Senin, 20 September 2010

Arung dan Ekstasi

Catatan Pendamping Goenawan Muhamad untuk buku St. Sunardi berjudul: Nietzsche


“Saya harus hanya memercayai seorang Tuhan yang mengerti bagaimana menari”

(Also Spach Zaratustra)

Nietzsche hadir tidak hanya dengan niat mengejutkan, ketika ia mengatakan bahwa “Tuhan sudah mati”. Ia lebih radikal ketimbang seorang ateis biasa. Beberapa pernyataan yang termasuk termasyhur bahkan menyebabkan ia bisa ditafsirkan sebagai filsuf yang bukan saja menampik filsuf (yang pernah ia cemo’oh sebagai kegiatan yang mirip vampir: menghisap darah dari kehidupan) dan menentang metafisika, tetapi juga seorang pemikir yang menampik adanya kebenaran. Baginya, kebenaran adalah ilusi. “Kebenaran”, begitu pernah ia katakan, “adalah sejenis kesalahan yang bila tanpa itu sejenis makhluk tak dapat hidup.” Bahkan kehendak untuk mendapatkan kebenaran pernah dianggapnya sebagai ekspresi dari ideal yang tidak disukainya, yakni ideal zahid, atau “asketik”, yang menampik kehidupan.

Memperkenalkan Nietzsche ke kalangan yang lebih luas di Indonesia, seperti yang dengan bagus dilakukan oleh St. Sunardi, berarti menyediakan satu kesempatan—kepada mereka yang tertarik akan soal-soal ide-ide—untuk ikut serta dalam suatu penjelajahan yang mengguncang, menjebol batas, menemui malam, memasuki sebuah gelora yang merangsang, karena kita senantiasa dikejutkan oleh tendensinya, yakni bahaya. Nietzsche sendiri mengatakan apa yang kita alami dalam arung itu dalam satu aforisamenya yang terkenal, sebagaimana dikutip St. Sunardi dalam buku ini:

Kita meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang kita—dan lagi, kita sudah menghapuskan daratan di belakang kita! Dan kini, hati-hatilah, kau kapal mungil! Samudra raya mengelilingimu: memang benar, dia tidak senantiasa mengaum, dan kadang-kadang ia tampak lembut bagaikan sutera, emas dan mimpi yang indah. Namun, akan tiba waktunya bila kau ingin tahu, bahwa dia itu tak terbatas. Oh, burung yang malang yang merasa bebas dan kini menabrak dinding-dinding sarangnya! Ya, bila kau merasa rindu akan daratmu… yang seolah-olah menawarkan kebebasan lebih banyak—dan tak ada “daratan lagi”.

Ia pasti bukan suara yang putus asa setelah mengatakan bahwa “kebenaran adalah ilusi”. Yang terbersit dari kata-kata itu justru sebuah isbat kepada hidup, dengan segal rindu yang tak sampai, rumah yang tak pernah tegak, petaka yang tak pernah putus, didalam kancah kelezatan tubuh dan angan-angan. Amor fati: kita menerima nasih dengan semacam rasa cinta. Tanpa miris, bahkann dengan gairah. Di dalam masa ketika aman dan tertib merupakan nilai yang diunggulkan—tidak hanya dalam kehidupan sosial, tetapi juga dalam pemikiran dan keyakinan—di masa ketika banyak orang ingin berlindung di bawah otoritas negara ( “monster yang paling dingin”, kata Nietzsche), atau dibawah iman dan ilmu, pemikiran Nietzsche bisa dianggap semacam ekstasi: yang didapat dari sana adalah pembelotan, kegilaan, khaos, keasyikan dan niat kembali terus menerus, dengan berahi. Bedanya dengan obat perangsang biasa ialah dari Nietzsche kita bisa, kalau kita terbuka untuk itu, memperoleh keberanian yang tertuntas. Dengan Nietzsche kita ibarat mendaki mahameru untuk mencapai puncak dalam panggilan sang hero yang tragik.

