Selasa, 15 April 2008

Kurenungkan hari ini

Aku tak memiliki arti, kehadiranku bukanlah angan yang pernah engkau impikan. Aku tahu, cinta itu tidak pernah hadir dari ruang yang hampa, selalu ada awal. Tidak seperti orang bijak berujar, “pada suatu titik sesuatu itu berasal dari ketiadaan”. Tapi kau tahu, kita bukanlah titik itu, kita lah dunianya. Selalu ada awal bagi hubungan kita. Namun, pernahkan kau bertanya, adakah diriku keawalan itu?. Jawabannya tidak!. Aku bukanlah al-awwal, aku mungkin al-akhir! Atau akulah ketidak-jelasannya.

Engkau tahu, pikiran ini, perasaan ku, kebingungan akan kejelasan esok. Ketersiksaan eksistensial yang diliputi pertanyaan bodoh “adakah engkau mencintaiku?”. Kejelasan macam apa yang bisa menjadikanku yakin!. Percaya terhadap komitmenmu!. Cintamu!.

Kobodohanku memang, atau inilah realitasnya?. Dunia terlampau absurd bagi suatu kejelasan, tidak ada yang betul-betul mampu mencapai kebenarannya!. Bahkan rahib agung sekalipun!. Yang nyata hanya hari ini, esok itu absurd, tidak jelas, membingungkan! Dan keberadaan waktu justeru semakin mempertegasnya!.

Minggu, 06 April 2008

KAU HADIR DARI KETIADAAN, SAYANG!

Tidak meyakini kesempurnaan cinta, apatis terhadap bunga-bunga perasaan yang disemai Tuhan lewat special relation. Kehampaan makna bisa diatasi dengan buku dan aktivitas, “kataku suatu saat”. Dengan begitu kita hidup dalam sebuah ekstase rutinitas, berusaha keluar dari jargon cinta yang tak produktif. Asumsi-asumsi yang membuatku terus bertahan dalam kesendirian sampai beberapa tahun belakangan. Ironisnya, asumsi tersebut kemudian dipraksiskan dalam sikapku sehari-hari, dengan menolak sama sekali benih-benih cinta yang kadang tumbuh. Bahkan aku beranggapan cinta tidak lain merupakan bentuk paling halus dari nafsu kelamin. Cinta murni itu tidak ada, itu omong kosong yang mesti dibuang di keranjang sampah. Menikahpun tidak lebih dari kegiatan prostitusi yang dilegalkan. Pikiran ini terlalu picik untuk kenyataan, seolah-olah keluar dari konteks ruang dan waktu yang melingkupi, mencoba menutup segala kemungkinan yang terjadi dan terkesan memutlakkan asumsi dalam teoritisasi yang universal. Oh … Alangkah piciknya aku saat itu !!!

Kini dunia memperhadapkanku pada suatu realita yang sulit kuterima. Pilihan yang membingungkan. Cintakah? Atau Kesendiriankah?. Omong-kosongkah itu cinta, realitiskah itu kesendirian? Ataukah—seperti tulisanku terdahulu—kita hanya kecewa dengan kenyataan. Sampai-sampai mengkonstruk asumsi ini sebegitu jauhnya. Apakah cinta memang inherent dengan nafsu, apakah memisahkan nafsu dari cinta justeru mengindikasikan pemikiran yang reduksionis, seperti diktum Rene Descartes, Cogito Ergo Sum. Aku berpikir maka aku ada. Yang memisahkan antara pikiran dan tubuhnya. Bisakah manusia berpikir tanpa tubuh?. Otak maksudnya!

Kehadiran dikau menggugurkan asumsiku. Meruntuhkan semua bangunan pemahamanku tentang cinta dan kasih sayang. Engkau seolah datang dari ketiadaan, dalam kemisteriusan sebagai juru selamat atas kesesatan jalanku. Kesempurnaanmu, dimataku, mengantarkan aku dari keterpenjaraan mendobrak dari pikiran sempit hakikat cinta. Engkau setara dengan Jesus Kristus bagi umat nasrani, dan Budha Gautama bagi agama Hindu. Engkaulah penyelamat bagiku!

Dulu, yang ku pahami cinta adalah seks, penguasaan, dan egoisitas. Cinta bagiku hanyalah bersifat keduniawian semata, oleh karena itu aku menolak cinta. Tapi itu dulu, hari ini aku ingin berteriak mendeklarasikan kepada dunia, “Aku salah!”. Cinta itu luas, tidak ada definisi atau konsep baku. Membakukan definisi cinta berarti meng-Universalkan hakikatnya bagi setiap insan penikmat cinta dan bukan pemujanya.

