Sabtu, 09 Oktober 2010

Tak Sekadar Pembelajaran, tapi Arena Perjuangan

Tulisan ini merupakan catatan seorang yang ‘benci’ dengan Pk identitas

Belakangan ini saya resah, benci, marah dan entah apapun namanya. Saya sendiri kadang bingung benci dengan apa dan siapa? Tak jelas subjeknya? Pokoknya saya hanya benci, titik! Ini berdampak pada sikap saya yang cenderung emosional, tidak bisa mengendalikan rasa amarah—yang—padahal ‘berkutat’ dengan hal sepele. Persoalan ini membuat saya gamang menjalani rutinitas. Saya sendiri akhirnya memutuskan untuk berpikir dan menjauh sejenak dari aktivitas. Sudah seminggu terakhir ini saya berkontemplasi, berpikir tentang hal apakah yang membikin gejolak ini muncul. Inilah hasil perenungan itu.
***
Dulu, tak pernah sedikitpun terbersit di benak niat bergabung di Penerbitan Kampus (PK) identitas. Saya memang memiliki minat menulis, tapi tak untuk di salurkan di Pk identitas. Saya tahu, dari hasil ‘gosip’ dengan beberapa teman, kalau Pk identitas itu corong Rektor Unhas. Cibiran seperti itu tak hanya jadi omongan di pelataran-pelataran universitas, ini bahkan diperbincangkan di ruang-ruang sempit perkuliahan. Akibat citra negatif yang terlampau saya ketahui, sementara minat menulis makin kuat tapi tak punya penyaluran, saya kemudian memutuskan bergabung dengan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas. Semua orang tak bisa membantah kalau UKPM Unhas terkenal ‘radikal’ dalam memperjuangkan peran dan fungsinya. Dan memang benar, UKPM merupakan pers mahasiswa yang terkenal tak lelah memperjuangkan hak-hak rakyat yang terabaikan. Ini saya rasakan pada saat bergabung.
Tapi lambat-laun, saya mulai merasa tak nyaman dengan aktivitas di UKPM. Energi menulis tak pernah tersalurkan. Penerbitan Buletin Caka (Nama Buletin UKPM, red) hampir tak pernah memenuhi jadwal yang ditentukan. Mereka, anggota UKPM lebih sibuk aksi dan lupa akan tugas utamanya sebagai pers mahasiswa, yaitu menyuarakan perjuangan lewat pena. Tapi saya dibuat sedikit lega, karena setiap minggu UKPM selalu membuat diskusi. Tapi selalu saja diskusinya seputar Marxisme dan turunannya yang kolot itu. Rasa bosan makin kuat saja merasuki pikiran.
***
Suatu hari saya berpikir, kok saya mentah-mentah percaya dengan isu negatif yang di alamatkan ke salah satu pers mahasiswa tertua itu. Mungkin sebagian kalangan ada yang ‘cemburu’ dengan segala keistimewaan yang diperoleh Pk identitas. Mereka kemudian melempar isu bodoh itu untuk menjatuhkan citra Pk identitas yang terkenal profesional dan cerdas. Untuk membuktikan isu itu, saya memutuskan untuk ikut magang, sebagai proses awal bergabung di Pk identitas. Saya menyadari usia tak lagi muda kala itu. Maklum, waktu itu sudah menginjak semester enam.
Di Pk identitas, saya menjalani pemagangan psosesnya panjang dan berliku. Mungkin karena merasa diri ‘senior’ makanya banyak bertingkah. Kalau disuruh cuci piring, membersihkan ruangan langsung menghindar. Siapa ‘senior’ yang mau disuruh cuci piring? Sementara di fakultas memainkan telunjuk ‘dewa’.
Sering saya di maki oleh senior—yang kalau indikatornya angkatan, ia termasuk junior saya—tapi selalu banyak cara bagi saya untuk sekadar mangkir. Sewalaupun pada kondisi tertentu tak bisa lagi menghindar, terpaksalah mencuci piring dengan berat hati. Karena alasan itulah, saya kemudian di juluki raja kalasi.
Hampir satu tahun saya menjalani magang. Saya belum sedikit pun mendapatkan bukti jika cibiran tadi itu benar. Di ruang rapat anggota redaksi dengan bebas mengusulkan berita. Tak ada tanda-tanda jika usulan yang sedikit ‘frontal’ di buang. Saya hanya menyaksikan anggota redaksi tidak menguasai isu. Dan ditolak jika tak punya data-data riil. Saya semakin dibuat penasaran oleh Pk identitas.
