Sabtu, 18 Desember 2010

Identitas dan Menginap

Rumah Singgah

Di Jakarta dan kota besar lainnya, kolong jembatan, trotoar, dijadikan sebagian orang yang tak beruntung sebagai sebuah rumah. Orang-orang seperti inilah yang kemudian dinamakan masyarakat jalanan. Mereka tak memiliki rumah permanen untuk digunakan sebagai tempat tinggal. Bagi mereka, setiap tempat adalah rumah. Mereka inilah sedikit dari banyaknya orang yang menjadi korban ganasnya kota.

Belakangan, pemerintah dan masyarakat dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat membuat sebuah program yaitu rumah singgah. Rumah singgah sendiri di buat hanya sebagai tempat menginap (baca: singgah). Bila matahari mulai terbenam, mereka akan berbondong-bondong datang. Bagi mereka, rumah singgah merupakan alternativ. Tempat itu masih baik ketimbang menginap di kolom jembatan, trotoar dan pinggiran toko.
Rumah singgah bukan tempat yang permanen, yang bisa mereka tempati selamanya. Rumah singgah, seperti namanya, hanya dijadikan tempat singgah sementara pada malam hari. Keesokan harinya, mereka meninggalkannya untuk mencari kehidupan. Bagi mereka tak ada kalimat: Rumah ku, surga ku. Sebab itu bukanlah rumahnya. Rumah singgah hanyalah tempat berteduh sementara waktu.

Rumah singgah bukanlah tempat bagi proses pencapaian sebuah tujuan. Maksudnya, rumah singgah tak bisa menawarkan sebuah harapan bagi hidup yang lebih baik. Beda dengan rumah pada umumnya yang digunakan sebagai bagian dari elemen pendukung pencapai cita-cita. Di rumah kita bisa belajar, bermain, membikin anak maupun lainnya. Rumah tinggal bukanlah sebuah alternatif.


Identitas, Bukan Rumah Singgah

Lalu apa kaitannya rumah singgah dengan identitas? Beberapa hari lalu teman saya bilang begini: Saya mau cari kos, mulai bosan ma nginap di identitas, gak ada yang temani. Pertanyaan sederhananya, di posisi manakah kita menempatkan identitas? Apakah sebagai rumah singgah atau rumah dalam artian umum. Kalau kita sepakat dengan pilihan pertama, menginap bukan lagi kewajiban. Tapi jika pilihan jatuh pada poin kedua, menginap merupakan kewajiban. Saya mengatakannya wajib sebab kalau kita tak lagi menginap disitu, tak ada lagi artinya sebagai rumah. Sebab tak di tinggali. Dikatakan rumah jika ada yang meninggalinya. Jika semua orang yang merasa memiliki nya tak lagi berada disitu, dia kemudian hanya menjadi bangunan. Dan tak ada bedanya dengan toko, kantor, dan hotel.

Realitasnya, saya melihat identitas tak lagi di jadikan sebagai sebuah rumah. Banyak orang-orang di dalamnya menggunakannya sebagai tempat untuk sekadar singgah karena capek seharian kuliah, atau sekadar sebagai ajang kumpul-kumpul. Atau hanya sebagai tempat singgah karena tak memiliki kos atau rumah tinggal. Saya berani berkata demikian karena saya tak lagi melihat identitas digunakan sebagai tempat untuk menapaki kehidupan mencapai cita-cita. Misalnya, untuk diskusi, belajar dll. Kita hanya datang, duduk di ruang tamu cerita yang tak jelas, atau nonton Televisi, sesaat kemudian ambil posisi kemudian tidur.

Maka tak lah salah kalau ada sebagian, termasuk saya memilih menginap di rumah sendiri. Bukan di identitas. Menurut saya, tak ada lagi hal yang membuat identitas istimewa dari rumah sendiri. Tokh di identitas kita hanya datang tidur, lalu beramal buat sang nyamuk yang banyak nya minta ampun. Atau sebagai tempat meluapkan rasa sepi. Hanya orang sepi yang mencari keramaian.

Mungkin sudah saatnya kita merubah itu semua, menganggap identitas tak lagi sebagai rumah singgah tapi lebih dari itu rumah yang ideal. Yang di dalamnya kita ditempa untuk mencapai cita-cita dengan berdiskusi, berdiskusi dan membaca. Sehingga identitas layak di beri label, SURGA.

Catatan Untuk Aminah

“Saya kasi masuk telunjuk ku. Tak bertahan lama nafasnya kemudian bagai kuda yang habis di pacu, matanya layaknya orang pingsan.” Itulah sebagian kalimat yang teman saya ceritakan beberapa waktu lalu. Ia menceritakan pengalamannya berpacaran dengan, sebut saja Aminah.

Seminggu sebelum ia menceritakan pengalaman bejatnya ini, saya kebetulan ketemu dengan Aminah. Pada kesempatan itu kami berdiskusi panjang tentang banyak hal. Termasuk tentang agama. Yang diperdebatkan apakah agama itu punya kontribusi bagi perbaikan moralitas seseorang. Bagi dia, agama sangat memiliki peran untuk itu. Tapi bagi saya, agama sudah tak lagi punya taji.

Aminah adalah seorang mahasiswi universitas bergengsi di Makassar. Saya mengenal Aminah tahun lalu. Pertama kali bertemu Aminah, tak terbersit sedikit pun pikiran kalau ia cewek ‘tak baik’. Ia tampak kalem. Kalau melangkah kelihatan hati-hati. Memakai pakaian muslimah dengan jilbab yang lebar sampai mendekati lutut. Saking perfect nya, saya melihat semua perilakunya sesuai dengan tuntutan ayat dan hadist. Inilah wanita, dalam Alquran sebagai penghuni surga. Saya kaget saat pertama kali tahu kalau ternyata berpacaran dengan teman saya.

“Islam itu agama yang sempurna, tak tersisa sedikit pun pertanyaan untuknya.” Itulah sedikit kalimat yang keluar dari mulut manis Aminah saat berdiskusi. Aminah membantah pernyataan saya kalau kita tak butuh agama. Menurut Aminah, agama penting untuk menjaga moralitas manusia. Dengan beragama kita bisa menghindarkan bangsa dari jurang kehancuran. Dalam Alquran tercatat ada banyak umat manusia dimusnahkan Tuhan karena menolak kebenaran suatu agama. Lihat saja bagaimana sejarah umat Nabi Luth yang membangkang tersapu gelombang tsunami.

Tapi saya keukeh beranggapan agama tak lagi punya relevansi bagi perbaikan moralitas umat di era modern ini. Agama hanya dijadikan lukisan penghias dinding kehidupan. Agama tak lagi dihayati secara esensial. Tapi telah menjelma menjadi sebuah ritual yang bersifat formal semata. Orang kini memperlakukan agama layaknya buku-buku yang hanya disimpan di rak sebagai penghias agar terkesan intelek. Di umbar di Kartu Tanda Penduduk sebagai penyelamat dari hukuman negara karena melarang tak beragama.

Aminah tak mau menerima argumen itu. Ia malah memperlihatkan muka tak bersahabat. Dengan sedikit jengkel berseru, “semoga Allah menujukkan mu jalan menuju pada-Nya.”