Sayang, sengaja kutorehkan pikiranku disini agar dikau membacanya, menghayatinya, menginterpretasinya sepuas mungkin tanpa harus takut akan kesalahan penafsiran. Kubebaskan dikau menafsirkannya menurut versimu. Memaksamu menafsirkan sepertiku sama artinya dengan menyuruhmu tunduk terhadapku. Aku tidak mau hal itu terjadi. Bukankah bahasa sangkar ada?. Kebenarannya terikat ruang dan waktu dan tidak mengherankan kalau Plato mengatakan “Kata-kata tidak akan pernah bisa dan mampu mewakili pikiran dan perasaanku”. Kata-kata itu lemah untuk sebuah kenyataan.

Apabila engkau telah membacanya, kusarankan engkau berpikir sejenak, sehari ataupun dua hari. Menghayati dan merefleksikan kembali dirimu. Apakah kehadiranku menjadi berhala baru bagimu. Aku tidak menginginkan itu terjadi. Aku terlalu naïf untuk kau kultuskan. Aku bukan Sang Hyang Widi. Tidak pantas bagiku dalam pikiran dan perasaanmu duduk setara dengan sang penguasa Ada, Ada yang tidak diadakan, ada yang berdiri sendiri, yang mutlak, kreatif dan tanpa definisi. Kuharapkan cintailah diriku sesuai porsi yang seharusnya, tidak berlebihan. Yang berlebihan itu tidak baik!. Cobalah tidak mencintai sepenuh hatimu, aku makhluk yang sewaktu-waktu bisa lenyap, menghilang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Aku adalah kemisteriusan, dan engkau kemisteriusan juga bagiku. Kita sama-sama adaan, sama dengan lemari, kursi, panci, dll. Cuma kita punya kelebihan, sedikit. Yang bisa mempertanyakan masa lalu, mempermasalahkan keberadaannya, serta menyangsikan adakah diriku?. Tentu, kau janganlah sombong dengan predikatmu, tanpa palu, rumah, atau karena engkau anak……..tanpa rumah sakit, tanpa pulpen, tanpa adanya anak-anak kekurangan gizi, maka jelas tidak akan pernah ada dirimu. Seorang mahasiswi Gizi.


untuk LuphieQuw

BINGUNG MAU KASIH JUDULNYA APA?

Baiknya, semua kritik, apapun sifatnya entah positif atau negative semestinya ditanggapi secara bijak, bukan malah sebaliknya. Sebagai ajang debat kusir yang tiada henti di mading-mading universitas dan fakultas, atau di forum-forum diskusi. Sementara realitas sosial yang terjadi terabaikan tanpa diperhatikan. Dan, sudah selayaknya kita sebagai mahasiswa pengemban tugas berat yang termaktub dalam tiga fungsi mahasiswa, agent of a change, moral force dan sosial control. Meskipun ketiga hal tersebut masih layak diperdebatkan. Benarkah mahasiswa sebagai agent of a change, moral force dan sosial control?. Agaknya butuh tempat tersendiri membahasnya, disini kita terkendala ruang dan takutnya melenceng dari tujuan awal tulisan.

Beberapa minggu yang lalu terjadi peristiwa besar menggemparkan seantero Sulawesi khususnya Makassar. Kematian seorang Ibu beserta anaknya, daeng besse sungguh ironis untuk didengarkan ditengah daerah yang terkenal dengan lumbung padinya, sebab kematian mereka didiagnosis akibat kelaparan dan menderita gizi buruk.

UNHAS? TANGGUNG-JAWABNYA MANA?

Kita semua pasti mengetahui—yang tidak tahu keterlaluan—bahwa unhas merupakan universitas wilayah Indonesia timur yang paling disegani, baik karena predikat universitas terbesar di wilayahnya maupun karena banyak dosennya yang menyandang gelar professor. Saya tidak ingin memasukkan data-datanya disini, pembaca bisa baca di buku panduan universitas maupun media penyaluran sifat narsistiknya. Ada banyak, silakan berusaha. Lagian pokok bahasan kita bukan menyangkut melubernya dosen yang bergelar professor namun miskin karya. Mungkin hanya simbolitas saja kali. Atau seperti bahasa teman saya, professor karena pangkat. Disini saya coba mengetengahkan pembahasan menyangkut unhas khususnya medical compleks, khususnya lagi fkm dan yang paling khususnya jurusan gizi dalam menghadapi atau merespon isu kesehatan terkini serta tindakan yang dilakukan secara konkrit, bukan konsep atau wacana yang dimuat di Koran-koran dengan tendensi simpati dan empati palsu. Bahasa ekstrimnya cari muka.