***
Selama menjalani magang, tiga kali saya hampir di Drop Out (DO) lantaran malas kerja redaksi dan non redaksi. Malas pergi beli makan senior—yang juga junior saya—tapi niat baik tetaplah niat baik, selalu saja ada jalan Tuhan yang tersisa buat saya.
Seingat saya, hal pertama yang menjadi alasan di DO ketika memutuskan untuk pulang kampung. Aturan Pk identitas waktu itu melarang calon reporter untuk itu. Tapi saya bersikeras lantaran sudah tiga tahun tak pulang. Orang tua meminta saya pulang karena alasan rindu. Saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya sendiri sebenarnya tak mau pulang. Saya pikir tidak ada gunanya pulang lantaran tidak ada aktivitas di kampung. Paling banter pergi tidur dan makan. Dan, kegiatan itu tokh bisa juga dilakukan di Makassar.
Alasan kedua, saya malas mengerjakan tugas redaksi. Saya benci dengan cara membentaknya yang tidak ‘manusiawi’. Dulu, semua teman-teman seangkatan merasakan hal yang sama. Kalau kami ke Pk identitas, biasanya berjanji pergi bersama-sama. Sebelum berangkat, berkumpul dahulu di bawah Lt 1 Gedung Perpustakaan Pusat Unhas menunggu semua hadir. Setelah teman-teman berkumpul, barulah kami bergegas ke Pk identitas. Itupun sesampainya di Pk identitas, tidak langsung masuk ke ruang utamanya, tapi memilih ke Ruang Pusdok, yang memang agak tersembunyi. Waktu itu, kami betul-betul merasa segan bertemu senior yang ‘ganas’.
Yah, ternyata ‘senior’ juga punya rasa takut. Tapi jujur, sebenarnya tak takut, mungkin karena ego yang tinggi, saya malas ke ruang utama lantaran tak mau langsung di suruh cuci piring. Sebuah strategi bodoh, karena tetap juga di datangi untuk mengerjakan tugas itu.
Terakhir ketika saya memobilisir teman-teman untuk memboikot rapat redaksi. Waktu itu saya telah jadi repoter dan juga fotografer. Ceritanya, saat itu kami tidak sepakat dengan kebijakan redaksi yang tak memasukkan nama salah satu teman, yang kebetulan keluar, dalam rubrik dapur redaksi yang biasanya terbit pada edisi khusus akhir tahun. Mungkin karena komunikasi yang kurang jalan, ada sebagian teman yang ‘berkhianat’. Hanya ber-empat dari tujuh teman yang konsisten terhadap keputusan awal. Karena ada sebagain yang hadir, strategi itu hancur berantakan.
Saya pikir—karena strategi hancur—saya mesti buat stategi baru. Ini untuk menyelamatkan teman-teman saya. Saya tak terlalu penting. Waktu berkarir tinggal sedikit, lagipula saatnya saya konsentrasi menyelesaikan studi. Waktu itu, tugas redaksi saya hentikan.
Strategi lain itu adalah menjadikan saya sebagai tumbal, agar kemarahan jajaran atas bisa tersalurkan. Orang yang paling di incar mereka adalah saya. Dan itu berhasil. Saya dihabisi, dibuat malu. Karena malu yang amat besar, tanpa pikir panjang, saya memilih lari keluar dari ruang sidang Pk identitas. Yang penting teman-teman selamat, pikir saya. Jujur, saat itu saya lari karena—maaf—saya bawa barang tajam, seandainya masih disitu, kemungkinan amarah tak tertahan, dan pasti beberapa dari jajaran atas bisa jadi korban.
***
Saya menjalani proses terakhir untuk secara resmi diangkat menjadi anggota Pk identitas pada suatu malam yang panjang di bulan Desember 2008. Pada waktu itu, saya mendapat giliran pertama untuk di screening. Ini proses masuk di Pk identitas yang paling menyeramkan sepanjang sejarah penerimaan anggota, sebab semua senior berkumpul sementara kita berdiri di depan untuk ‘dikerjai’. Tempat proses ini biasanya di ruang redaksi. Semua lampu di matikan, hanya lilin dan lampu Handphone senior yang menyala.