Merasa kondisi memanas, dengan memperkecil intonasi saya menjelaskan secara hati-hati landasan pemikiran saya. Saya mengatakan kalau kapitalisme telah merubah semuanya secara drastis. Seseorang yang mengkonsumsi barang tak lagi bermaksud memperoleh manfaat. Dikatakan bermanfaat bila memenuhi kepuasan untuk memenuhi kehidupan semata. Di era globalisasi ini mengkonsumsi barang tak lagi dilihat dari manfaat an sich, namun sudah jauh melampauinya. Yaitu sebagai pendongkrak prestise atau harga diri. Maka tak salah orang berlomba-lomba membeli Handphone blackberry, padahal blackberry tak beda jauh dengan Handphone merk Mito. Begitu pula yang terjadi dengan agama. Agama hanya dimanfaatkan sebaga “juru selamat” dari represivitas negara.

Contoh paling riil untuk Aminah, setelah seminggu berdiskusi dengan saya. Dimana posisi Tuhan saat jari teman saya memasuki wilayah tak terlarangnya? Apakah Tuhan ada di jari-jari? Dalam agama, aturan tentang zina sudah diatur secara jelas. “Laa Takrabul zinna,” Janganlah sekali-kali mendekati zina. Jangankan memasukkan jari, mendekati saja dilarang. Inikah arti agama? Wallahu alam!