Juga sebuah hidup yang kreatif. Juga pandangan yang riang dan ringan hati. Ketika Zaratustra, dalam Also Sparch Zaratustra, mengatakan bahwa ia “harus hanya memercayai seorang Tuhan yang mengerti bagaimana menari”, ia agaknya meringkaskan suatu letmotiv dalam pandangan hidup Nietzsche: bahwa seandainya pun ada suatu sumber yang esa, kalaupun ada pondasi dari segala hal ihwal, maka suatu sumber atau fondasi itu sesuatu yang bergerak senantiasa, mencipta senantiasa, berubah senantiasa, seperti penari di dalam suatu koreografi yang membersit dari dalam diri sendiri, tanpa mengikuti pakem dan bentuk, tanpa telos atau tujuan yang dipatok. Suasana bukanlah semangat yang memberat, sebab semangat itulah justru musuh. “Akulah musuh Semangat Memberat,” ujar Zaratustra, yang merasa diri ibarat burung, selalu siap dan tak sabar untuk selalu terbang. Menjadi burung yang terbang bukanlah menjadi burung onta yang berlari lebih cepat ketimbang kuda, tetapi sementara itu membenamkan matanya sarat ke dalam tubuh—dan menyebut bahwa bumi dan hidup itu berat.

Bagi Nietzsche: tarian dalam nasib yang dahsyat ini adalah tarian yang ringan, terbang, bermain, bahkan tertawa…

Mereka yang tak terbiasa dengan semua ini mungkin akan bertanya (dengan sedikit “semangat memberat”): jika demikian, dimana tanggung jawab, disiplin, hidup yang tahu apa dituju? Bagaimana kau akan menghadapi orang-orang yang malang, dan bagaimana kau menghadapi maut, yaitu hari akhir, yang bisa membuat eksistensi sebagai alur, atau suatu tema? Dan mengapa harus ringan, terbang, bermain bahkan tertawa?

Seorang penulis pernah mengatakan bahwa Nietzsche adalah “tokoh sentral dalam pemikiran postmodern di Barat”, suatu pemikiran yang sering kali diasosisikan dengan sensibilitas terhadap apa yang disebut Derrida sebagai konsep “permainan”. Yang kita arungi, dengan keberanian dan kegembiraan, bukanlah suatu proyek penaklukan dunia. Yang menonjol dari Nietzsche pertama-tama adalah sebagai sebuah suara kritis terhadap agenda modernitas yang dimulai dengan Descartes, yang praktis menempatkan ego dalam posisi Tuhan—sebagai awal, malah sumber, dari perpikir dan dari “meng-ada”—dan dengan demikian membuat pemikiran diskursif menjadi pembangunan dunia. Bagi Nietzsche, ego yang seperti itu hanya fiktif. Baginya, tidak ada seonggok subjek. Yang ada hanyalah pluralitas. “Kita adalah pluralitas yang membayangkan diri sebagai satu kesatuan,” kata Nietzsche. Yang ada (seperti yang kemudian bergema dalam pemikiran Julia Kristeva) adalah subjek-dalam-proses. Semua mengalir, semua menjadi. Makhluk, seperti kata orang Jawa, segala hal yang kita temui karena ada, adalah dumadi, suatu yang “dijadikan dan menjadi”.

Hanya saja banyak orang melihat air yang dibendung tidak percaya, bahwa air itu mengalir, begitulah sebagaimana yang di ibaratkan dalam Zaratustra. Mereka hanya melihat tambak, bendungan, tebing—mungkin karena itu lebih memudahkan mereka untuk berurusan praktis dengan dunia. Orang yang bertumpu pada identitas benda-benda, kepada konsep dan kepada kategori, yang konstan, utuh, beku, tak bergerak dalam perbedaan, sebab dengan itu orang bisa mengaturnya, mengontrolnya, dan menjalankan pengetahuan dengan dunia serta kekuasaan atas hidup dan hal-ihwal. Negara, modal, uang, ilmu dan teknologi bermula dari sini. Dan Nietzsche—setidaknya dalam interpretasi posstrukturalis—adalah sebuah suara alternatif dari kesibukan modernitas itu.