Tiba-tiba terdengar suara, “tunduk ko!” Saya tak menghiraukannya. “Oe, kamu mau di terima ato tidak, tunduk ko disitu,” suara itu mulai terdengar keras. Dengan suara rendah saya menjawab, “saya tidak akan tunduk.” Pikiran saya bergejolak, adatnya tak beda dengan Opspek Mahasiswa Baru (maba). Bagi saya, cukup saat maba saya melakukan hal konyol itu. Kali ini tidak akan!
Karena tak mendengar instruksi untuk tunduk, saya lalu disuruh keluar. “Kau tak diterima, silakan pulang,” ungkap salah seorang senior dengan nada sinis. Saya sendiri tak tahu siapa yang menyuruh saya keluar saat itu.
Tapi akhirnya, salah seorang senior memanggil kembali tepat saat saya berlari keluar. Lama saya bercerita dengannya. Ia menjelaskan beginilah tradisi Pk identitas. Jadi harus siap. “Menjadi wartawan itu harus punya mental kuat, kalau tidak engkau akan tergerus zaman,” ceritanya. Saya kemudian disuruh bergabung kembali dengan teman menunggu giliran, “pi mako sama teman mu, kasi tenang pikiran mu, nanti dipanggil jako,” tuturnya singkat.
Ternyata benar, setelah semua teman-teman usai di screening. Kini giliran saya dipanggil untuk kedua kalinya. Kali ini saya menyerah, karena letih semalaman tak tidur, semua instruksi bodoh pun saya ikuti. Malam itupun menjadi sejarah panjang perjalanan karir saya di Pk identitas yang kemudian nanti penuh dengan krikil-krikil, romantisisme, pesimisme dan harapan.
***
Tujuan awal tadi perlahan namun pasti mulai tersibak meskipun belum seutuhnya. Yang jelas, kalau sudah di jajaran redaksi, kru Pk identitas sangat tidak ‘manusiawi’. Jika rapat pengusulan tiba, dan kru tidak membawa usulan berita atau usulannya abal-abal, maka itu berarti membawa maut bagi diri sendiri. Kru akan dimarah habis-habisan. Bila perlu, disuruh keluar untuk mencari pengusulan. Tapi bagaimana mungkin dapat pengusulan dengan kondisi yang sudah sore, mahasiswa, dosen dan pegawai tempat mencari informasi dan data sudah pada pulang. Cara itu, tentu bentuk pengusiran secara halus. Ini membuat kru ada yang datang kembali dengan tangan kosong dan mengusulkan—lagi-lagi—seadanya. Adapula yang langsung pulang lantaran takut dimarah.
Cara-cara ini mengadopsi prinsip kerja jurnalisme mainstream. Keras, dan tidak ‘berperikemanusiaan’. Kalau tidak begitu, mana bisa penerbitan—apalagi mahasiswa—menerbitkan secara rutin selama dua kali sebulan. Sementara tugas kuliah menumpuk. Laporan tugas laboratorium bertumpuk dengan segala tetek bengeknya.
Ini pembuktian positif saya. Sikap profesionalitas. Tapi diluar, sikap otoriter itu dijadikan cibiran oleh pesaing Pk identitas yang sebenarnya inferior dengan kemampuan Pk identitas menerbitkan secara berkala dan tepat waktu. Beda dengan mereka, penerbitannya tidak jelas. Tidak ada manajemen redaksi. Yang ada hanya kebebasan, anti-otoritarian, tapi penerbitan tak jalan. Penerbitan apa namanya itu?
***
Seiring berjalannya waktu, ternyata saya menemukan banyak hal yang dicibirkan orang itu. Adakalanya semua itu benar. Setelah dua tahun lebih menjalani, saya baru sadar. Pk Identitas rapuh, tanpa pondasi filosofis. Hanya kuat pada tataran materil. Saya mengakui Pk identitas mampu menerbitkan secara berkala dan tepat waktu. Tapi ada satu hal yang mereka lupa, mahasiswa seharusnya—apalagi pers—mempunyai basis wacana yang mumpuni. Ini berfungsi agar gerak pers mahasiswa tidak kehilangan arah perjuangannya. Pada zaman sekarang, penguasaan wacana menjadi penting bagi teman-teman Pk identitas karena merekalah menjadi tunas wartawan masa depan Sulsel. Dari tangan mereka lah nantinya gerak sejarah ini ditentukan. Saya hanya takut, mereka nantinya menjual Sulsel kepada pemodal lantaran mereka tidak dilengkapi piranti yang sangat fundamental ini. Kalau basis ideologi tidak cukup—kalau mau dibilang tidak ada—sudah barang tentu mereka nanti menjadi wartawan bodoh yang hanya dipermainkan kapitalis.