Sabtu, 09 Oktober 2010

Tak Sekadar Pembelajaran, tapi Arena Perjuangan

Tulisan ini merupakan catatan seorang yang ‘benci’ dengan Pk identitas

Belakangan ini saya resah, benci, marah dan entah apapun namanya. Saya sendiri kadang bingung benci dengan apa dan siapa? Tak jelas subjeknya? Pokoknya saya hanya benci, titik! Ini berdampak pada sikap saya yang cenderung emosional, tidak bisa mengendalikan rasa amarah—yang—padahal ‘berkutat’ dengan hal sepele. Persoalan ini membuat saya gamang menjalani rutinitas. Saya sendiri akhirnya memutuskan untuk berpikir dan menjauh sejenak dari aktivitas. Sudah seminggu terakhir ini saya berkontemplasi, berpikir tentang hal apakah yang membikin gejolak ini muncul. Inilah hasil perenungan itu.
***
Dulu, tak pernah sedikitpun terbersit di benak niat bergabung di Penerbitan Kampus (PK) identitas. Saya memang memiliki minat menulis, tapi tak untuk di salurkan di Pk identitas. Saya tahu, dari hasil ‘gosip’ dengan beberapa teman, kalau Pk identitas itu corong Rektor Unhas. Cibiran seperti itu tak hanya jadi omongan di pelataran-pelataran universitas, ini bahkan diperbincangkan di ruang-ruang sempit perkuliahan. Akibat citra negatif yang terlampau saya ketahui, sementara minat menulis makin kuat tapi tak punya penyaluran, saya kemudian memutuskan bergabung dengan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Unhas. Semua orang tak bisa membantah kalau UKPM Unhas terkenal ‘radikal’ dalam memperjuangkan peran dan fungsinya. Dan memang benar, UKPM merupakan pers mahasiswa yang terkenal tak lelah memperjuangkan hak-hak rakyat yang terabaikan. Ini saya rasakan pada saat bergabung.
Tapi lambat-laun, saya mulai merasa tak nyaman dengan aktivitas di UKPM. Energi menulis tak pernah tersalurkan. Penerbitan Buletin Caka (Nama Buletin UKPM, red) hampir tak pernah memenuhi jadwal yang ditentukan. Mereka, anggota UKPM lebih sibuk aksi dan lupa akan tugas utamanya sebagai pers mahasiswa, yaitu menyuarakan perjuangan lewat pena. Tapi saya dibuat sedikit lega, karena setiap minggu UKPM selalu membuat diskusi. Tapi selalu saja diskusinya seputar Marxisme dan turunannya yang kolot itu. Rasa bosan makin kuat saja merasuki pikiran.
***
Suatu hari saya berpikir, kok saya mentah-mentah percaya dengan isu negatif yang di alamatkan ke salah satu pers mahasiswa tertua itu. Mungkin sebagian kalangan ada yang ‘cemburu’ dengan segala keistimewaan yang diperoleh Pk identitas. Mereka kemudian melempar isu bodoh itu untuk menjatuhkan citra Pk identitas yang terkenal profesional dan cerdas. Untuk membuktikan isu itu, saya memutuskan untuk ikut magang, sebagai proses awal bergabung di Pk identitas. Saya menyadari usia tak lagi muda kala itu. Maklum, waktu itu sudah menginjak semester enam.
Di Pk identitas, saya menjalani pemagangan psosesnya panjang dan berliku. Mungkin karena merasa diri ‘senior’ makanya banyak bertingkah. Kalau disuruh cuci piring, membersihkan ruangan langsung menghindar. Siapa ‘senior’ yang mau disuruh cuci piring? Sementara di fakultas memainkan telunjuk ‘dewa’.
Sering saya di maki oleh senior—yang kalau indikatornya angkatan, ia termasuk junior saya—tapi selalu banyak cara bagi saya untuk sekadar mangkir. Sewalaupun pada kondisi tertentu tak bisa lagi menghindar, terpaksalah mencuci piring dengan berat hati. Karena alasan itulah, saya kemudian di juluki raja kalasi.
Hampir satu tahun saya menjalani magang. Saya belum sedikit pun mendapatkan bukti jika cibiran tadi itu benar. Di ruang rapat anggota redaksi dengan bebas mengusulkan berita. Tak ada tanda-tanda jika usulan yang sedikit ‘frontal’ di buang. Saya hanya menyaksikan anggota redaksi tidak menguasai isu. Dan ditolak jika tak punya data-data riil. Saya semakin dibuat penasaran oleh Pk identitas.
***
Selama menjalani magang, tiga kali saya hampir di Drop Out (DO) lantaran malas kerja redaksi dan non redaksi. Malas pergi beli makan senior—yang juga junior saya—tapi niat baik tetaplah niat baik, selalu saja ada jalan Tuhan yang tersisa buat saya.
Seingat saya, hal pertama yang menjadi alasan di DO ketika memutuskan untuk pulang kampung. Aturan Pk identitas waktu itu melarang calon reporter untuk itu. Tapi saya bersikeras lantaran sudah tiga tahun tak pulang. Orang tua meminta saya pulang karena alasan rindu. Saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya sendiri sebenarnya tak mau pulang. Saya pikir tidak ada gunanya pulang lantaran tidak ada aktivitas di kampung. Paling banter pergi tidur dan makan. Dan, kegiatan itu tokh bisa juga dilakukan di Makassar.
Alasan kedua, saya malas mengerjakan tugas redaksi. Saya benci dengan cara membentaknya yang tidak ‘manusiawi’. Dulu, semua teman-teman seangkatan merasakan hal yang sama. Kalau kami ke Pk identitas, biasanya berjanji pergi bersama-sama. Sebelum berangkat, berkumpul dahulu di bawah Lt 1 Gedung Perpustakaan Pusat Unhas menunggu semua hadir. Setelah teman-teman berkumpul, barulah kami bergegas ke Pk identitas. Itupun sesampainya di Pk identitas, tidak langsung masuk ke ruang utamanya, tapi memilih ke Ruang Pusdok, yang memang agak tersembunyi. Waktu itu, kami betul-betul merasa segan bertemu senior yang ‘ganas’.
Yah, ternyata ‘senior’ juga punya rasa takut. Tapi jujur, sebenarnya tak takut, mungkin karena ego yang tinggi, saya malas ke ruang utama lantaran tak mau langsung di suruh cuci piring. Sebuah strategi bodoh, karena tetap juga di datangi untuk mengerjakan tugas itu.
Terakhir ketika saya memobilisir teman-teman untuk memboikot rapat redaksi. Waktu itu saya telah jadi repoter dan juga fotografer. Ceritanya, saat itu kami tidak sepakat dengan kebijakan redaksi yang tak memasukkan nama salah satu teman, yang kebetulan keluar, dalam rubrik dapur redaksi yang biasanya terbit pada edisi khusus akhir tahun. Mungkin karena komunikasi yang kurang jalan, ada sebagian teman yang ‘berkhianat’. Hanya ber-empat dari tujuh teman yang konsisten terhadap keputusan awal. Karena ada sebagain yang hadir, strategi itu hancur berantakan.
Saya pikir—karena strategi hancur—saya mesti buat stategi baru. Ini untuk menyelamatkan teman-teman saya. Saya tak terlalu penting. Waktu berkarir tinggal sedikit, lagipula saatnya saya konsentrasi menyelesaikan studi. Waktu itu, tugas redaksi saya hentikan.
Strategi lain itu adalah menjadikan saya sebagai tumbal, agar kemarahan jajaran atas bisa tersalurkan. Orang yang paling di incar mereka adalah saya. Dan itu berhasil. Saya dihabisi, dibuat malu. Karena malu yang amat besar, tanpa pikir panjang, saya memilih lari keluar dari ruang sidang Pk identitas. Yang penting teman-teman selamat, pikir saya. Jujur, saat itu saya lari karena—maaf—saya bawa barang tajam, seandainya masih disitu, kemungkinan amarah tak tertahan, dan pasti beberapa dari jajaran atas bisa jadi korban.
***
Saya menjalani proses terakhir untuk secara resmi diangkat menjadi anggota Pk identitas pada suatu malam yang panjang di bulan Desember 2008. Pada waktu itu, saya mendapat giliran pertama untuk di screening. Ini proses masuk di Pk identitas yang paling menyeramkan sepanjang sejarah penerimaan anggota, sebab semua senior berkumpul sementara kita berdiri di depan untuk ‘dikerjai’. Tempat proses ini biasanya di ruang redaksi. Semua lampu di matikan, hanya lilin dan lampu Handphone senior yang menyala.
Tiba-tiba terdengar suara, “tunduk ko!” Saya tak menghiraukannya. “Oe, kamu mau di terima ato tidak, tunduk ko disitu,” suara itu mulai terdengar keras. Dengan suara rendah saya menjawab, “saya tidak akan tunduk.” Pikiran saya bergejolak, adatnya tak beda dengan Opspek Mahasiswa Baru (maba). Bagi saya, cukup saat maba saya melakukan hal konyol itu. Kali ini tidak akan!
Karena tak mendengar instruksi untuk tunduk, saya lalu disuruh keluar. “Kau tak diterima, silakan pulang,” ungkap salah seorang senior dengan nada sinis. Saya sendiri tak tahu siapa yang menyuruh saya keluar saat itu.
Tapi akhirnya, salah seorang senior memanggil kembali tepat saat saya berlari keluar. Lama saya bercerita dengannya. Ia menjelaskan beginilah tradisi Pk identitas. Jadi harus siap. “Menjadi wartawan itu harus punya mental kuat, kalau tidak engkau akan tergerus zaman,” ceritanya. Saya kemudian disuruh bergabung kembali dengan teman menunggu giliran, “pi mako sama teman mu, kasi tenang pikiran mu, nanti dipanggil jako,” tuturnya singkat.
Ternyata benar, setelah semua teman-teman usai di screening. Kini giliran saya dipanggil untuk kedua kalinya. Kali ini saya menyerah, karena letih semalaman tak tidur, semua instruksi bodoh pun saya ikuti. Malam itupun menjadi sejarah panjang perjalanan karir saya di Pk identitas yang kemudian nanti penuh dengan krikil-krikil, romantisisme, pesimisme dan harapan.
***
Tujuan awal tadi perlahan namun pasti mulai tersibak meskipun belum seutuhnya. Yang jelas, kalau sudah di jajaran redaksi, kru Pk identitas sangat tidak ‘manusiawi’. Jika rapat pengusulan tiba, dan kru tidak membawa usulan berita atau usulannya abal-abal, maka itu berarti membawa maut bagi diri sendiri. Kru akan dimarah habis-habisan. Bila perlu, disuruh keluar untuk mencari pengusulan. Tapi bagaimana mungkin dapat pengusulan dengan kondisi yang sudah sore, mahasiswa, dosen dan pegawai tempat mencari informasi dan data sudah pada pulang. Cara itu, tentu bentuk pengusiran secara halus. Ini membuat kru ada yang datang kembali dengan tangan kosong dan mengusulkan—lagi-lagi—seadanya. Adapula yang langsung pulang lantaran takut dimarah.
Cara-cara ini mengadopsi prinsip kerja jurnalisme mainstream. Keras, dan tidak ‘berperikemanusiaan’. Kalau tidak begitu, mana bisa penerbitan—apalagi mahasiswa—menerbitkan secara rutin selama dua kali sebulan. Sementara tugas kuliah menumpuk. Laporan tugas laboratorium bertumpuk dengan segala tetek bengeknya.
Ini pembuktian positif saya. Sikap profesionalitas. Tapi diluar, sikap otoriter itu dijadikan cibiran oleh pesaing Pk identitas yang sebenarnya inferior dengan kemampuan Pk identitas menerbitkan secara berkala dan tepat waktu. Beda dengan mereka, penerbitannya tidak jelas. Tidak ada manajemen redaksi. Yang ada hanya kebebasan, anti-otoritarian, tapi penerbitan tak jalan. Penerbitan apa namanya itu?
***
Seiring berjalannya waktu, ternyata saya menemukan banyak hal yang dicibirkan orang itu. Adakalanya semua itu benar. Setelah dua tahun lebih menjalani, saya baru sadar. Pk Identitas rapuh, tanpa pondasi filosofis. Hanya kuat pada tataran materil. Saya mengakui Pk identitas mampu menerbitkan secara berkala dan tepat waktu. Tapi ada satu hal yang mereka lupa, mahasiswa seharusnya—apalagi pers—mempunyai basis wacana yang mumpuni. Ini berfungsi agar gerak pers mahasiswa tidak kehilangan arah perjuangannya. Pada zaman sekarang, penguasaan wacana menjadi penting bagi teman-teman Pk identitas karena merekalah menjadi tunas wartawan masa depan Sulsel. Dari tangan mereka lah nantinya gerak sejarah ini ditentukan. Saya hanya takut, mereka nantinya menjual Sulsel kepada pemodal lantaran mereka tidak dilengkapi piranti yang sangat fundamental ini. Kalau basis ideologi tidak cukup—kalau mau dibilang tidak ada—sudah barang tentu mereka nanti menjadi wartawan bodoh yang hanya dipermainkan kapitalis.
Lihat saja bagimana citra Sulsel sekarang? Ini tentu tak lepas dari peran besar wartawan—yang kebetulan—banyak senior Pk identitas. Dengan gaji yang tak seberapa, dengan gencar memuat berita tentang anarkisme mahasiswa, padahal itu tak sepenuhnya benar. Aksi anarkisme itu tidak lebih dari setitik aksi dari beribu aksi yang dilakukan mahasiwa. Terkadang juga substanti aksi tidak ditonjolkan, ini karena apa? Karena mereka tidak paham dengan wacana dan politik pencitraan. Miris kan? Apa ini yang diingankan Pk identitas?
Saya merasakan, Pk identitas betul-betul kering akan wacana. Saya pernah bingung mencari teman diskusi lantaran semua kelompok diskusi saya dulu, saya tinggalkan untuk fokus di Pk identitas. Saya berpikir, wacana bisa diperoleh di Pk identitas.
Tapi semua harapan itu sia-sia, teman di Pk identitas itu lebih banyak apatis terhadap persoalan fundamental yang membedakan kita dari media mainstream. Mereka lebih cenderung mengasah kemampuan teknis menulis, yang sebenarnya tak pernah tuntas, ketimbang penguasaan wacana. Paling tidak ada balance.
***
Yang perlu diketahui teman-teman, termasuk yang masuk di Pk identitas (kebetulan saya fotografer) itu nomor satu. Jadinya, selama dua tahun, meskipun ini cenderung apologi, kuliah saya hancur. Bagaimana tidak, saat saya final test sementara ada aksi mahasiswa diluar, saya mesti meninggalkannya. Tentu pilihan yang sulit.
Tapi saya menganggap, ini konsekuensi yang harus saya jalani. Saya harus bertahan untuk memenuhi tujuan saya tadi. Yaitu mengetahui apa itu Pk identitas? Sebab baru mendapatkannya sedikit.
Akhirnya, pada 2009 lalu, terjadi pemilihan Pimred. Saat itu, ada tiga orang yang ingin maju jadi Pimred. Semuanya kader terbaik Pk identitas, tapi ada satu yang menurut saya openmind untuk merubah Pk identitas menjadi pusat wacana, paling tidak pada tataran internal redaksi.
Bagi saya, tujuan awal tadi telah berubah, dari sekadar ingin mengetahui, menjadi ingin merubah. Menjadikan Pk identitas sebagai pusat kritik, pusat wacana, pusat segala sesuatu di Unhas. Saya kira itu bukan tujuan yang utopis, Pk identitas punya segalanya.
Akhirnya, jagoanya saya terpilih. Dalam program kerjanya ia memiliki visi dan misi yang istimewa untuk ukuran Pk identitas saat itu. Saya menganggap ia luar biasa. Tapi belakangan pandangan itu berubah, tidak ada lagi diskusi, apalagi kajian terhadap isu terbaru di Unhas, atau nasional. Awalnya memang ia intens membikin diskusi, tapi hanya berjalan sesaat. Yaitu tiga bulan awal saja. Dan yang membuat saya berang, dia tidak tegas terhadap jajaran atas yang keluar tanpa prosedur. Tapi saya tak perlu mengulas itu.
Beberapa teman yang dulu saya minta mendukungnya bahkan melontarkan kata-kata tak enak terhadap saya. Kata mereka, “kau telah menjerumuskan saya, lihat Pimred yang kau rekomendasikan.” Tapi saya selalu meyakinkan mereka kalau tunggu saja beberapa waktu, kita lihat bagaimana kebijakannya.
***
Pernah saya mengusulkan untuk menseleksi magang yang masuk di Pk identitas itu dengan tiga hal, pertama mereka harus di test potensi pengusaan filsafatnya, pengetahuan sosialnya dan terakhir pengetahuan jurnalistiknya. Kenapa pengetahuan jurnalistik terakhir? Karena mereka datang untuk belajar jurnalistik, itu bisa mereka dapatkan di Pk identitas. Sementara filsafat dan pengetahuan umum, digunakan sebagai piranti analisis agar pemberitaan menjadi berbobot. Dua hal pertama tadi sangat tidak mungkin mereka dapatkan di Pk identitas lantaran kondisi yang tidak memungkinkan.
Tapi itu di tolak. Mereka beralasan semua harus diberi kesempatan, biarlah alam yang akan menseleksinya. Alasan bodoh bukan? Lihat saja bagaimana semakin tahun kualitas pemberitaan dan kualitas kru Pk identitas makin buruk, saya sendiri juga tak sepenuhnya baik, sebab dihasilkan dari sistem yang buruk. Ini adalah langkah awal, sebuah langkah revolusioner, menurut saya.
Bagi saya sendiri, Pk identitas tak seharusya hanya menjadi media pembelajaran, tapi harus lebih daripada itu, media perjuangan. Peduli setan dengan rektorat, jika ia khilaf, mesti di kritik walaupun dengan acaman pemberedelan. Saya kira kita harus siap dengan kondisi itu jika sewaktu-waktu di bredel, dan mental itu harus kita bikin sekarang, bukan esok. Kita hanya perlu langkah awal, sekali lagi sebuah langkah revolusioner.
Saya setuju dengan perkataan salah seorang dosen komunikasi, Drs Mauliadi Mau kepada forum Diklat lanjut UKPM Unhas tahun 2009. “Pk identitas itu corong rektorat, hanya menciptakan wartawan bobrok Sulsel yang menghamba pada kapitalis, lihat saja semua seniornya jadi pemimpin media kapitalis di Sulsel saat ini,” ungkapnya sinis. Itulah kurang lebih sepenggal kalimat yang ia lontarkan ke khalayak umum yang ikut Diklat dari seluruh Indonesia itu. Saya kira itu benar dengan catatan, tidak ada track record senior identitas sebagai wartawan amplop. Atau wartawan lainnya. Mauliadi Mau terkesan ‘ngawur’ dan sembrono dalam beberapa titik.
Mauliadi benar jika dikaitkan dengan citra Sulsel yang memburuk. Sebab hampir semua pimpinan media di Makassar adalah senior Pk identitas. Tapi ia salah karena sebagai Dosen Komunikasi membiarkan hal ini terus berlangsung. Harusnya ia mem-back up Pk identitas. Dengan memberikan pembelajaran wacana agar hal itu disadari. Dan, itu semakin membuat semangat saya terpacu untuk ber-identitas.
***
Tapi kemudian hal itu berubah menjadi suatu yang utopis, paling tidak saat ini melihat sikap Pimred yang tak lagi opendmind. Akhir juli lalu, sebuah opini dia batalkan terbit lantaran wacananya telah usang. Menurutnya, (penjelasan ini setelah terbit) kalau opini itu diterbitkan, terkesan kita ‘menghakimi’. Ceritanya begini, opini yang di batalkan itu bertemakan Anti Negara Islam, awalnya sodara Erwin menulis di Kolom Bias dengan judul: Negara Islam, No Way. Kemudian itu dibantah anggota HTI di kolom opini dengan judul: Negara Islam, Is a Way. Juga pada saat itu, seingat saya Pimred mengatakan bosan pembaca kalau disuguhkan opini yang berbau Islam terus.
Lalu apa yang terjadi? Yang keluar adalah opini tentang Syiah. Siapa yang tidak kecewa? Sekali lagi, Pk identitas itu ruang perjuangan, bukan pembelajaran semata. Bagi saya, siapa pun yang menolak demokrasi, yang tidak menghargai sesama dalam kesederajatan, yang ingin mengganti negara Indonesia yang nasionalis dan demokratis dengan Negara Islam harus di lawan. Dan inilah posisi peran perjuangan Pk identitas yang saya maksud. Lagipula, sodara Pimred terlampau terburu-buru karena ternyata dia tak mengikuti perkembangan wacana Pk identitas. Dia tidak membaca opini balasan itu, sebab hanyalah penjelasan rinci atas kesalahan penafsiran oleh penulis HTI. Untuk penjelasan lebih lanjut, akan saya bahas pada tulisan saya lainnya, tentang agenda Setting Media.
Saya paham kalau dalam media berlaku sistem secara struktural. Segala pemberitaan yang terbit tergantung keinginan Pimred. Tidak ada alasan, semua titik. Tapi bukankah kita media kampus? Medianya mahasiswa yang menggaungkan demokrasi. Apa pantas hal itu dilakukan, paling tidak sebelum di hapus, Pimred berusaha mengkomunikasikannya. Saya tentu akan menerimanya dengan lapang dada. Bagi saya, itu sepenuhnya wilayah Pimred. Saya ini hanya ‘pembantu’.
Sikap ini akhirnya membuat saya menolak meng-edit opini edisi berikutnya, saya merasa tidak lagi punya kapabilitas. Saya telah terbukti gagal menjalankan amanah. Dan, saya tidak akan menjilat lidah saya sendiri. Sekali berkata tidak, kata itu akan berlaku selamanya. Entah apapun konsekuensinya. Terakhir, saya diberi surat teguran pertama. Surat itu saya sobek. Surat itu tidak punya efek apapun terhadap saya. Karena pada saat itu, saya menganggap diri benar dengan pilihan saya. Dan sodara Pimred, adalah orang bodoh se-Dunia.

