Minggu, 25 November 2007

PENDIDIKAN DAN KESEHATAN GRATIS; SESUATU YANG UTOPIS-KAH?

(ia akan menjadi utopis tanpa pengawalan dan komitmen mahasiswa)

Hampir dipastikan bahwa pada pilkada sul-sel kali ini yang menjadi gubernur terpilih adalah “kalau tidak salah ingat” calon yang menjanjikan pendidikan dan kesehatan gratis, siapa lagi kalau bukan Syahrul Yasin Limpo-Arifin Nu’mang (SAYANG). Adalah hal yang menggembirakan bagi kita semua, khususnya masyarakat Sulawesi Selatan yang telah lama merindukan pemimpin yang bisa berpihak kepada rakyat, bukan malah sebaliknya. Mimpi para pendahulu kita akan terciptanya masyarakat adil dan makmur kini di ujung mata, meskipun janji-janji saat kampanye masih di sanksikan. Namun, sebagai manusia yang punya pikiran positif, hal ini meski kita dukung dan memberikan motivasi agar programnya dapat berjalan maksimal. Tapi kita juga jangan terlalu cepat terlena dengan janji-janji, kita mesti mengawal itu agar terjadi kesesuaian antara apa yang di ucapkan dan di lakukan sejalan, sehingga kepercayaan masyarakat dapat di raih kembali. Itulah tugas kita sebagai mahasiswa, mengawal jalannya pemerintahan yang berkeadilan social.

Tapi kita sendiri, sebagai realitas yang merdeka dari segala kepentingan-kepentingan yang menyengsarakan rakyat harus bisa mendesain satu gerakan kuat agar kita tidak dilihat sebagai elemen masyarakat yang dianggap sepele. Wibawa dan kekuatan hanya bisa kita raih dengan desain gerakan dan persatuan mahasiswa. Sudah saatnya kita berubah, bangun dari kemandekan gerakan agar kita bisa mewujudkan tri dharma perguruan tinggi.

Sebelum berbicara mengenai desain gerakan mahasiswa ke depan, agaknya kita sebaiknya bercermin pada diri kita sendiri melihat realitas yang terjadi. Dekapasitasi, dekompetensi mahasiswa sungguh merupakan polemic yang crusial, dis-orientasi mahasiswa terhadap bidang keilmuan yang sedang digelutinya cukup mempengaruhinya. Saat ini misalnya, mahasiswa kesehatan lebih cenderung suka menggeluti filsafat dan bidang keilmuan umum lainnya ketimbang bidang nya, seberapa banyak mahasiswa kesehatan yang kalau indikatornya adalah penelitian, berapa yang aktif melakukan kegiatan penelitian, atau jangan yang terlalu berat, tulisan saja, seberapa banyak mahasiswa yang produktif menulis serta intens mempropaganda pemerintah untuk lebih serius melakukan pengembangan dibidang kesehatan?. Ini semua menjadi pertanyaan besar untuk kita kaji.

Terus terang disini saya tidak berpretensi menjustice dan menganggap remeh mahasiswa yang suka belajar filsafat dan pengetahuan umum lainnya tapi lebih kepada mengingatkan supaya tidak lupa akan tugas utama kita berada di sini, saya mengakui dengan berfilsafat kita lebih memahami ilmu kita lebih mendalam, sebab filsafat induk segala ilmu. Namun, benarkah realitas sekarang mahasiswa kesehatan patut di andalkan?.

Saya kira perlu kajian yang mendalam menyangkut hal ini, agaknya saya setuju dengan pernyataan Prof. dr Razak Thaha dalam salah satu presentasinya saat seminar nasional dies-natalies FKM Unhas beberapa waktu silam. Ia mengkritik sikap mahasiswa khususnya kesehatan masyarakat yang terlalu banyak menuntut tapi tidak pernah bercermin, berteriak keras menuntut keadilan struktural meski kompetensi dan kapasitas masih di pertanyakan.

Kembali pada pembahasan awal, apakah dengan tidak adanya kompetensi, kapasitas kita mampu mengawal kebijakan SAYANG?. Boro-boro mau mengawal orang lain, tau tentang kesehatan saja masih jadi pertanyaan besar. Gimana caranya kita melakukan advokasi sementara kita belum menguasai cara-cara berkomunikasi yang efektif. Dan banyak hal lainnya.