Lihat saja bagimana citra Sulsel sekarang? Ini tentu tak lepas dari peran besar wartawan—yang kebetulan—banyak senior Pk identitas. Dengan gaji yang tak seberapa, dengan gencar memuat berita tentang anarkisme mahasiswa, padahal itu tak sepenuhnya benar. Aksi anarkisme itu tidak lebih dari setitik aksi dari beribu aksi yang dilakukan mahasiwa. Terkadang juga substanti aksi tidak ditonjolkan, ini karena apa? Karena mereka tidak paham dengan wacana dan politik pencitraan. Miris kan? Apa ini yang diingankan Pk identitas?
Saya merasakan, Pk identitas betul-betul kering akan wacana. Saya pernah bingung mencari teman diskusi lantaran semua kelompok diskusi saya dulu, saya tinggalkan untuk fokus di Pk identitas. Saya berpikir, wacana bisa diperoleh di Pk identitas.
Tapi semua harapan itu sia-sia, teman di Pk identitas itu lebih banyak apatis terhadap persoalan fundamental yang membedakan kita dari media mainstream. Mereka lebih cenderung mengasah kemampuan teknis menulis, yang sebenarnya tak pernah tuntas, ketimbang penguasaan wacana. Paling tidak ada balance.
***
Yang perlu diketahui teman-teman, termasuk yang masuk di Pk identitas (kebetulan saya fotografer) itu nomor satu. Jadinya, selama dua tahun, meskipun ini cenderung apologi, kuliah saya hancur. Bagaimana tidak, saat saya final test sementara ada aksi mahasiswa diluar, saya mesti meninggalkannya. Tentu pilihan yang sulit.
Tapi saya menganggap, ini konsekuensi yang harus saya jalani. Saya harus bertahan untuk memenuhi tujuan saya tadi. Yaitu mengetahui apa itu Pk identitas? Sebab baru mendapatkannya sedikit.
Akhirnya, pada 2009 lalu, terjadi pemilihan Pimred. Saat itu, ada tiga orang yang ingin maju jadi Pimred. Semuanya kader terbaik Pk identitas, tapi ada satu yang menurut saya openmind untuk merubah Pk identitas menjadi pusat wacana, paling tidak pada tataran internal redaksi.
Bagi saya, tujuan awal tadi telah berubah, dari sekadar ingin mengetahui, menjadi ingin merubah. Menjadikan Pk identitas sebagai pusat kritik, pusat wacana, pusat segala sesuatu di Unhas. Saya kira itu bukan tujuan yang utopis, Pk identitas punya segalanya.
Akhirnya, jagoanya saya terpilih. Dalam program kerjanya ia memiliki visi dan misi yang istimewa untuk ukuran Pk identitas saat itu. Saya menganggap ia luar biasa. Tapi belakangan pandangan itu berubah, tidak ada lagi diskusi, apalagi kajian terhadap isu terbaru di Unhas, atau nasional. Awalnya memang ia intens membikin diskusi, tapi hanya berjalan sesaat. Yaitu tiga bulan awal saja. Dan yang membuat saya berang, dia tidak tegas terhadap jajaran atas yang keluar tanpa prosedur. Tapi saya tak perlu mengulas itu.
Beberapa teman yang dulu saya minta mendukungnya bahkan melontarkan kata-kata tak enak terhadap saya. Kata mereka, “kau telah menjerumuskan saya, lihat Pimred yang kau rekomendasikan.” Tapi saya selalu meyakinkan mereka kalau tunggu saja beberapa waktu, kita lihat bagaimana kebijakannya.
***
Pernah saya mengusulkan untuk menseleksi magang yang masuk di Pk identitas itu dengan tiga hal, pertama mereka harus di test potensi pengusaan filsafatnya, pengetahuan sosialnya dan terakhir pengetahuan jurnalistiknya. Kenapa pengetahuan jurnalistik terakhir? Karena mereka datang untuk belajar jurnalistik, itu bisa mereka dapatkan di Pk identitas. Sementara filsafat dan pengetahuan umum, digunakan sebagai piranti analisis agar pemberitaan menjadi berbobot. Dua hal pertama tadi sangat tidak mungkin mereka dapatkan di Pk identitas lantaran kondisi yang tidak memungkinkan.