Ber-identitas, berarti siap menjadi ‘penjual sate’
Bukan cuma itu, ber-identitas sama saja dengan menjadi ‘penjual sate’. Sebuah tradisi yang harus segera diputus. Bayangkan saja, saat saya menjadi Steering Diklat Dasar Jurnalistik tahun lalu, saya dibuat repot setengah mati, karena baik jajaran atas maupun reporter masing-masing memiliki bahasa sendiri yang sulit saya pahami. Mereka—jajaran atas—bangga dengan ke-atasannya dan tidak mau menyentuh hal ‘bawah’, macam membantu kegiatan. Mereka ber-apologi, ini sudah mereka rasakan, ini tradisi, kalian harus mengerjakannya. Sementara reporter, juga larut dalam ‘kebawahannya’ sehingga bebal dengan segala macam marah dan kritik yang saya lontarkan.
Tapi saya tahu, personil reporter yang menjadi panitia tidak cukup pengalaman dan tenaga di tengah kuliah yang padat untuk membikin Diklat. Jadilah Diklat itu sebagai tempat saya dan beberap teman redaktur dan reporter beralih profesi menjadi ‘penjual sate’. Menjadi ‘penjual sate’ lantaran menusuk, mengipas, tapi di makan bersama. Kita yang capek membuat kegiatan, sementara jajaran atas yang mendapatkan enaknya. Ironis bukan? Itulah Pk identitas.
Inilah poin selanjutnya yang harus di lakukan Pk identitas. Memupuk sikap peduli. Kita ini adalah tim. Inilah poin yang segera harus dibenahinya. Caranya, tentu dengan melakukan upgrading panitia pelaksana sebelum melakukan sebuah kegiatan. Kemudian, semaksimal mungkin menyaring kru yang punya pengalaman organisasi. Bagaimana pun minimnya pengalammnya. Karena, ber-identitas bukan sekadar ajang pembelajaran, tapi juga sebuah arena perjuangan.
Bukti selanjutnya dari sifat ini adalah adanya kegiatan PJTLN yang tanggal 13 oktober akan diadakan. Semua panitia, Steering dan jajaran atas kocar-kacir memikirkan kegiatan ini baru pada saat kegiatan ini akan dilaksanakan. Efektifnya mereka serius mengurus kegiatan ini justru satu bulan—kalau mau dibilang tidak cukup—sebelum kegiatan berlangsung. Lagi-lagi, ironis bukan?
Saya sendiri memilih ‘hengkang’ dari kegiatan itu dengan alasan bahwa tidak ingin jadi ‘penjual sate’ untuk kedua kalinya. Saya mahasiwa, bukan ‘penjual sate’. Apapun opini yang keluar dari jajaran atas dan teman-teman, terserahlah, ini pilihan? Saya bukan orang bodoh. Hanya orang bodoh yang jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya, dan paling bodoh untuk yang ke-tiga kalinya.
Tapi perlu diketahui, saya sebenarnya sudah menolak untuk membikin kegiatan ini. Saya dahulu berpikir, Diklat Dasar saja masih tak becus, bagaimana Diklat Nasional yang memerlukan profesionalitas tinggi? Tapi kala itu, semua kru menolak rasionalisasi saya, mereka bilang kita bisa! Tapi mereka lupa, tidak memperhitungkan secara matang segala aspek.
Saya sedikit paham tentang manajemen organisasi, saya mendapatkan di bangku kuliah. Untuk menentukan prioritas kegiatan, terlebih dahulu kita mempertimbangkan aspek Sumber Daya (SD) yang ada. Apa itu sumber daya? Yaitu segala aspek yang memungkinkan pencapaian tujuan. Tapi apakah Pk identitas saat ini memilik SD untuk membuat kegiatan? Untuk beberapa hal mungkin punya, seperti, machine, money, tapi kita lupa dua hal, kita tak punya man, dan method? Kalau pun ada, tidak terlatih. Disitulah saya sendiri melihat pilihan untuk ber-PJTLN adalah—dalam manajemen—sebagai pilihan yang irasional. Dikatakan irasional karena tidak mempertimbangkan SD yang ada.
Mungkin PJTLN yang direncanakan itu saat ini berjalan. Tapi apa ia berjalan sesuai tujuan? Saya kira kegiatan ini berjalan diatas ‘nyawa terakhir’. Lihat, bagaimana rasionalisasi Steering saat saya mempertanyakan kenapa spanduk dan baliho tidak segera dipasang. Ia berpendapat kalau Baliho dan Spanduk tidak terlalu penting dipasang karena tujuan peserta bukan dari Makassar, tapi dari luar, padahal saat itu efektinya tiga minggu sebelum acara berlangsung. Namun apakah itu benar? Saya kira tidak, karena dibuatnya kegiatan nasional ini yaitu juga untuk memperkenalkan Pk identitas dimata mahasiswa baru Unhas. Saya banyak bertanya kepada mahasiswa angkatan 2008 dan 2009, banyak dari mereka yang tak tahu apa itu Pk identitas. Dan sangat lucu kalau orang luar tahu Pk identitas tapi mahasiswa Unhas tidak. Nah, itu yang tidak dilihat Steering dan Panitia. Dan prioritas macam inilah yang perlu dijadikan program kerja unggulan.
Beberapa kali saya mempertanyakan hal ini dalam rapat, tapi ini tidak di dengar, mereka berkilah, kita tunggu saja Baliho dan Spanduk yang dibuat sponsor. Tapi kapan? Mungkin tahun depan?
Bagi saya, ini membulatkan tekat saya untuk—sekali lagi—setelah sebelumnya merasa kecewa untuk betul-betul malas peduli dengan kegiatan. Tak berarti rapat. Tokh rapat hanya mendengarkan keluh kesah tanpa mencoba mencari solusi. Tak ada resolusi yang baik. Saya kira rapat itu tujuannya mencari resolusi.
Rabu lalu, (6/10) Baliho itu terlihat dipajang di Spanduk Center Fakultas Kedokteran Gigi. Di pasang dengan keadaan ‘semaunya’. Tampak tidak ada keseriusan terhadapnya. Lalu inikah gambaran kegiatan nasional?

