hanya dua puluh senti. Perjalanannya terlalu jauh, nirwana terlalu abstrak Hanya kegilaan yang berani melangkah, langkah kecil.tak bisa di andalkan. Omong kosong! Kamu tidak waras men!.

Enggak terlalu berlebihan kalau esok adalah ketersiksaan tanpa batas Keberadaanku tidak lebih dari mimpi buruk, sementara ancaman siksaan terdengar dimana-mana di surau, gereja, pure, bahkan di kampus, lalu kenapa Tuhan berani menyalahkan dan menyiksa aku? Siapa yang butuh berada disini?. Kau atau aku oh...Tuhan ku. Pernahkah aku memohon padamu agar DiKau meng-ada-kan aku? Kalau emang kehadiranku karena Engkau menginginkannya, lalu kenapa aku dibuat tersiksa?. Kenapa mesti esok harus absurd? Kenapa mesti pilihanku harus kau yang menentukan? Kenapa mesti ada neraka?. Adakah makhluk yang bisa mengetahui dengan pasti pilihannya adalah yang terbaik untuknya?. Semua ini permainan Tuhan? Betul ia sedang bermain dadu.. Mampukah otakku memberi jawaban pasti terhadap teka-teki Mu?. Adakah kebenaran objektif bagi diriku?.

Jalanku berliku, tak bisa ditebak apalagi membuat kepastian atasnya, murabbi ku mengatakan berharap kepastian hidup cuma mengindikasikan kegilaan. Pengalaman demi pengalaman aku lalui justeru semakin mengukuhkan pandangan ku, hidup tidak lebih dari ketidak-pastian yang menipu. Sementara anjing-anjing kehidupan gencar berkotbah menebar benih-benih nafsu setaniah lewat pemuasan hasrat sesaat. Ia lihai menjelma menjadi malaikat israil dengan tampilan senyuman surgawi berbingkai kebusukan. Manusia yang tidak memiliki kearifan harus rela tergusur dari kancah permainan sandiwara. Untuk hidup perlu kearifan, kearifan yang tidak kaku, dunia haruslah pragmatis, pandai-pandai memanfaatkan situasi, cerdas mengadu domba, lihai menjatuhkan kawan apalagi musuh. Kebijaksanaan seperti itulah yang kita perlukan. Apalagi kita, makhluk yang di buat lemah lewat pamflet-pamflet pengajian ataupun acara sembahyang. Kelemahan kita berakar budaya, budaya yang diciptakan segelintir orang yang gila kekuasaan dan jabatan. Ya..penyakit sadisme melanda, namun pernahkah kita menanyakan semua ini. Sampailah pada keadaan sekarang, semua orang asik bercanda dipelataran mall megah, di kamar kost yang menawarkan kenikmatan tiada tara. Siapa yang salah?.

Hegel sekonyong-konyong datang, menghampiriku menawarkan secercah optimisme bahwa aku akan mampu dan menjawab semua kegelisahan ku lewat rasionalitas. Kau hanya bermimpi, rasionalitas yang bertumpu pada dialektika sejarah merupakan kaki kecil. Gak mampu berjalan jauh, engkau tidak realistis?. Optimisme mu kebalikannya bagiku, optimismemu adalah pesimisme bagiku. Tak apalah aku menjadi kaum-kaum yang tidak waras. Toh ketidak-warasanku lebih realistis dari kewarasanmu. Pesimisme ku dekat denganku, tuh di ujung jariku. Menanggapinya. Lalu siapa yang benar? Aku dengan segala kegilaanku atau kau dengan mimpi mu menginjakkan kaki ke bulan dengan kaki kecilmu?.

Aku gak pernah menyangkal keberadaan bulan, tak pernah me-negasi-kan keberadaan yang absolut, tapi yang aku tidak terima adalah optimisme mu akan kemampuanmu menjangkau yang absolut. Bisa gak seh yang gak absolut menjangkau yang tidak absolut?. Apakah dialektika mu punya ujung, apalagi pengalaman cinta ku dengan wanita menyurutkanku. Adalah sisi seorang wanita keturunan yang membukakan mata hatiku akan kesalahan Hegel. Pengetahuan ku mengenai tabiat sisi do’i ku tidak pernah bersifat final, ia diperbaharui dan dilengkapi oleh pengetahuanku mengenainya di waktu-waktu mendatang, sisi yang dahulu kuanggap pendiam, sabaran, pintar ternyata ia merupakan tipe cewek tempramen, banyak omong, pokoknya sangat bertolak belakang dengan sisi pada waktu baru kenal. Penilaian seperti itu dulu, dikala aku dan sisi belum begitu saling kenal tapi sekarang pengetahuanku tentangf sisi kembali seperti saat semula aku mengenalnya. Dan mana batasnya, aku hampir berpikiran persepsiku tentangnya pertama kali tidak akan berubah selamanya. Mana buktinya, kalau pun punya batas kapan aku bisa menjangkaunya?.