Tapi itu di tolak. Mereka beralasan semua harus diberi kesempatan, biarlah alam yang akan menseleksinya. Alasan bodoh bukan? Lihat saja bagaimana semakin tahun kualitas pemberitaan dan kualitas kru Pk identitas makin buruk, saya sendiri juga tak sepenuhnya baik, sebab dihasilkan dari sistem yang buruk. Ini adalah langkah awal, sebuah langkah revolusioner, menurut saya.
Bagi saya sendiri, Pk identitas tak seharusya hanya menjadi media pembelajaran, tapi harus lebih daripada itu, media perjuangan. Peduli setan dengan rektorat, jika ia khilaf, mesti di kritik walaupun dengan acaman pemberedelan. Saya kira kita harus siap dengan kondisi itu jika sewaktu-waktu di bredel, dan mental itu harus kita bikin sekarang, bukan esok. Kita hanya perlu langkah awal, sekali lagi sebuah langkah revolusioner.
Saya setuju dengan perkataan salah seorang dosen komunikasi, Drs Mauliadi Mau kepada forum Diklat lanjut UKPM Unhas tahun 2009. “Pk identitas itu corong rektorat, hanya menciptakan wartawan bobrok Sulsel yang menghamba pada kapitalis, lihat saja semua seniornya jadi pemimpin media kapitalis di Sulsel saat ini,” ungkapnya sinis. Itulah kurang lebih sepenggal kalimat yang ia lontarkan ke khalayak umum yang ikut Diklat dari seluruh Indonesia itu. Saya kira itu benar dengan catatan, tidak ada track record senior identitas sebagai wartawan amplop. Atau wartawan lainnya. Mauliadi Mau terkesan ‘ngawur’ dan sembrono dalam beberapa titik.
Mauliadi benar jika dikaitkan dengan citra Sulsel yang memburuk. Sebab hampir semua pimpinan media di Makassar adalah senior Pk identitas. Tapi ia salah karena sebagai Dosen Komunikasi membiarkan hal ini terus berlangsung. Harusnya ia mem-back up Pk identitas. Dengan memberikan pembelajaran wacana agar hal itu disadari. Dan, itu semakin membuat semangat saya terpacu untuk ber-identitas.
***
Tapi kemudian hal itu berubah menjadi suatu yang utopis, paling tidak saat ini melihat sikap Pimred yang tak lagi opendmind. Akhir juli lalu, sebuah opini dia batalkan terbit lantaran wacananya telah usang. Menurutnya, (penjelasan ini setelah terbit) kalau opini itu diterbitkan, terkesan kita ‘menghakimi’. Ceritanya begini, opini yang di batalkan itu bertemakan Anti Negara Islam, awalnya sodara Erwin menulis di Kolom Bias dengan judul: Negara Islam, No Way. Kemudian itu dibantah anggota HTI di kolom opini dengan judul: Negara Islam, Is a Way. Juga pada saat itu, seingat saya Pimred mengatakan bosan pembaca kalau disuguhkan opini yang berbau Islam terus.
Lalu apa yang terjadi? Yang keluar adalah opini tentang Syiah. Siapa yang tidak kecewa? Sekali lagi, Pk identitas itu ruang perjuangan, bukan pembelajaran semata. Bagi saya, siapa pun yang menolak demokrasi, yang tidak menghargai sesama dalam kesederajatan, yang ingin mengganti negara Indonesia yang nasionalis dan demokratis dengan Negara Islam harus di lawan. Dan inilah posisi peran perjuangan Pk identitas yang saya maksud. Lagipula, sodara Pimred terlampau terburu-buru karena ternyata dia tak mengikuti perkembangan wacana Pk identitas. Dia tidak membaca opini balasan itu, sebab hanyalah penjelasan rinci atas kesalahan penafsiran oleh penulis HTI. Untuk penjelasan lebih lanjut, akan saya bahas pada tulisan saya lainnya, tentang agenda Setting Media.