Akhir Dari Keluh Kesah Adalah Permintaan Maaf
Mungkin keluh kesah ini terlalu panjang, dan terlampau subjektif. Bukankah keluh kesah itu pengalaman subjektif? Dan mungkin, buat teman yang terus berjuang ‘di jalan yang salah’ sadarlah, anda itu bukan ‘penjual sate’. Anda mahasiswa.
Terakhir, dengan segala hormat saya minta maaf atas sikap saya. Mungkin juga kalian tidak akan memaafkan saya, saya terlalu kejam untuk dimaafkan!
Saya kutip sair lagu ST 12 untuk kalian, “Satu jam saja, ku telah bisa cintai kamu seutuhnya namun bagiku, melupakan mu butuh waktu ku seumur hidup.” Saya mencintai Pk identitas melebihi pacar. Saya menyayangi kalian melebihi saudara saya sendiri, makanya saya peduli. Walaupun awalnya saya hanya ingin mengetahui. Mungkin cara saya yang salah, manifestasi cinta saya yang tak benar. Tapi yakinlah, ini untuk kalian. Untuk Pk identitas ke depan. Maukah kalian terus mewariskan profesi ‘penjual sate’ kepada generasi selanjutnya? Maukah kalian mewariskan generasi ‘bodoh’ wacana? Saya kira tidak! Tidak untuk saat ini dan selamanya!