Mestinya kita menyadari kita ini sintesis yang mewaktu dan abadi, kita adalah pengada dalam waktu, temporal, yang sekaligus mendambakan keabadian. Pernahkah kita berpikir?. Coba saja adakah makna dibalik Indeks Prestasi andaikata si Sam ayahku gak ada, atau paling pop nya do’i ku gak ada? Hidup baru memiliki makna apabila ia dirangkai dalam satu kesatuan yang utuh, ya..itulah keabadiannya kierkegaard. Kita adalah pengada yang mewaktu sekaligus juga mendambakan keabadian.

Aku masih ingat, hari itu aku ikut basic training gak usahlah aku sebut nama organisasi itu. Aku di ceramahi, pemateri basic yang sok ke-ateis mendefinisikan kebenaran yang kebetulan jadi tema materi yang ia bawakan, kebenaran ujarnya adalah keselarasan antara ’ada’ dan ’apa yang dipikirkan’. Kalau aku melihat sisi dan langsung memikirkan gagasan mengenai sisi yang besar pantatnya kayak gitar spanyol dengan mulut lebar mirip petinju mike tyson lalu pinggang lebar seperti...? gak usahlah, bukan kapasitas ku mengejek nya disini. Dalam hal ini saya dikatakan memiliki kebenaran karena ada keselarasan antara apa yang saya pikirkan dengan objek yang saya lihat. Wah aku kemudian teringat bukunya Kierkegaard, di buku yang aku baca kok berbeda dengan apa yang aku dapat kan?. Identitas antara pemikiran dan (peng-)ada atau pandangan pengetahuan kita secara akurat mencerminkan realitas yang kita alami, seperti definisi diatas adalah ilusi., karena apa yang dipikirkan (sisi dengan pantatnya yang besar) bukanlah ada aktual, melainkan ada yang dipikirkan. Ketika sedang di pikirkan , ada berubah menjadi kemungkinan dan konsep ideal, karena telah dirampas atau di abstaraksi dari aktualitasnya yang terikat erat deangan partikularitasnya yang konkret. (kirkegaard;dalam pergulatan menjadi diri sendiri. Thomas hadi tjahya)

Uh...kalau pilihan ku dan atau pilihan nya benar-benar merupakan pilihan yang benar, sungguh tenang rasanya hidup ini. Tapi bagaimana kalau pilihan nya salah? adakah rasionalis bagi pilihan ku mengenai keber-BEM-an ku hari ini? Benerkah rasio hanya mampu sampai pada tahap mempertimbangkan pilihan?. Kalau begitu bila aku harus memilih keluar dari rutinitas keber-BEM-an ku, apa itu pilihan yang tepat?. Andaikan pilihannya tepat, apakah lingkungan mendukung? Tidakkah harkat dan martabat yang dipertaruhkan (menurut sebagian orang) apa sikapku? Apa aku mesti menjelaskan dan mengajukan pertanyaan kepada mereka? Biar mereka paham. Perlukah orang lain paham? ada dan inheren kah dalam setiap manusia harkat dan martabat atau ia hanya produk budaya yang tak mesti dihiraukan.
Yang paling penting saat ini bukan harkat, martabat tapi kompetensi, kapasitas dan penguasaan bidang bidang ke-ilmu-an yang kita pilih. Kalau BEM tidak bisa memberikan apa yang menjadi motif, lalu apa yang membuat kita semua mempertahankan BEM?. Mending BEM di bubarkan aja, buat Musawarah Besar Luar Biasa yang khusus mengandekan pembubaran BEM. Toh keberadaan BEM saat ini tidak berarti lagi bagi kita, pemilik kebijakan tertinggi. Buktinya berapa orang yang respek dengan BEM.

Dalam ketidakwarasan aku berseru, dekontruksi BEM, hancurkan, luluhkan kemudian bangun kembali dari nol. Dengan begitu BEM lepas dari parasit yang membuatnya mandek. Mahasiswa menemukan spirit baru, BEM tidak ketinggalan zaman lagi, ia pasti hadir dengan muka bersinar menantang zaman.