Tentu, tidak persis demikian. Heidegger, misalnya, mengatakan bahwa pada dasarnya tidak banyak beda antara Nietzsche dan Descartes. Dengan memastikan cogito ergo sum, Descartes telah merubah manusia menjadi sang subjek, yakni substansi atau penopang yang berperan sebagai fondasi segala yang ada (beings). Dengan demikian, keputusan tentang apa saja yang dapat dianggap sebagai “sesuatu yang ada” terletak pada manusia, dan manusia pun hadir dalam posisi dominan. Bagi Heidegger, Nietzsche pun melakukan hal yang sama. Bedanya, dalam pemikiran Nietzsche, sang subjek bukanlah ego yang spiritual, melainkan tubuh, yang ditafsirkan satu pusat hasrat dan rasa, sebagai “penubuhan” dari “der Wille zur Macht”, kehendak-untuk-kuasa. Subjek itulah yang oleh Nietzsche, menurut Heidegger, jadi ukuran keber-ada-an? Dari tiap hal yang ada: terhadap suatu benda, satu barang, satu hal yang bukan-saya yang “ber-ada” di hadapan saya, sayalah yang menetukan keber-ada-annya. Memang itu tak pernah terjadi dengan proses pemikiran diskursif seperti pada renungan Descartes. Tapi bila Nietzsche menganggap kebenaran sebagai ilusi—dan itu berarti ada yang “benar” dan ada yang “ilusi”—maka sang subjeklah yang dihadirkan sebagai suatu “kekuasaan mutlak untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang palsu.”

Agaknya bagi pandangan Heidegger, Nietzsche masih belum beringsut dari baying-bayang humanisme. Ia belum manusia dari pusat hal-ihwal. Agaknya bagi Heidegger, yang cenderung menggambarkan manusia, atau Dasein, sebagai yang selamanya “terpikat” oleh wujud dan makhluk lain, dan mahkluk lain, dan yang kodratnya dibentuk seluruhnya oleh hubungan yang bersifat “gumati” dengan mereka, Nietzsche masih meneruskan pemikiran adanya subjek yang bukan saja berbeda, tapi juga lebih utama dari objek. Daripadanya kita memperoleh ideal sang kelana yang gagah berani, yang menuju ke kualitas Ubermens, menghadang resiko, memilih arung yang tak lazim, menjadi “tuan” dan bukan “budak”, mirip dengan sang jagoan dalam kisah perjalanan Odysseus. Tapi bukankah itu juga gambaran seorang entrepreneur, orang bisnis yang hendak merengkuh sesuatu yang besar, membentuk satu imperium, menaklukkan, dengan menempuh badai dan melawan arus? Dan bukankah Odysseus bisa dianggap (oleh Adorno, misalnya) sebagai “prototype individu borjuis”?

Heidegger, yang berbicara nuram tentang teknologi, dalam perkembangan pemikiran kemudian bahkan mengemukakan bahwa di dunia ini manusia sekadar berperan sebagai “penggembala” yang memelihara misteri dari sang Ada (Sein atau Being)—satu pernyataan yang seakan-akan memberi warna mistis bagi pandangan hidupnya, satu hal yang memang umumnya dianggap tak ada indikasinya dalam pandangan Nietzsche. Dalam hubungan inilah agaknya bagi Heidegger, Nietzsche—yang menentang metafisika, yang menyatakan tak ada dunia yang trasenden—telah melakukan apa yang oleh metafisika umumnya: mengabaikan Ada. Metafisika, bagi Heidegger, adalah sejarah surutnya Ada. Dan itu pula yang terjadi ketika Nietsche mengemukakan “kehendak-untuk-kuasa” sebagai “esensi dunia”, “esensi hidup”, bahkan “esensi segala hal yang ada”. Heidegger menganggap Nietzsche telah meletakkan Ada pada status nilai: sekadar suatu kondisi untuk mempertahankan dan meningkatkan kehendak-untuk-kuasa. Maka, apa bedanya dia dengan Descartes dan agenda modernitas dan himanisme yang bertolak dari sana?

Tetapi Heidegger telah salah membaca Nietzsche, menurut Derrida dan kaum posstrukturalis. Bagi Derrida, pemikiran Heidegger mengukuhkan kembali kedudukan logos dan kebenaran sebagai premium signatum: sebagai tanda yang dalam arti tertentu bersifat trasendental. Bagi Derrida dan kaum posstrukturalis, Heidegger benar jika ia, dalam membaca Nietzsche, bisa membiarkan bahasa Nietzsche tidak bekerja sebagai metafora. Bagi Derrida, hanya dengan menelaah bahasa Nietzsche secara demikian, Nietzsche justru akan tampak telah mampu membebaskan penanda dari sifat ketergantungannya dan derivasinya, sehingga penanda pun tidak akan ditentukan oleh dan tidak akan pula berasal usul dari logos atau konsep tentang kebenaran yang terkait.

