Kamis, 20 Januari 2011

Hakikat Kaum Intelektual

Pada dasarnya, kaum intelektual tak identik dengan kaum sarjana, ustad, pendeta ataupun kaum yang bergelut dalam spesiliasasi ilmu tertentu. Kaum intelektual juga tak identik dengan politisi. Ke- Intelektualita-san tak terletak pada simbol-simbol akademik yang formal. Seorang yang merasa dirinya intelektual berkemampuan mendedahkan kemampuan intelektual tanpa terjebak kepentingan dan berkomitmen menjunjung tinggi kebenaran yang diyakininya.
Kebebasan untuk mengungkapkan kebenaran itu tak dibatasi oleh aturan formal organisasi. Seorang intelektual sejati konsisten dengan tujuannya untuk membebaskan masyarakat dari kungkungan struktur yang menindas. Ia melakukan semua itu dengan ikhlas meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri sekalipun.
Secara sosiologis, keberadaan kaum intelektual merupakan kelompok creative elite dalam suatu susunan masyarakat yang berfungsi sebagai early warning system dalam kehidupan masyarakat. Entah itu masyarakat akademis ataupun masyarakat ‘awam’. Kelebihan kaum intelektual adalah kemampuannya untuk menjadi prototype bagi masyarakat diluar dirinya. Kaum intelektual sebagai kaum yang memiliki daya kreatif untuk menciptakan solusi cerdas bagi masalah ummat yang sedang terjadi. Dengan begitu, seluruh pemikirannya bisa menjadi daya tawar bagi masyarakat untuk menghadapi kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang.
Jadi hakikat kaum intelektual dapat dilihat dari corak pemikirannya yang dapat melampaui zamannya. Pada posisi inilah kaum intelektual kadang-kala menjadi kontrovesial, karena terang-terangan menggugah kemapanan kehidupan pada saat itu. Lihat saja bagaimana Friederick Niezche yang dituduh kafir lantaran berani mengkritik arus pemikiran pada zamannya. Atau tengok saja Michael Faucault yang dituduh gila. Cermin paling kuat untuk ini adalah para nabi, yang meskipun harus bertaruh nyawa tak pernah lari untuk memperjuangkan keyakinannya.


Bagaimana menjadi kaum intelektual?

Tapi kemudian menjadi persoalan: bagaimanakah cara menjadi kaum intelektual? Mungkin banyak kalangan yang berniat menjadi kaum intelektual, tapi jalan menuju predikat itu tak seperti membalikkan telapak tangan. Diperlukan orang-orang yang siap hidup “asketis” dan bersemangat juang tinggi. Jalan menuju kesana penuh dengan kerikil-kerikil tajam.
Untuk menjadi kaum intelektual, diperlukan seorang yang bisa melihat realitas dengan mata malaikat. Mata malaikat disini artinya seorang yang bisa membedah realitas secara empiris. Tak hanya terlibat dalam diskusi-diskusi yang abstrak tentang Tuhan dan kebenaran yang sifatnya trasendental, tapi jauh melampaui itu, yaitu membicarakan masyarakat yang riil.
Dengan peran fundamentalnya untuk meningkatkan martabat kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kaum intelektual berguna untuk melaksanakan “pemberdayaan” masyarakat yang sedang berada dalam fase kejumudan, ketertinggalan, ketertindasan dan lain sebagainya.
Maka, tak ada jalan yang bisa ditempuh selain belajar sekuat tenaga. Dalam belajar itu, diperlukan sarana yang sangat fundamental, yaitu buku. Buku merupakan jalan utama menjadi kaum intelektual. Tanpa buku, kita hanya bisa ber-angan-angan dan tertunduk lesu melihat realitas yang sebetulnya kita muak melihatnya. Pepatah mengatakan, “buku adalah jendela dunia.” Begitu besarnya peran yang dimainkan buku.
Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat yang berpotensi menjadi kaum intelektual, tanpa menafikkan elemen masyarakat lainnya. Hanya mahasiswa yang belum terlalu tercemar oleh berbagai macam kepentingan pragmatis. Di universitas, beragam kelompok atau organisasi yang merupakan wadah untuk mewujudkan cita-cita menjadi kaum intelektual. Salah satu organisasi itu adalah pers mahasiswa. Tak diragukan lagi, dengan keaktifannya dalam kegiatan tulis-menulis, terkhusus kegiatan jurnalistik membuat mereka selalu tersentuh dengan hal baru. Karena itu, pemikiran mahasiswa yang tergabung dalam pers mahasiswa tak pernah sempit, termasuk dalam melihat realitas yang mapan. Mereka terbukti lebih kritis dibanding dengan kelompok mahasiwa lainnya.
Sebagai bagian dari pers mahasiswa, Pk.identitas seharusnya menjadi organisasi yang bisa menggodok generasi muda menjadi kaum intelektual. Bukan hanya menggodok orang untuk menjadi jurnalis siap pakai. Tapi lebih dari itu, bisa menjadi calon kaum intelektual terkemuka. Sebagai salah satu organisasi pers mahasiswa tertua, dengan beban sejarah yang dimilikinya, tak ada salahnya kita menggantungkan cita-cita itu.
Melihat besarnya peran yang dimainkan buku dalam “menciptakan” kaum intelektual, kemudian mengilhami saya membuat perpustakaan mini Pk.identitas. Saya menyadari, perpustakaan mini ini belum lah representatif sebagai wadah dalam menciptakan kaum intelektual, seperti yang saya jelasakan diatas. Saya berharap, perpusatkaan mini ini menjadi starting point bagi kru identitas dalam menggapai predikat: kaum intelektual. Semoga!