Selasa, 08 Juni 2010

Kasus Penjualan Skripsi Fakultas Ilmu Budaya Unhas Diselesaikan Secara Kekeluargaan

Polemik dugaan kasus penjualan skripsi di Fakultas Ilmu Budaya Unhas akhirnya usai. Solusinya diselesaikan secara kekeluargaan


Pelataran Fakultas Ilmu Budaya dipenuhi puluhan mahasiswa yang berdemontrasi. Mereka menuntut pihak fakultas bertanggung-jawab atas raibnya ratusan skripsi yang diduga dijual kiloan. Sementara itu, para dosen yang tak terima pun tak tinggal diam. Mereka kemudian meminta dekan mengusut tuntas kasus memalukan ini. Gayung pun bersambut. Sejak isu ini mencuat, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Prof Burhanudin Arafah lalu membentuk tim investigasi yang bertugas menyelelidiki kasus ini.
Tim investigasi tersebut menghasilkan tiga rekomendasi. Pertama, memperbaiki fasilitas perpustakaan dan menambah jumlah buku yang ada disana. Kedua, membenarkan bahwa memang ada oknum yang melakukan pencurian itu dan menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Ketiga, menyelesaiakan munculnya fenomena sosial di fakultas.
Namun, para dosen meminta Dewan Guru Besar Unhas turun tangan menyelesaikan kasus ini. Mereka kecewa dengan kinerja tim yang dibentuk Dekan. Dan kemudian dekan membentuk tim klarifikasi yang di ketuai Aminudin Ram.
Senin, bertempat di ruangan senat fakultas, kontroversi penjualan skripsi kiloan ini diputuskan akan dislesaikan secara kekeluargaan. Keputusan itu juga dihadiri oleh perwakilan Senat Mahasiswa FIB. Menurut Aminuddin, penyelesaian kasus secara kekeluargaan ditempuh lantaran persoalan ini tidak perlu dipertikaikan lagi. Apalagi isunya melebar mencakup isu politik. “Kami merasa sama-sama sebagai dosen Unhas dan sama-sama memiliki periuk disini, makanya solusinya kekeluargaan,” ungkapnya .
Mantan Ketua Jurusan Arkeologi Unhas Anwar Thosibo M Hum, Jumat (14/5), mengatakan menerima dengan ikhlas keputusan senat yang mengambil langkah penyelesaian secara kekeluargaan. “Saya merasa sudah tidak punya ‘gigi’ lagi untuk mempersoalkan ini sebab maret lalu tidak lagi menjabat ketua jurusan,” ungkapnya. Dan dosen yang menggantikannya adalah M Amir M Hum, Pembantu Dekan II FIB Unhas.
Menyangkut pemberhentian dirinya sebagai ketua jurusan, ia mengaku masa periode kepengurusannya telah berakhir. “Kalau anda tanya apakah ini terkait kevokalan saya memperjuangan kasus penjualan skripsi, itu no comment. Saya tidak mau berkomentar. Silakan tanya ke kak nunding (Aminudin Ram, red), beliau lebih mengetahuinya,” jelasnya.
Pengambilan solusi melalui kekeluargaan menjadi ironis sebab kasus ini menyangkut pelanggaran hak kekayaan intelektual. Mahasiswa FIB Jurusan Sastra Perancis yang juga Koordiantor senat FIB Unhas, Tuhri Syahrial, mengatakan kalau masalah ini sudah dianggap selesai. Senat FIB hanya meminta ke dekanat agar kejadian ini tidak terulang kembali.
“Hasil penelusuran tim pencari investigasi mengatakan kalau yang menjual itu Cleaning Servis (Cs). Tanpa ada koordinasi dengan pihak fakultas. Kami memang menduga tidak mungkin dijual Cs tanpa intruksi dari atas, tapi kami tak punya bukti empiris untuk membuktikan asumsi itu,” ungkap mahasiswa angkatan 2006 ini, Jumat, (14/5) di pelataran FIB.
Tapi sebagai mahasiswa yang memiliki nilai-nilai idealisme, seharusnya persoalan ini dikawal sampai tuntas. Bukan malah menerima persoalan ini secara taken for granted dan tidak terjebak pada pragmatisme politik birokrasi. Seharusnya mahasiswa menuntut hukuman berat bagi pelaku penjual skripsi ini. Sebab tidak tertutup kemungkinan, dikemudian hari kejadian ini terulang kembali.