Derrida pun mengajukan argumennya tentang “main”. “Main” adalah “tidak hadirnya petanda yang trasendental sebagai ketidakterbatasan main.”

Karena Nietzsche percaya bahwa kebenaran adalah ilusi, karena ia tidak mengasumsikan bahwa akan mungkin penanda yang cocok dengan petanda yang ditandainya, karena realitas adalah dumadi, yang terus dalam prosen menjadi, berubah, mengalir, dan tiap titik dalam air tidak pernah kembali, bahkan yang ada dalam suatu khaos, Derrida tampaknya ingin menampilkan Nietzsche sebagai isbat, suatu afirmasi, kepada gerak penanda yang putus-putusnya menandai, suatu signifiant yang menari-nari terus tanpa tempat menambatkan diri, tanpa suatu signifie, tanpa rumah asal tanpa tujuan akhir, tanpa nostalgia: yang ada sebuah tanah air pikiran yang telah hilang. Sang Ubermens, kata Derrida, membakar teks nya dan menghapus jejak langkahna sendiri, tertawa ke arah jalan kembali, dan ia akan menari, di luar kebenaran dan “rumah Ada”, lupa secara aktif …

Mari menari, mari tertawa, mari berlupa…

Derrida, seperti ditunjukkan oleh Michael Haar dalam satu esai yang cemerlang yang menggambarkan bagaimana Derrida “memainkan” Nietzsche, sebenarnya menjalani suatu startegi HyperNietzshean. Dengan mengatakan “menulis adalah permainan dalam bahasa”, di mana penanda bergerak dengan tidak lagi memiliki petanda, suatu proses main intra-linguistik yang tanpa henti, suatu proses permainan dari segala yang ada yang berlangsung di atas “papan catur tanpa dasar” yang tanpa penahan dan tanpa kedalaman—semuanya itu agaknya melebih-lebihkan apa yang disebut Nietzsche sebagai dorongan untuk bermain sebagai suatu bagian dari kehendak-untuk-kuasa.

Sebab, seperti yang dikatakan Michael Haar, bagi Nietzsche, dunia bukanlah sebuah “papan catur tanpa dasar”. Pelbagai daya yang hadir dalam khaos berlangsung dengan menopang dan mempertahankan manusia. Bagi Nietzsche, bahasa bukanlah cakrawala tanpa batas yang terus menerus tertunda garis batasnya. Menulis adalah suatu imitasi dari bicara. Memang, menulis bisa menyembuhkan bahasa dari cakap yang tanpa intensitas yang biasa disenangi orang banyak. Tapi pada dasarnya menulis hanya sebuah salinan pucat, dan sebab itu Nietzsche mengatakan: “Aku hanya suka apa yang ditulis dengan darah.”

Tidak selamanya bisa pas menang. Terutama karena “kata dibuat untuk gaya berat”, seperti yang dikatakan Zaratustra, dan hanya nyanyi, music, yang tidak berbohong pada dia yang “ringan”. Kata akan selalu dibebani makna, lagu bisa tak mengacuhkan hal itu.

Derrida bisa mengatakan bisa mengatakan bahwa justru dengan mengatakan hal itu, Nietzsche mengutamakan yang tanpa-beban-makna, yang tanpa harus terkait dengan petanda, yang mengingatkan, bahwa kebenaran adalah ilusi. Tapi bisakah sebenarnya kita mengatakan bahwa kebenaran adalah ilusi? Bukankah dengan mengutarakan kalimat itu, Nietzsche sebenarnya mengutarakan kebenaran?

Dalam bukunya, St. Sunardi cenderung mengatakan “ya”. Bagi Nietzsche, kata Sunardi, kriterium kebenaran berbeda dari yang dirumuskan Descartes. Kriterium kebenaran adalah “semakin tingginya kesadaran orang akan adanya kekuatan.” Ada yang memberi kesan dekatnya Nietzsche dengan pragmatisme disini. Pun ada yang, seperti yang dikemukan oleh Sunardi, bahkan bisa dibandingkan dengan Karl R Popper: bahwa suatu ucapan atau hipotesis bersifat ilmiah, kalau secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya. Bukankah, menurut Nietzsche, kebenaran bukanlah antithesis kekeliruan, melainkan, dalam hal-hal yang paling fundamental, hanya merupakan bentuk hubungan antara berbagai macam kekeliruan? Dengan kata lain, menurut kesimpulan Sunardi, baik Popper maupun Nietzsche memperingatkan “bahaya dogmatisme kebenaran”?