Senin, 20 September 2010

Arung dan Ekstasi

Catatan Pendamping Goenawan Muhamad untuk buku St. Sunardi berjudul: Nietzsche


“Saya harus hanya memercayai seorang Tuhan yang mengerti bagaimana menari”

(Also Spach Zaratustra)

Nietzsche hadir tidak hanya dengan niat mengejutkan, ketika ia mengatakan bahwa “Tuhan sudah mati”. Ia lebih radikal ketimbang seorang ateis biasa. Beberapa pernyataan yang termasuk termasyhur bahkan menyebabkan ia bisa ditafsirkan sebagai filsuf yang bukan saja menampik filsuf (yang pernah ia cemo’oh sebagai kegiatan yang mirip vampir: menghisap darah dari kehidupan) dan menentang metafisika, tetapi juga seorang pemikir yang menampik adanya kebenaran. Baginya, kebenaran adalah ilusi. “Kebenaran”, begitu pernah ia katakan, “adalah sejenis kesalahan yang bila tanpa itu sejenis makhluk tak dapat hidup.” Bahkan kehendak untuk mendapatkan kebenaran pernah dianggapnya sebagai ekspresi dari ideal yang tidak disukainya, yakni ideal zahid, atau “asketik”, yang menampik kehidupan.

Memperkenalkan Nietzsche ke kalangan yang lebih luas di Indonesia, seperti yang dengan bagus dilakukan oleh St. Sunardi, berarti menyediakan satu kesempatan—kepada mereka yang tertarik akan soal-soal ide-ide—untuk ikut serta dalam suatu penjelajahan yang mengguncang, menjebol batas, menemui malam, memasuki sebuah gelora yang merangsang, karena kita senantiasa dikejutkan oleh tendensinya, yakni bahaya. Nietzsche sendiri mengatakan apa yang kita alami dalam arung itu dalam satu aforisamenya yang terkenal, sebagaimana dikutip St. Sunardi dalam buku ini:

Kita meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang kita—dan lagi, kita sudah menghapuskan daratan di belakang kita! Dan kini, hati-hatilah, kau kapal mungil! Samudra raya mengelilingimu: memang benar, dia tidak senantiasa mengaum, dan kadang-kadang ia tampak lembut bagaikan sutera, emas dan mimpi yang indah. Namun, akan tiba waktunya bila kau ingin tahu, bahwa dia itu tak terbatas. Oh, burung yang malang yang merasa bebas dan kini menabrak dinding-dinding sarangnya! Ya, bila kau merasa rindu akan daratmu… yang seolah-olah menawarkan kebebasan lebih banyak—dan tak ada “daratan lagi”.

Ia pasti bukan suara yang putus asa setelah mengatakan bahwa “kebenaran adalah ilusi”. Yang terbersit dari kata-kata itu justru sebuah isbat kepada hidup, dengan segal rindu yang tak sampai, rumah yang tak pernah tegak, petaka yang tak pernah putus, didalam kancah kelezatan tubuh dan angan-angan. Amor fati: kita menerima nasih dengan semacam rasa cinta. Tanpa miris, bahkann dengan gairah. Di dalam masa ketika aman dan tertib merupakan nilai yang diunggulkan—tidak hanya dalam kehidupan sosial, tetapi juga dalam pemikiran dan keyakinan—di masa ketika banyak orang ingin berlindung di bawah otoritas negara ( “monster yang paling dingin”, kata Nietzsche), atau dibawah iman dan ilmu, pemikiran Nietzsche bisa dianggap semacam ekstasi: yang didapat dari sana adalah pembelotan, kegilaan, khaos, keasyikan dan niat kembali terus menerus, dengan berahi. Bedanya dengan obat perangsang biasa ialah dari Nietzsche kita bisa, kalau kita terbuka untuk itu, memperoleh keberanian yang tertuntas. Dengan Nietzsche kita ibarat mendaki mahameru untuk mencapai puncak dalam panggilan sang hero yang tragik.