PEMERINTAH vs MASYARAKAT

(BUKTI NYATA KOMITMEN PEMERINTAH DALAM MENINGKATKAN DERAJAT KESEHATAN MENUJU SUL-SEL SEHAT 2010)

Menilik upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah khususnya dibidang kesehatan saat ini ternyata masih jauh dari yang kita harapkan, meskipun terjadi peningkatan yang cukup signifikan ditandai dengan menurunnya angka kematian bayi (AKB) dari 46 (SDKI 1997) menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003), dan angka kematian ibu melahirkan (AKI) dari 334 (SDKI 1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003). Umur harapan hidup (UHH) dalam beberapa dekade terakhir cenderung meningkat dari 41 tahun pada (1960) menjadi 66,2 tahun (susenas 2003). Peningkatan tersebut kalau kita membandingkan dengan Negara-negara tetangga, maka angka tersebut masih belum menggembirakan. AKB, AKI dan UHH tersebut meningkat namun masih terdapat ketimpangan, khususnya kawasan Indonesia timur dan penduduk dengan strata ekonomi dan pendidikan rendah.

Saat ini kasus gizi buruk masih menjadi sesuatu yang memprihatinkan, lemahnya sistem kewaspadaan pangan dan gizi, serta menurunnya perhatian pemerintah terhadap kesehatan masyarakat.

Pembiayaan kesehatan per kapita di Indonesia masih berada di peringkat terendah bila dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya. Selama sepuluh tahun terakhir, rata-rata pembiayaan kesehatan sebesar 2,21% dari PDB. Meski terjadi peningkatan setiap tahunnya, namun masih jauh dari anjuran WHO, yakni minimal 5% dari PDB. Rata-rata pembiayaan kesehatan di daerah, baru mencapai 9% dari APBD pada tahun 2001 dan 3-4% dari APBD pada tahun 2002.

Lalu pertanyaannya apakah pemerintah betul-betul berkomitmen dalam mengawal dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat? Selama ini cukup bukti yang menunjukkan pemerintah tidak mempunyai i’tikad baik, hal ini bisa kita lihat fakta yang terjadi di masyarakat kita sekarang. Setiap tahun Indonesia menjadi langganan penyakit-penyakit menular, tidak menular dan beberapa penyakit degeneratif.

Permasalahan tidak akan serumit ini apabila pemerintah serius menanganinya. Ini kemudian diperparah lagi dengan kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan penanganan yang bersifat kuratif ketimbang preventif. Padahal kegiatan preventif merupakan tonggak utama yang menentukan derajat kesehatan suatu bangsa, dengan tidak menafikkan hal yang bersifat kuratif.

Memang menjadi sesuatu yang krusial apabila program kerja pemerintah tidak datang dari hati nurani untuk mensejahterakan masyarakat, sehingga program kerja yang di tawarkan pemerintah hanya terkesan prosedural semata.

Nah, kalau kita berbicara mengenai konteks sul-sel apalagi dengan terpilihnya gubernur yang baru, besar harapan masyarakat pemerintahan yang baru tersebut dapat membawa angin segar bagi perkembangan masyarakat ke depan khususnya tentang kesehatan. Diharapkan kedepan pemerintah tidak hanya obral janji semata, tapi bisa membuktikan itu dengan perbuatan riil di masyarakat. Sehingga pemerintah dapat mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat, sehingga terjalin hubungan harmonis pemerintah dengan masyarakat yang berimbas pada lancarnya pelaksanaan program-program pemerintah.

Menanggapi itu semua, kami sebagai bagian dari masyarakat yang punya fungsi dan tanggung jawab dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang termaktub dalam tiga fungsi mahasiswa, agent of a change, social control dan moral force. Kami sebagai mahasiswa mempunyai tanggung-jawab moral untuk mengawal kebijakan pemerintah agar berpihak kepada rakyat bukan berpihak kepada pemodal-pemodal yang menyengsarakan rakyat.