Dogmatisme: kemandegan. Maka barangkali tidak ada jeleknya kita teringat kembali bahwa Zaratustra adalah seorang penari, yang hanya mau percaya kepada Tuhan yang mengerti bagaimana menari. Kepada hidup, Zaratustra berkata: “Aku menari mengikutimu, kuturutkan kau bahkan ketika kulihat jejakmu yang paling lamat.” Kebenaran adalah Sesuatu yang didapat dari proses kreatif, tanpa dibebani pamrih, atau tanpa tujuan samping apapun; suatu proses kreatif yang menguntit hidup: itu juga sejenis “arah”, dan bisa jadi semacam “kepatuhan”, dan jangan-jangan “tanggung jawab” –setidaknya kepadasang Hidup. Saya kira, disini tampak bahwa Nietzsche memang hadir tidak untuk mengejutkan, tidak usah mengejutkan.

Senin, 13 September 2010

Negara Islam, No Way

Tulisan ini di muat di Tabloid identitas edisi Akhir Juni 2010

Pada suatu hari di bulan Mei 2010, sekelompok mahasiswa tampak serius berdiskusi. Di sekitarnya, terpampang atribut bendera dan spanduk bertuliskan huruf Arab. Saya yang terlambat datang tetap langsung bisa menebak, kelompok mana yang membikin kegiatan ini. Tema diskusinya, “Memaknai Hari Kebangkitan Nasional, 21 Mei”.

Saya tercengang, salah seorang pemateri berseloroh, maknailah Hari Kebangkitan Nasional sebagai tonggak awal perjuangan mengganti sistem Negara Indonesia. Saya tahu, pemateri itu tidak sedang bercanda. Sebab kelompok ini memang gencar mengusung jargon Negara Islam. Mereka memiliki tujuan mengganti sistem negara kita yang nasionalis dan demokratis dengan Negara Islam. Bagi mereka, demokrasi merupakan sistem kufur yang berasal dari Barat.

Tampaknya kini yang membebaskan atau yang menjerat adalah sebuah ide membentuk sebuah Negara Islam dan dengan itu segala ketimpangan sosial bisa ‘dilenyapkan’. Negara Islam itu, seperti yang digemborkan pendukungnya merupakan wasiat Tuhan yang harus diwujudkan. Jika tidak melakukannya, maka azab Tuhan niscaya datang bertubi-tubi.

Beberapa puluh tahun lalu, di negeri asalnya, Arab Saudi, para pendukung Negara Islam yang tergabung dalam gerakan Wahabi-Ikhwanul Muslimin bahkan tak segan membunuh dan mengecap kafir orang lain yang berbeda pemahaman. Mereka mengklaim bahwa mereka sepenuhnya memahami isi Al-quran. Olehnya, mereka berhak menjadi wakil Tuhan.

Ide pembentukan Negara Islam di negeri Indonesia bukanlah hal baru. Dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdatul Ulama (NU), salah satu organisasi keislaman terbesar di Indonesia harus berdiskusi panjang untuk sampai pada kesimpulan memperbolehkan pendirian negara bangsa. Bagi kaum muda NU, terbentuknya Negara Islam tidak serta-merta membentuk masyarakat yang islami pula. Masyarakat islami akan terwujud jika ummat menjalankan agama secara konsisten.

Baru-baru ini, adanya insiden penyerangan kapal bantuan kemanusiaan Mavy Marmara oleh tentara Zionis Israel semakin memperkuat justifikasi kelompok ini atas ide membentuk Negara Islam. Tengok saja aksi-aksi yang terjadi. Spanduk dan plakat bertulis, “Sistem Khilafah (baca: Negara Islam) solusinya.”

Tentu harus dicatat, keinginan mereka memperjuangkan islam itu tak salah. Namun, klaim yang menganggap Negara Islam sebagai satu-satunya pilihan dengan mencap sistem lain sebagai kufur atau buatan Barat tentu tak benar. Hal ini bisa menggiring islam dari agama menjadi ideologi. Pada akhirnya, islam menjadi dalih untuk membumi-hanguskan orang lain yang berbeda pemahaman dari mereka.

