Langit terlihat monoton dan tidak estetis dipandang mata. Bintang-bintang entah kemana. Bulan tidak kunjung menampakkan dirinya. Jangkrik-jangkrik yang biasanya bernyayi, berirama dalam harmoni alam, tak menunjukkan simpinonya. Malam ini terasa sepi. Hiruk pikuk tetangga kost yang biasanya berteriak, bertegur sapa tidak terdengar. Gonggongan anjing-anjing meneriakkan takbir kebesaran Tuhan seolah hilang ditelan bumi. Perasaanku kalut. Pikiranku kacau. Di pekarangan kost, dibawah pohon mangga aku duduk termenung sendirian. Pandanganku menengadah ke langit
Aku tiba-tiba ingin sekali tertawa. Di batas imajinasi, berlalu lalang hantu pocong yang tidak lagi mengenakan kain kafan sebagai marka perbeda antara dia dengan manusia. Ia mengenakan pakaian ala anak punk. Hidungnya di tindik, rambutnya direbonding. Bibirnya merah mirip buah tomat apel yang ranum, mungkin bibirnya di polesi gincu paling mahal. Bukan cuma itu, celanya yang ia pakai pun terlihat kebotol-botolan. Bajunya kurang seperempat sampai pusarnya. Lubang kecil pusarnya itupun dibiarkan terbuka tertiup angin malam yang dinginnya tiada ampun. Pinggulnya, karena pengaruh pakeannya terlihat seperti gitar spanyol pecah. Sungguh menggelikan untuk di bayangkan lagi. Belum selesai aku tertawa, hati ini mengarahkanku untuk menitikkan air mata. Berteriak dan menangis sekuatnya. Apakah dunia ini demikian edannya sampai-sampai setan ikut-ikutan
Aku menangis sejadi-jadinya. Kenapa dunia ini demikian absurd?. Inginku berlari menjauh meninggalkan dunia yang ironi. Yang tidak lagi mampu membedakan antara bahagia dan sedih. Menangis dan tertawa. Apalah arti menangis?. Apakah arti tertawa. Kita tidak pernah mampu mengetahui esensi menangis dan tertawa. Kita latah. Tertawa karena kita melihat orang lain tertawa. Menangis saat orang lain juga menangis. Kita sebutir pasir di tengah gurun yang luas. Setetes air di
Bernyanyilah wahai umat manusia. Lantunkan kidung kematian. Lakukan perlawanan terhadap segala bentuk kekuasaan. Rombaklah nilai-nilai yang ketinggalan zaman dan yang telah usang. Bila perlu merontalah sekuatmu. Melawanlah sampai batas kekuatan. Bila mulut tidak mampu di buka. Lidah telah kelu. Maka rayakanlah kekalahanmu. Sebab bagi zaman kita, kalah dan menang sekadar permainan bahasa. Tidak ada yang benar-benar menang atapun kalah. Lihatlah sekelilingmu, saat iblis dan malaikat berperang, berkonfrontasi atas nama kebaikan dan kejahatan. Ia memang tidak nampak, tapi selalu hadir dalam imajinasi kita. Dan disitulah ia berada. Berdiam dalam kotak khayalan manusia. Di tempat itulah dunianya. Pikiran kita merupakan Tuhannya. Tapi akhirnya mereka menari larut dalam kebahagiaan. Berbicara mesra sambil tertawa meratapi kobodohan serta kepongahan egonya, kemarin. Mereka kini adalah sahabat. Di titik inilah kesadaran tertinggi mereka. Evolusi keberadaanya telah mencapai puncak sehingga mereka, walaupun sadar berbeda, tapi perbedaanya bukanlah alasan untuk saling menyakiti. Dan itulah mengapa pada zaman ini kita mesti dengan rendah diri mengakui bahwa pusat telah tiada, atau paling tidak mempunyai aturan baku untuk mengklaim ini adalah pusat bagi yang lainnya. Tidak ada normal dan abnormal, baik dan jahat, wanita dan laki-laki, yang ada hanya kehendak untuk kuasa.
Aku akui, tulisanku terlalu membingungkan untuk dipahami. Terlalu abstrak bagi realita vulgar hari ini. Baik, aku akan berikan contoh kokrit tesisku. Beberapa minggu yang lalu, pada acara bedah buku menteri kesehatan St. Fadilah supari yang katanya kotroversial itu. Di rungan mewah fakultas kedokteran universitas hasanuddin. Kalau tidak salah ingat. Ruang lt.5. selagi membedah buku, seorang pemateri mengatakan untuk mengatasi dan mencegah tindakan atau perialaku tidak adil dalam mengelola alam yang tinggal menunggu waktu kehancuran. Harus di terapkan secara universal ideologi islam. Ideologi yang paling sahih. Paling mampu menghadapi tantangan zaman. Lalu yang jadi pertanyaanya, islam yang dimaksud islam yang mana?. Islamnya Hambali kah?. Syafi’i kah? Atau Hanafi?. Jelas bagi kita semua islam tidak satu. Islam itu banyak. Semenjak wafatnya baginda Muhammad SAW, tidak ada lagi seorang pun anak manusia yang representatif dalam menafsirkan aturan islam. Menafsirkan al-qur’an dan sunnah. Apakah sistem khalifah yang ditawarkan dan di gembar-gemborkan representatif dalam menghadapi tantangan zaman. Kalau memang itu representatif, otoritas apa yang melegitimasinya. Di titik terakhir kita akan menemukan, ternyata ini semua tidak lebih dari strategi kehendak untuk kuasa. Harusnya kita mulailah mencoba untuk keluar dari jargon pemahaman yang menyesatkan ini. Agar kita semua tidak terjebak pada usaha klaim kebenaran. Kebenaran wafat semenjak manusia juga wafat.
Masih saja—mohon aku tidak di cap kafir—kita umat islam bermain pada kesadaran simbolik. Kesadaran paling rendah. Tidak bisakah islam di dakwahkan tanpa menyebut nama islam, sebagai identitas. Identitas cenderung anarkis. Ia berputar di lingkaran setan egosentrisitas umat manusia. Kita mesti beranjak dan meninggalkan kesadaran naif ini untuk berhijrah menuju kesadaran akan cinta. Cinta tidak mensyaratkan identitas. Tidak mengharuskan persamaan. Karena dengan perbedaan keindahan itu dapat dirayakan.
Maka inilah yang di kritik oleh si filosof godam Nietsche. Mendeklarasikan kematian rasionaliatas. Rasionaliatas ala aristotelian-newtonian yang reduksionis-instrumentalis. Logika binerian yang hirarkis serta dominatif. Manusia mencipta berhala bagi dirinya sebagaimana disabdakannya dalam otobiografinya yang mengasikkan untuk dibaca “ecce homo”.
Realitas telah di rampas nilainya, makananya, kejujurannya hingga ketingkat yang sama seperti dunia isdeal yang telah dipalsukan