Doktor Unhas Plagiat Disertasi

Plagiarisme merupakan momok di kalangan pendidik. Tapi bagaimana jadinya jika pendidik yang seharusnya memberi contoh tersandung kasus plagiat.

Alhamdulillah! Puji syukur ini akhirnya keluar dari mulut dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) inisial SM usai promosi doktornya, tahun 2005 lalu. SM adalah mahasiswa pascasarjana program studi Ilmu Ekonomi angkatan 1996. Sembilan tahun bagi SM adalah waktu yang cukup lama “menunggu” gelar. “Saya sangat bahagia,” tutur dosen FIKP Unhas ini mengenang kejadian bersejarah itu, Senin (10/5) usai pengukuhan gelar profesornya di Lantai II Gedung Rektorat Unhas.

Waktu itu, belasan mahasiswa dan dosen ikut hadir. Tak terkecuali dosen berinisial SD, rekan sejawatnya di FIKP Unhas. Mereka yang hadir, masing-masing dibagikan copy-an ringkasan disertasi. Saat promosi berlangsung, SM menjawab pertanyaan penguji dengan santai. Sesekali senyum tipis “dilemparkan” ke penguji. Ketika asyik menyimak, SD terkejut bukan kepalang melihat tampilan slide presentasi, mirip isi disertasinya. Kala itu, SD tidak langsung bereaksi. “Usai acara berlangsung, saya langsung sms (short message service) ke pengujinya,” ungkapnya pekan lalu saat ditemui di Gedung P2KKN.

Beberapa hari kemudian, SM mendatangi SD untuk mengklarifikasi isi disertasinya atas suruhan pembimbingnya. Ia menjelaskan telah menulis dalam kata pengantarnya kalau sebagian referensinya diambil dari disertasi SD. “Tapi kok banyak alineanya mirip betul dengan isi disertasi saya,” ungkap SD disela-sela kesibukannya.

Sebagian besar alinea diambil dari disertasi SD. Bahkan diduga mencapai puluhan halaman. Menurut pengakuan SD, isi disertasi yang paling di ingatnya diplagiati adalah halaman 225, 226, 227 serta halaman 75 yang berisi bagan. Bagan itu hasil olahnya berhari-hari. Parahnya lagi, referensi jurnal yang diperoleh SD dari Jepang, dicantumkan pula dalam daftar pustakanya. “Saya sangat yakin SM tidak memiliki jurnal itu, jurnal itu masih saya simpan,” jelas doktor lulusan Institut Pertanian Bogor ini.

SM sendiri tak menyanggah isu ini. Pada waktu itu, ia mengakui kalau ada beberapa alinea yang lupa ia cantumkan sumbernya. Salah seorang pembimbingnya, Prof Natsir Nessa mengatakan waktu itu SM hanya lupa menulis sumber pada beberapa alinea. “Ada penguji yang melihat ada alinea tidak tercantum sumber kutipan,” kata dosen FIKP yang juga menjabat sekretaris senat Unhas ini, Senin (10/5) di ruangannya Lantai IV Gedung Rektorat Unhas.

Tapi pertanyaannya, kok bisa persis sama mencapai hingga puluhan halaman? Sementara judul disertasi keduanya berbeda. Yang satu menyoroti aspek teknologi penangkapan ramah lingkungan dan yang satunya meneliti aspek ekonomi alat tangkap. “Pada waktu itu, saya memberikan disertasi saya untuk dipelajari, karena saya pikir tak mungkin di plagiati sebab penelitiannya berbeda,” jelas SD yang mendapatkan gelar doktor tahun 2003 ini.

Judul disertasi yang diplagiati adalah “Analisis Tingkahlaku Ikan Untuk Mewujudkan Teknologi Ramah Lingkungan Pada Bagan Rambo.” Sementara itu, disertasi SM berjudul “Maksimalisasi Pendapatan Nelayan Bagan Rambo Melalui Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi di Provinsi Sulawesi Selatan.” Dalam disertasi tertulis Unhas 2005. Jadi dua tahun setelah disertasi SD disahkan.