Juga sebuah hidup yang kreatif. Juga pandangan yang riang dan ringan hati. Ketika Zaratustra, dalam Also Sparch Zaratustra, mengatakan bahwa ia “harus hanya memercayai seorang Tuhan yang mengerti bagaimana menari”, ia agaknya meringkaskan suatu letmotiv dalam pandangan hidup Nietzsche: bahwa seandainya pun ada suatu sumber yang esa, kalaupun ada pondasi dari segala hal ihwal, maka suatu sumber atau fondasi itu sesuatu yang bergerak senantiasa, mencipta senantiasa, berubah senantiasa, seperti penari di dalam suatu koreografi yang membersit dari dalam diri sendiri, tanpa mengikuti pakem dan bentuk, tanpa telos atau tujuan yang dipatok. Suasana bukanlah semangat yang memberat, sebab semangat itulah justru musuh. “Akulah musuh Semangat Memberat,” ujar Zaratustra, yang merasa diri ibarat burung, selalu siap dan tak sabar untuk selalu terbang. Menjadi burung yang terbang bukanlah menjadi burung onta yang berlari lebih cepat ketimbang kuda, tetapi sementara itu membenamkan matanya sarat ke dalam tubuh—dan menyebut bahwa bumi dan hidup itu berat.

Bagi Nietzsche: tarian dalam nasib yang dahsyat ini adalah tarian yang ringan, terbang, bermain, bahkan tertawa…

Mereka yang tak terbiasa dengan semua ini mungkin akan bertanya (dengan sedikit “semangat memberat”): jika demikian, dimana tanggung jawab, disiplin, hidup yang tahu apa dituju? Bagaimana kau akan menghadapi orang-orang yang malang, dan bagaimana kau menghadapi maut, yaitu hari akhir, yang bisa membuat eksistensi sebagai alur, atau suatu tema? Dan mengapa harus ringan, terbang, bermain bahkan tertawa?

Seorang penulis pernah mengatakan bahwa Nietzsche adalah “tokoh sentral dalam pemikiran postmodern di Barat”, suatu pemikiran yang sering kali diasosisikan dengan sensibilitas terhadap apa yang disebut Derrida sebagai konsep “permainan”. Yang kita arungi, dengan keberanian dan kegembiraan, bukanlah suatu proyek penaklukan dunia. Yang menonjol dari Nietzsche pertama-tama adalah sebagai sebuah suara kritis terhadap agenda modernitas yang dimulai dengan Descartes, yang praktis menempatkan ego dalam posisi Tuhan—sebagai awal, malah sumber, dari perpikir dan dari “meng-ada”—dan dengan demikian membuat pemikiran diskursif menjadi pembangunan dunia. Bagi Nietzsche, ego yang seperti itu hanya fiktif. Baginya, tidak ada seonggok subjek. Yang ada hanyalah pluralitas. “Kita adalah pluralitas yang membayangkan diri sebagai satu kesatuan,” kata Nietzsche. Yang ada (seperti yang kemudian bergema dalam pemikiran Julia Kristeva) adalah subjek-dalam-proses. Semua mengalir, semua menjadi. Makhluk, seperti kata orang Jawa, segala hal yang kita temui karena ada, adalah dumadi, suatu yang “dijadikan dan menjadi”.

Hanya saja banyak orang melihat air yang dibendung tidak percaya, bahwa air itu mengalir, begitulah sebagaimana yang di ibaratkan dalam Zaratustra. Mereka hanya melihat tambak, bendungan, tebing—mungkin karena itu lebih memudahkan mereka untuk berurusan praktis dengan dunia. Orang yang bertumpu pada identitas benda-benda, kepada konsep dan kepada kategori, yang konstan, utuh, beku, tak bergerak dalam perbedaan, sebab dengan itu orang bisa mengaturnya, mengontrolnya, dan menjalankan pengetahuan dengan dunia serta kekuasaan atas hidup dan hal-ihwal. Negara, modal, uang, ilmu dan teknologi bermula dari sini. Dan Nietzsche—setidaknya dalam interpretasi posstrukturalis—adalah sebuah suara alternatif dari kesibukan modernitas itu.

Tentu, tidak persis demikian. Heidegger, misalnya, mengatakan bahwa pada dasarnya tidak banyak beda antara Nietzsche dan Descartes. Dengan memastikan cogito ergo sum, Descartes telah merubah manusia menjadi sang subjek, yakni substansi atau penopang yang berperan sebagai fondasi segala yang ada (beings). Dengan demikian, keputusan tentang apa saja yang dapat dianggap sebagai “sesuatu yang ada” terletak pada manusia, dan manusia pun hadir dalam posisi dominan. Bagi Heidegger, Nietzsche pun melakukan hal yang sama. Bedanya, dalam pemikiran Nietzsche, sang subjek bukanlah ego yang spiritual, melainkan tubuh, yang ditafsirkan satu pusat hasrat dan rasa, sebagai “penubuhan” dari “der Wille zur Macht”, kehendak-untuk-kuasa. Subjek itulah yang oleh Nietzsche, menurut Heidegger, jadi ukuran keber-ada-an? Dari tiap hal yang ada: terhadap suatu benda, satu barang, satu hal yang bukan-saya yang “ber-ada” di hadapan saya, sayalah yang menetukan keber-ada-annya. Memang itu tak pernah terjadi dengan proses pemikiran diskursif seperti pada renungan Descartes. Tapi bila Nietzsche menganggap kebenaran sebagai ilusi—dan itu berarti ada yang “benar” dan ada yang “ilusi”—maka sang subjeklah yang dihadirkan sebagai suatu “kekuasaan mutlak untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang palsu.”

Agaknya bagi pandangan Heidegger, Nietzsche masih belum beringsut dari baying-bayang humanisme. Ia belum manusia dari pusat hal-ihwal. Agaknya bagi Heidegger, yang cenderung menggambarkan manusia, atau Dasein, sebagai yang selamanya “terpikat” oleh wujud dan makhluk lain, dan mahkluk lain, dan yang kodratnya dibentuk seluruhnya oleh hubungan yang bersifat “gumati” dengan mereka, Nietzsche masih meneruskan pemikiran adanya subjek yang bukan saja berbeda, tapi juga lebih utama dari objek. Daripadanya kita memperoleh ideal sang kelana yang gagah berani, yang menuju ke kualitas Ubermens, menghadang resiko, memilih arung yang tak lazim, menjadi “tuan” dan bukan “budak”, mirip dengan sang jagoan dalam kisah perjalanan Odysseus. Tapi bukankah itu juga gambaran seorang entrepreneur, orang bisnis yang hendak merengkuh sesuatu yang besar, membentuk satu imperium, menaklukkan, dengan menempuh badai dan melawan arus? Dan bukankah Odysseus bisa dianggap (oleh Adorno, misalnya) sebagai “prototype individu borjuis”?