Agaknya, bayang-bayang totaliterianisme tak jauh dari islam yang mengagungkan perbedaan. Harapan Tuhan bahwa islam bisa menjadi rahmat bagi sekalian alam, bisa jadi isapan jempol belaka. Tetapi dibandingkan Timur-tengah, Indonesia masih lebih baik. Disini tak kita temukan ‘genosida’ yang mengatas-namakan mahzab-mahzab agama.

Abdurahman Wahid, salah seorang cendekiawan muslim tentu jauh hari telah menyadari kondisi ini. Ia terbukti getol melakukan counter wacana. Bahkan sampai mengeluarkan buku berjudul “Ilusi Negara Islam,” sebagai respon atas semakin mengguritanya kelompok ini di tengah masyarakat. Akhirnya mungkin sesekali kita harus menyadari, kita ini hanyalah makhluk biasa, yang tak berhak mengklaim kebenaran. Andai itu terjadi, tentu kita harus kritis bertanya: Tuhan kah saya? Tabik


“ISLAM UTOPIS” IS WAY

“Semua pemerintahan selain Islam tidak dibenarkan dan merupakan pemerintahan kufur.” Petikan kalimat ini saya ambil dari tulisan balasan Saudara Firman Gani yang dimuat di Rubrik Opini PK identitas Awal Agustus, menanggapi tulisan saya yang dimuat di Rubrik Bias Koran yang sama di edisi Akhir Juni 2010. Judul tulisan saya saat itu, “Negara Islam, No Way.” Dari bahasa yang dilontarkannya, saya melihat ada kesalahan fatal dalam menafsirkan tulisan saya. Parahnya, Saudara Firman secara implisit mengatakan bahwa saya congkak dan salah baca. Tapi saya sendiri tidak akan mengomentari bahasa-bahasa seperti itu. Menurut saya, lontaran seperti itu tidak lahir dari rasio yang sehat, namun datang dari nafsu amarah yang menggebu.