Saya paham kalau dalam media berlaku sistem secara struktural. Segala pemberitaan yang terbit tergantung keinginan Pimred. Tidak ada alasan, semua titik. Tapi bukankah kita media kampus? Medianya mahasiswa yang menggaungkan demokrasi. Apa pantas hal itu dilakukan, paling tidak sebelum di hapus, Pimred berusaha mengkomunikasikannya. Saya tentu akan menerimanya dengan lapang dada. Bagi saya, itu sepenuhnya wilayah Pimred. Saya ini hanya ‘pembantu’.
Sikap ini akhirnya membuat saya menolak meng-edit opini edisi berikutnya, saya merasa tidak lagi punya kapabilitas. Saya telah terbukti gagal menjalankan amanah. Dan, saya tidak akan menjilat lidah saya sendiri. Sekali berkata tidak, kata itu akan berlaku selamanya. Entah apapun konsekuensinya. Terakhir, saya diberi surat teguran pertama. Surat itu saya sobek. Surat itu tidak punya efek apapun terhadap saya. Karena pada saat itu, saya menganggap diri benar dengan pilihan saya. Dan sodara Pimred, adalah orang bodoh se-Dunia.

Ber-identitas, berarti siap menjadi ‘penjual sate’
Bukan cuma itu, ber-identitas sama saja dengan menjadi ‘penjual sate’. Sebuah tradisi yang harus segera diputus. Bayangkan saja, saat saya menjadi Steering Diklat Dasar Jurnalistik tahun lalu, saya dibuat repot setengah mati, karena baik jajaran atas maupun reporter masing-masing memiliki bahasa sendiri yang sulit saya pahami. Mereka—jajaran atas—bangga dengan ke-atasannya dan tidak mau menyentuh hal ‘bawah’, macam membantu kegiatan. Mereka ber-apologi, ini sudah mereka rasakan, ini tradisi, kalian harus mengerjakannya. Sementara reporter, juga larut dalam ‘kebawahannya’ sehingga bebal dengan segala macam marah dan kritik yang saya lontarkan.
Tapi saya tahu, personil reporter yang menjadi panitia tidak cukup pengalaman dan tenaga di tengah kuliah yang padat untuk membikin Diklat. Jadilah Diklat itu sebagai tempat saya dan beberap teman redaktur dan reporter beralih profesi menjadi ‘penjual sate’. Menjadi ‘penjual sate’ lantaran menusuk, mengipas, tapi di makan bersama. Kita yang capek membuat kegiatan, sementara jajaran atas yang mendapatkan enaknya. Ironis bukan? Itulah Pk identitas.
Inilah poin selanjutnya yang harus di lakukan Pk identitas. Memupuk sikap peduli. Kita ini adalah tim. Inilah poin yang segera harus dibenahinya. Caranya, tentu dengan melakukan upgrading panitia pelaksana sebelum melakukan sebuah kegiatan. Kemudian, semaksimal mungkin menyaring kru yang punya pengalaman organisasi. Bagaimana pun minimnya pengalammnya. Karena, ber-identitas bukan sekadar ajang pembelajaran, tapi juga sebuah arena perjuangan.
Bukti selanjutnya dari sifat ini adalah adanya kegiatan PJTLN yang tanggal 13 oktober akan diadakan. Semua panitia, Steering dan jajaran atas kocar-kacir memikirkan kegiatan ini baru pada saat kegiatan ini akan dilaksanakan. Efektifnya mereka serius mengurus kegiatan ini justru satu bulan—kalau mau dibilang tidak cukup—sebelum kegiatan berlangsung. Lagi-lagi, ironis bukan?
Saya sendiri memilih ‘hengkang’ dari kegiatan itu dengan alasan bahwa tidak ingin jadi ‘penjual sate’ untuk kedua kalinya. Saya mahasiwa, bukan ‘penjual sate’. Apapun opini yang keluar dari jajaran atas dan teman-teman, terserahlah, ini pilihan? Saya bukan orang bodoh. Hanya orang bodoh yang jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya, dan paling bodoh untuk yang ke-tiga kalinya.
Tapi perlu diketahui, saya sebenarnya sudah menolak untuk membikin kegiatan ini. Saya dahulu berpikir, Diklat Dasar saja masih tak becus, bagaimana Diklat Nasional yang memerlukan profesionalitas tinggi? Tapi kala itu, semua kru menolak rasionalisasi saya, mereka bilang kita bisa! Tapi mereka lupa, tidak memperhitungkan secara matang segala aspek.