Dalam kebudayaan akademik, ada tradisi menghormati hak pemilikan gagasan. Gagasan dianggap sebagai properti intelektual. Karena itu, memberikan pengakuan terhadap gagasan orang lain yang diambil sebagai rujukan oleh mahasiswa sangatlah penting.

Setiap saat mahasiswa menggunakan kata-kata dari penulis lain. Mestinya mahasiswa menghargai penulis itu dengan cara menyebutkan karya yang perkataannya sudah diambil. Caranya dengan teknik pengutipan formal maupun informal. Bahkan, jika mahasiswa menggunakan ide dari penulis lain, atau melakukan parafrase terhadap gagasan penulis lain, mahasiswa harus menghargai penulis tersebut. Jika tidak, maka mahasiswa dapat dikatakan telah melakukan kejahatan akademik yang serius, yaitu plagiarisme. Plagiarisme adalah mencuri gagasan, kata-kata, kalimat atau hasil penelitian orang lain dan menyajikannya seolah-olah sebagai karya sendiri. ”Untuk menulis satu paragraf saja, saya mesti bekerja keras membuka dan membaca banyak jurnal secara teliti,” ketus SD.

Namun beruntung, tindakan tidak terpuji oknum dosen itu berhasil digagalkan. Apa jadi jika SD pada waktu itu tidak hadir di acara promosi doktor SM. Mungkin tindakan itu tak akan pernah terlacak sampai sekarang. Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menegaskan, akan memberikan sanksi akademik bagi pelaku plagiat karya ilmiah. Sanksi bermacam-macam. Mulai dari penundaan pangkat, pembatalan gelar sampai yang terberat, yakni dipecat secara tidak hormat. Dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 60 juga dinyatakan dua hal tentang apa jadi kewajiban guru dan dosen, salah satunya mematuhi kode etik akademik. Sebagai dosen, tentu SM paham persoalan ini. Namun kok plagiat?!



Rasa ini

Andai rindu bisa kutitipkan,
Aku ingin memaketkan rasa yang menggunung ini lewat malam
Membiarkannya terbang dan dihembus angin,
Tak penting bagiku, apakah angin itu betul-betul media yang tepat
Aku tak peduli,
Ruang dan waktu ini mengharuskan ku menitipkan padanya,

Sayang, apa kau peduli dengan rasa ini?
Kadang, rasa tak butuh realisasi
Ia hal yang misterius
Biarkan rasa ini kutanggung sendiri
Maafkan diriku yang tak bisa meyakinkan mu
Maafkan salahku atas egoku
Meskipun aku tahu, kau butuh kasih sayang ku
Bukan sayang yang semu
Tapi yang nampak, yang ku perlihatkan dengan sikap

sayang, janganlah berkecil hati
Rindu ini tetap milikmu, rasa ini bahkan makin membuncah…

Bukan aku tak tahu,
Pengorbanan mu padaku sungguh besar
Tapi aku tak tahu dengan apa aku membalasnya?
Dunia ini masih sempit bagiku,

Aku mungkin belum sadar,
Atau belum ingin untuk sadar
Atau, aku sungguh tak memiliki apa-apa untuk ku berikan,
Aku tahu, engkau tak pernah meminta apapun
Kau hanya ingin aku menyayangimu,
Mengantarmu kala kau keluar,
Menemanimu kala kau sendirian
Tak lebih dari itu, apalagi sampai mengharapkan ku turut merasakan beban mu yang berat itu,

Kau terindah dalam hidupku,
Aku sadar itu…

Negara Islam, No Way

Pada suatu hari di bulan Mei 2010, sekelompok mahasiswa nampak serius berdiskusi. Di sekitarnya, terpampang atribut bendera dan spanduk bertuliskan huruf Arab. Saya yang terlambat datang langsung bisa menebak, kelompok mana yang ‘membikin’ kegiatan ini. Tema diskusinya, “memaknai Hari Kebangkitan Nasional, 21 Mei”.