Dari hasil pencarian saya di beberapa kamus dan mesin pencari Google, secara bahasa “kafir” berasal dari kata “kufur” yang artinya menutupi kebenaran, melanggar kebenaran yang telah diketahui dan tidak berterima kasih. Kata jamak dari kafir adalah kaafirun atau kuffar. Kata kafir dan derivasinya disebutkan sebanyak 525 kali dalam Al Qur’an. Semuanya mengacu pada perbuatan mengingkari Allah swt. Kalau kita cermati, arti kafir yang paling dominan disebutkan dalam Al Qur’an adalah pengingkaran terhadap Allah dan Rasul-Nya, khususnya Muhammad SAW dengan ajaran-ajaran yang dibawanya.
Jadi, orang kafir adalah mereka yang menolak, menentang, mendustakan, mengingkari, dan bahkan anti kebenaran. Seseorang disebut kafir apabila melihat sinar kebenaran, ia akan memejamkan matanya. Apabila mendengar ajakan kebenaran, ia menutupi telinganya. Ia tidak mau mempertimbangkan dalil apa pun yang disampaikan padanya dan tidak bersedia tunduk pada sebuah argumen meski telah mengusik nuraninya.
Nah, disinilah titik krusialnya. Apakah Islam selain tafsiran Saudara Firman lantas bisa kita cap kafir? Karena banyak umat islam sendiri, termasuk para ulama (baca: ulama NU dan Muhammadiyah) menolak keras pendirian Negara Islam. Pada titik inilah saya berbeda pemahaman dengan Saudara Firman, bukan persoalan lain. Apalagi sampai berdebat soal sejarah Kebangkitan Nasional. Bukan itu esensi yang ingin saya sampaikan dalam tulisan saya terdahulu.
Perlu juga diketahui, tulisan saya tidak bermaksud menimbulkan islamophobia. Saya hanya ingin semua umat manusia saling menghargai, tidak saling menghujat, dan membunuh. Bisa menerima perbedaan pendapat. Dan, cita-cita inilah yang kadang disalah-tafsirkan oleh orang-orang yang membenci Nurcholis Madjid dan Gus Dur yang dengan gencar mewacanakan pluralisme. Bagi saya, bukan Negara Islam yang menjadi keharusan, tapi pluralisme. Sebuah sikap saling menghargai, saling memberikan kesempatan mengeluarkan semua potensi yang ada. Dan, inilah inti demokrasi. Lalu apa alasan menolak demokrasi?
Mungkin kita harus sedikit merenung, kenapa Tuhan menciptakan manusia dengan bersuku-suku, berbangsa-bangsa. Ini tidak lain agar mereka saling berbuat dalam kebaikan dan taqwa. Bukan malah sebaliknya, mencap orang lain kafir.
Lalu kenapa saya mengatakan pemahaman islam macam Firman bisa menggiring islam dari agama menjadi ideologi? Kalau kita ingin membuka selubung “ideologis” pemikiran Firman, kita bisa melacaknya dari landasan epistemologisnya. Dalam hal ini filsafat yang mendasarinya. Meskipun Saudara Firman sendiri kemungkinan akan membantah. Namun, kalau dilacak secara hati-hati, kita bisa menemukan bahwa Saudara Firman telah terkontaminasi paradigma positivistik. Sesuatu yang tidak mungkin disadarinya, baik olehnya maupun para pengikutnya.
Salah seorang pendiri Mahzab Frankfurt, Max Hokheimer menunjukkan tiga pengandaian dasar yang membuat paradigma positivistik menjadi ideologi dalam arti ketat. Pertama, paradigma positivistik mengandaikan bahwa pengetahuan manusia tidak menyejarah atau ahistoris, dan karenanya teori yang dihasilkan juga ahistoris dan asosial, maka tak salah Firman menganggap saya dan atau yang berpikiran sama seperti saya sebagai kafir.
Berdasarkan ciri ahistorisnya itu, muncullah pengandaian kedua, yaitu pengetahuan bersifat netral. Teori merupakan dekskripsi murni tentang fakta, yang merupakan “pengetahuan demi pengetahuan.” Akhirnya, karena pengetahuan bersifat netral, maka ia terpisah dari praxis. Proses penelitian dipisahkan dari tindakan etis, dan pengetahuan dapat dipisahkan dari kepentingan. Term Negara Islam tidak serta merta menjadikannya sebagai islam an sich.Tapi ada kepentingan di belakangnya, baik itu kepentingan politik maupun budaya.
Lebih lanjut Hokheimer menjelaskan, sifat ideologis paradigma positivistik itu tampak dalam tiga gejala. Pertama, dengan anggapan teori itu ahistoris, ia mengklaim diri universal, berlaku dimana saja secara transendental dan suprasosial sehingga melupakan proses kehidupan dalam masyarakat real. Maka tak salah Saudara Firman kemudian ingin menerapkan Negara Islam di Negara Indonesia yang majemuk ini. Ia tidak akan mau tahu akan perbedaan konteks antara Negara Timur-Tengah sana dengan Indonesia. Bagi dia, pemikiran yang berbeda dengan mereka adalah salah dan kufur. Salah dan kufur artinya apa? Bahwa pemikiran yang sah di muka bumi ini hanya pemikiran kelompoknya, dan selain itu harus dibumihanguskan. Inilah kenapa saya mengatakan bahwa islam tak akan jauh dari bayang-bayang totaliterianisme.
Kedua, dengan mengangap diri netral, paradigma ini berdiam diri terhadap masyarakat yang menjadi objeknya dan membenarkan kenyataan tanpa mempertanyakannya. Firman tak mempertanyakan pemikirannya sendiri, dan menerapkan teorinya secara taken for granted. Ciri-cirinya, tafsirnyalah yang paling sahih. Ketiga, yang tak kalah pentingnya, dengan memisahkan diri dari praxis, ia hanya mengejar teori demi teori dan karenanya tidak memiliki implikasi praktis. Penafsirannya hanya bersifat tekstual.
Dari penjelasan di atas, tak salah kalau senior saya Muh Absariarpin, penggiat NET Institute mengatakan antara islam versi Firman dengan Marxisme ortodoks tak ada bedanya. Menurutnya, kedua pemikiran tersebut meskipun saling bertentangan, sama-sama berlandaskan paradigma positivistik. Bagi Marxisme, kebenaran itu hanya ada dan pasti di Sosialisme Komunisme, sementara bagi Firman, kebenaran itu hanya ada di Negara Islam. Peran subjek kemudian diabaikan, gerak sejarah dilepaskan dari subjek penggerak sejarah itu sendiri.
Akhirnya, saya sendiri tak hentinya untuk terus menyerukan kalau kita ini bukan siapa-siapa. Kita ini hanyalah buih yang terombang-ambing di tengah lautan. Marilah kita menghargai perbedaan. Mencintai sesama agar islam benar-benar menjadi rahmatan lilalamin! Tabik!