Dunia tidak butuh bahasa-bahasa apologi, apalagi opini kosong tanpa aksi. Saat ini kita semua butuh langkah konkrit pemecahan masalah bangsa yang makin kompleks. Pun menyangkut gizi buruk yang kembali mecuat ke permukaan setelah di bombardir media lewat wacana lambannya kinerja pemerintah. Hal ini juga diperparah oleh sikap mahasiswa yang terkesan apatis. Cenderung lari dari kenyataan, malah asyik-masyuk dengan ritual aneh yang bernama Mubes serta wisata angkatan. Padahal dunia tempatnya bernaung membutuhkan uluran tangannya sebagai agen perubah (agent of a change).

Fenomena ini bisa kita lacak, beberapa minggu yang lalu jurusan Kesling adakan Mubes, AKK, dan kemarin (4/4/08) jurusan gizi melakukan wisata ke bili-bili, bersamaan dengan angkatan 2005 yang berwisata ke pangkep. Belum lagi BEM FKM yang dingin-dingin, lebih antusias mengurus dies natalies keluarga mahasiswanya ketimbang turun kejalan mengadvokasi kebijakan penguasa, ini menjadi sesuatu yang urgen mengingat tipikal birokrat kita seolah-olah mengalami ketidak-normalan pendengaran, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tapi belakangan saya lihat mereka (bem,red) berencana mengadakan seminar. Semoga seminar tersebut bukan sekadar formalitas belaka supaya tidak dibilang tidak ada kerjaan. Biasa latah organisasi!.

SOLUSI!

Sulawesi adalah salah satu lumbung padi nasional Negara kita, jadi tidak ada alasan menganggap kejadian besse sebagai akibat kekurangan pangan. Nah, kalau begitu yang bermasalah apanya?. Pemerintahkah?. Atau bukan. Saya kira pemerintah itu sesuatu yang abstrak, sama misalnya masyarakat. Yang otentik individu-individu, bukankah masyarakat hanya akumulatif dari individu-individu?. Lalu siapa yang perlu disalahkan atau yang perlu bertanggung-jawab?. Jelas, yang paling berhak bertanggung-jawab atas problema ini kepala pemerintahan, presiden, gubernur, bupati/walikota serta jajaran terkait. Mereka, agen-agen kaum kapitalis serakah. Dalam artian hanya mewakili kepentingan kaum borjuasi dan mendiskreditkan proletariat. Ada kepentingan sistem yang bersifat laten dibaliknya. Itupun kalau indikasinya benar. Tapi semuanya bisa kita lacak saat pemilu, baik pemilu presiden, gubernur, maupun walikota/bupati. Begitu banyak dana dihamburkan hanya untuk kegiatan kampanye saja. Yang menjadi pertanyaan kita semua dana tersebut berasal dari mana?. Jelas disini, dana tersebut pasti berasal dari pemodal dengan janji memberi akses bagi pengembangan usahanya.

Intelektual dibagi dua, intelektual organic dan intelektual tradisional. Intelektual organic adalah kaum yang berani mempertanyakan secara kritis fenomena yang terjadi dilingkungannya dan berani memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Sedangkan intelektual tradisional dia tahu dan paham dengan fenomenanya namun tidak berani kritis. Saya menduga inilah intelektual pesimis.

Dari pembagian tersebut, kita sebagai mahasiswa harusnya berada dalam lingkup intelektual yang kedua. Intelektual organic. Oleh karenanya kita mesti secara total memperjuangkan segala ketimpangan yang terjadi dengan tidak lagi mengandalkan gerakan yang berbasiskan moral tapi mesti menaikkan kesadaran ke gerakan politik. Permasalahan bangsa kita adalah masalah sistem, sistem yang tidak mewakili kepentingan umum. Sistem kapitalis dengan agenda neo-liberalisme nya disegala bidang, termasuk yang marak terjadi akhir-akhir ini, wacana liberalisasi pendidikan. Mestinya kita terjun dalam politik, mengintervensi pemilu, merebut parlementer dari kaum pro-kapitalistik. Lalu membuat agenda nasional:

a. Nasionalisai perusahaan tambang untuk pendidikan dan kesehatan gratis

b. Meghapus utang luar negeri atau memohon memotarium (menunda pembayaran utang sampai waktu yang tidak ditentukan, sampai bangsa kita mampu membayarnya)

c. Sita harta koruptor

Dari solusi diatas, perlu diketahui bukanlah mutlak benar bagi pemecahan masalah keummatan. Ini bentuk lain solusi yang coba ditawarkan dalam mengadapi konteks zaman. Wacana dan diskusi harusnya digalakkan, rasionalitas komunikatif ala jurgen habermas dan tidak bersifat semu dan procedural semata. Bukan rasionalitas instrumentalis yang reduksionis-atomistik ala Cartesian-newtonian. Logika binerian Aristotelian yang memisahkan objek-subjek.

MAKASSAR--BUAT LuphieQuw