Saya tercengang: salah seorang pemateri berseloroh, maknailah Hari Kebangkitan Nasional sebagai tonggak awal perjuangan mengganti Sistem Negara Indonesia. Saya tahu, pemateri itu tidak sedang bercanda. Kelompok yang mengatas-namakan dirinya Hizbut Tahrir Indonesia ini memang mengusung jargon Negara Islam atau Khilafiah. Mereka memiliki tujuan mengganti sistem negara kita yang nasionalis dan demokratis dengan Negara Islam. Bagi mereka, demokrasi merupakan sistem kufur yang berasal dari Barat.

Tampaknya kini yang membebaskan—atau yang menjerat?—adalah sebuah ide membentuk sebuah Negara Islam dan dengan itu segala ketimpangan sosial bisa ‘dilenyapkan’. Negara Islam itu, seperti yang digemborkan pendukungnya merupakan wasiat Tuhan yang harus diwujudkan. Jika tak melakukannya, maka azab Tuhan niscaya datang bertubi-tubi.

Beberapa puluh tahun lalu, di negeri asalnya, Arab Saudi, para pendukung Negara Islam yang tergabung dalam gerakan wahabi-ikhwanul muslimin bahkan tak segan membunuh dan mengecap kafir orang lain yang berbeda pemahaman. Mereka mengklaim bahwa mereka sepenuhnya memahami isi Al-quran. Olehnya, mereka berhak menjadi wakil Tuhan.

Ide pembentukan Negara Islam di negeri Indonesisia bukanlah hal baru. Dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdatul Ulama (NU), salah satu organisasi keislaman terbesar di Indonesia harus berdiskusi panjang untuk sampai pada kesimpulan memperbolehkan pendirian negara bangsa. Bagi kaum muda NU, terbentuknya Negara Islam tidak serta-merta membentuk masyarakat yang islami pula. Masyarakat islami akan terwujud jika ummat menjalankan agama secara konsisten.

Akhir-akhir ini, mereka gencar bersosialisasi. Saat ini, mereka massif melakukan infiltrasi. Dengan dalih agama, mesjid-mesjid di kota maupun dipelosok desa mereka kuasai. Mereka ‘mencecar’ pemahaman ummat agar benci dengan negara Indonesia dan ‘menghasut’ mereka agar memperjuangkan tegaknya Negara Islam.

Baru-baru ini, adanya insiden penyerangan kapal bantuan kemanusiaan Mavi Marmara oleh tentara Zionis Israel semakin memperkuat justifikasi kelompok ini atas ide membentuk Negara Islam. Tengok saja aksi-aksi yang terjadi. Spanduk dan plakat bertulis, “Sistem Khilafah (baca: Negara Islam) solusinya.”

Tentu harus dicatat, keinginan mereka memperjuangkan islam itu tak salah. Namun, klaim yang menganggap Negara Islam sebagai satu-satunya pilihan dengan mencap sistem lain sebagai kufur atau buatan Barat tentu tak benar. Hal ini bisa menggiring islam dari agama menjadi ideologi. Pada akhirnya, islam menjadi dalih untuk membumi-hanguskan orang lain yang berbeda pemahaman dari mereka.

Agaknya, bayang-bayang totaliterianisme tak jauh dari islam yang mengagungkan perbedaan. Harapan Tuhan bahwa islam bisa menjadi rahmat bagi sekalian alam, bisa jadi isapan jempol belaka. Tetapi dibandingkan Timur-tengah, Indonesia masih lebih baik. Disini tak kita temui ‘genosida’ yang mengatas-namakan mahzab-mahzab agama.

Abdurahman Wahid, salah seorang cendekiawan muslim tentu jauh hari telah menyadari kondisi ini. Ia terbukti getol melakukan counter wacana. Bahkan sampai mengeluarkan buku berjudul “Ilusi Negara Islam,” sebagai respon atas semakin mengguritanya kelompok ini di tengah masyarakat. Tanpa ragu, dalam pengantarnya di buku tersebut, ia menyebut kalau kelompok itu sebagai duri dalam daging bagi ummat islam. Jadi, harus diwaspai keberadaannya.

Akhirnya mungkin sesekali kita harus menyadari, kita ini hanyalah makhluk biasa, yang tak berhak mengklaim kebenaran. Andai itu terjadi, tentu kita harus kritis bertanya: Tuhan kah saya? Tabik