Saya sedikit paham tentang manajemen organisasi, saya mendapatkan di bangku kuliah. Untuk menentukan prioritas kegiatan, terlebih dahulu kita mempertimbangkan aspek Sumber Daya (SD) yang ada. Apa itu sumber daya? Yaitu segala aspek yang memungkinkan pencapaian tujuan. Tapi apakah Pk identitas saat ini memilik SD untuk membuat kegiatan? Untuk beberapa hal mungkin punya, seperti, machine, money, tapi kita lupa dua hal, kita tak punya man, dan method? Kalau pun ada, tidak terlatih. Disitulah saya sendiri melihat pilihan untuk ber-PJTLN adalah—dalam manajemen—sebagai pilihan yang irasional. Dikatakan irasional karena tidak mempertimbangkan SD yang ada.
Mungkin PJTLN yang direncanakan itu saat ini berjalan. Tapi apa ia berjalan sesuai tujuan? Saya kira kegiatan ini berjalan diatas ‘nyawa terakhir’. Lihat, bagaimana rasionalisasi Steering saat saya mempertanyakan kenapa spanduk dan baliho tidak segera dipasang. Ia berpendapat kalau Baliho dan Spanduk tidak terlalu penting dipasang karena tujuan peserta bukan dari Makassar, tapi dari luar, padahal saat itu efektinya tiga minggu sebelum acara berlangsung. Namun apakah itu benar? Saya kira tidak, karena dibuatnya kegiatan nasional ini yaitu juga untuk memperkenalkan Pk identitas dimata mahasiswa baru Unhas. Saya banyak bertanya kepada mahasiswa angkatan 2008 dan 2009, banyak dari mereka yang tak tahu apa itu Pk identitas. Dan sangat lucu kalau orang luar tahu Pk identitas tapi mahasiswa Unhas tidak. Nah, itu yang tidak dilihat Steering dan Panitia. Dan prioritas macam inilah yang perlu dijadikan program kerja unggulan.
Beberapa kali saya mempertanyakan hal ini dalam rapat, tapi ini tidak di dengar, mereka berkilah, kita tunggu saja Baliho dan Spanduk yang dibuat sponsor. Tapi kapan? Mungkin tahun depan?
Bagi saya, ini membulatkan tekat saya untuk—sekali lagi—setelah sebelumnya merasa kecewa untuk betul-betul malas peduli dengan kegiatan. Tak berarti rapat. Tokh rapat hanya mendengarkan keluh kesah tanpa mencoba mencari solusi. Tak ada resolusi yang baik. Saya kira rapat itu tujuannya mencari resolusi.
Rabu lalu, (6/10) Baliho itu terlihat dipajang di Spanduk Center Fakultas Kedokteran Gigi. Di pasang dengan keadaan ‘semaunya’. Tampak tidak ada keseriusan terhadapnya. Lalu inikah gambaran kegiatan nasional?

Akhir Dari Keluh Kesah Adalah Permintaan Maaf
Mungkin keluh kesah ini terlalu panjang, dan terlampau subjektif. Bukankah keluh kesah itu pengalaman subjektif? Dan mungkin, buat teman yang terus berjuang ‘di jalan yang salah’ sadarlah, anda itu bukan ‘penjual sate’. Anda mahasiswa.
Terakhir, dengan segala hormat saya minta maaf atas sikap saya. Mungkin juga kalian tidak akan memaafkan saya, saya terlalu kejam untuk dimaafkan!
Saya kutip sair lagu ST 12 untuk kalian, “Satu jam saja, ku telah bisa cintai kamu seutuhnya namun bagiku, melupakan mu butuh waktu ku seumur hidup.” Saya mencintai Pk identitas melebihi pacar. Saya menyayangi kalian melebihi saudara saya sendiri, makanya saya peduli. Walaupun awalnya saya hanya ingin mengetahui. Mungkin cara saya yang salah, manifestasi cinta saya yang tak benar. Tapi yakinlah, ini untuk kalian. Untuk Pk identitas ke depan. Maukah kalian terus mewariskan profesi ‘penjual sate’ kepada generasi selanjutnya? Maukah kalian mewariskan generasi ‘bodoh’ wacana? Saya kira tidak! Tidak untuk saat ini dan selamanya!