Heidegger, yang berbicara nuram tentang teknologi, dalam perkembangan pemikiran kemudian bahkan mengemukakan bahwa di dunia ini manusia sekadar berperan sebagai “penggembala” yang memelihara misteri dari sang Ada (Sein atau Being)—satu pernyataan yang seakan-akan memberi warna mistis bagi pandangan hidupnya, satu hal yang memang umumnya dianggap tak ada indikasinya dalam pandangan Nietzsche. Dalam hubungan inilah agaknya bagi Heidegger, Nietzsche—yang menentang metafisika, yang menyatakan tak ada dunia yang trasenden—telah melakukan apa yang oleh metafisika umumnya: mengabaikan Ada. Metafisika, bagi Heidegger, adalah sejarah surutnya Ada. Dan itu pula yang terjadi ketika Nietsche mengemukakan “kehendak-untuk-kuasa” sebagai “esensi dunia”, “esensi hidup”, bahkan “esensi segala hal yang ada”. Heidegger menganggap Nietzsche telah meletakkan Ada pada status nilai: sekadar suatu kondisi untuk mempertahankan dan meningkatkan kehendak-untuk-kuasa. Maka, apa bedanya dia dengan Descartes dan agenda modernitas dan himanisme yang bertolak dari sana?

Tetapi Heidegger telah salah membaca Nietzsche, menurut Derrida dan kaum posstrukturalis. Bagi Derrida, pemikiran Heidegger mengukuhkan kembali kedudukan logos dan kebenaran sebagai premium signatum: sebagai tanda yang dalam arti tertentu bersifat trasendental. Bagi Derrida dan kaum posstrukturalis, Heidegger benar jika ia, dalam membaca Nietzsche, bisa membiarkan bahasa Nietzsche tidak bekerja sebagai metafora. Bagi Derrida, hanya dengan menelaah bahasa Nietzsche secara demikian, Nietzsche justru akan tampak telah mampu membebaskan penanda dari sifat ketergantungannya dan derivasinya, sehingga penanda pun tidak akan ditentukan oleh dan tidak akan pula berasal usul dari logos atau konsep tentang kebenaran yang terkait.

Derrida pun mengajukan argumennya tentang “main”. “Main” adalah “tidak hadirnya petanda yang trasendental sebagai ketidakterbatasan main.”

Karena Nietzsche percaya bahwa kebenaran adalah ilusi, karena ia tidak mengasumsikan bahwa akan mungkin penanda yang cocok dengan petanda yang ditandainya, karena realitas adalah dumadi, yang terus dalam prosen menjadi, berubah, mengalir, dan tiap titik dalam air tidak pernah kembali, bahkan yang ada dalam suatu khaos, Derrida tampaknya ingin menampilkan Nietzsche sebagai isbat, suatu afirmasi, kepada gerak penanda yang putus-putusnya menandai, suatu signifiant yang menari-nari terus tanpa tempat menambatkan diri, tanpa suatu signifie, tanpa rumah asal tanpa tujuan akhir, tanpa nostalgia: yang ada sebuah tanah air pikiran yang telah hilang. Sang Ubermens, kata Derrida, membakar teks nya dan menghapus jejak langkahna sendiri, tertawa ke arah jalan kembali, dan ia akan menari, di luar kebenaran dan “rumah Ada”, lupa secara aktif …

Mari menari, mari tertawa, mari berlupa…

Derrida, seperti ditunjukkan oleh Michael Haar dalam satu esai yang cemerlang yang menggambarkan bagaimana Derrida “memainkan” Nietzsche, sebenarnya menjalani suatu startegi HyperNietzshean. Dengan mengatakan “menulis adalah permainan dalam bahasa”, di mana penanda bergerak dengan tidak lagi memiliki petanda, suatu proses main intra-linguistik yang tanpa henti, suatu proses permainan dari segala yang ada yang berlangsung di atas “papan catur tanpa dasar” yang tanpa penahan dan tanpa kedalaman—semuanya itu agaknya melebih-lebihkan apa yang disebut Nietzsche sebagai dorongan untuk bermain sebagai suatu bagian dari kehendak-untuk-kuasa.

Sebab, seperti yang dikatakan Michael Haar, bagi Nietzsche, dunia bukanlah sebuah “papan catur tanpa dasar”. Pelbagai daya yang hadir dalam khaos berlangsung dengan menopang dan mempertahankan manusia. Bagi Nietzsche, bahasa bukanlah cakrawala tanpa batas yang terus menerus tertunda garis batasnya. Menulis adalah suatu imitasi dari bicara. Memang, menulis bisa menyembuhkan bahasa dari cakap yang tanpa intensitas yang biasa disenangi orang banyak. Tapi pada dasarnya menulis hanya sebuah salinan pucat, dan sebab itu Nietzsche mengatakan: “Aku hanya suka apa yang ditulis dengan darah.”

Tidak selamanya bisa pas menang. Terutama karena “kata dibuat untuk gaya berat”, seperti yang dikatakan Zaratustra, dan hanya nyanyi, music, yang tidak berbohong pada dia yang “ringan”. Kata akan selalu dibebani makna, lagu bisa tak mengacuhkan hal itu.

Derrida bisa mengatakan bisa mengatakan bahwa justru dengan mengatakan hal itu, Nietzsche mengutamakan yang tanpa-beban-makna, yang tanpa harus terkait dengan petanda, yang mengingatkan, bahwa kebenaran adalah ilusi. Tapi bisakah sebenarnya kita mengatakan bahwa kebenaran adalah ilusi? Bukankah dengan mengutarakan kalimat itu, Nietzsche sebenarnya mengutarakan kebenaran?

Dalam bukunya, St. Sunardi cenderung mengatakan “ya”. Bagi Nietzsche, kata Sunardi, kriterium kebenaran berbeda dari yang dirumuskan Descartes. Kriterium kebenaran adalah “semakin tingginya kesadaran orang akan adanya kekuatan.” Ada yang memberi kesan dekatnya Nietzsche dengan pragmatisme disini. Pun ada yang, seperti yang dikemukan oleh Sunardi, bahkan bisa dibandingkan dengan Karl R Popper: bahwa suatu ucapan atau hipotesis bersifat ilmiah, kalau secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya. Bukankah, menurut Nietzsche, kebenaran bukanlah antithesis kekeliruan, melainkan, dalam hal-hal yang paling fundamental, hanya merupakan bentuk hubungan antara berbagai macam kekeliruan? Dengan kata lain, menurut kesimpulan Sunardi, baik Popper maupun Nietzsche memperingatkan “bahaya dogmatisme kebenaran”?

Dogmatisme: kemandegan. Maka barangkali tidak ada jeleknya kita teringat kembali bahwa Zaratustra adalah seorang penari, yang hanya mau percaya kepada Tuhan yang mengerti bagaimana menari. Kepada hidup, Zaratustra berkata: “Aku menari mengikutimu, kuturutkan kau bahkan ketika kulihat jejakmu yang paling lamat.” Kebenaran adalah Sesuatu yang didapat dari proses kreatif, tanpa dibebani pamrih, atau tanpa tujuan samping apapun; suatu proses kreatif yang menguntit hidup: itu juga sejenis “arah”, dan bisa jadi semacam “kepatuhan”, dan jangan-jangan “tanggung jawab” –setidaknya kepadasang Hidup. Saya kira, disini tampak bahwa Nietzsche memang hadir tidak untuk mengejutkan, tidak usah mengejutkan.

Senin, 13 September 2010

Negara Islam, No Way

Tulisan ini di muat di Tabloid identitas edisi Akhir Juni 2010

Pada suatu hari di bulan Mei 2010, sekelompok mahasiswa tampak serius berdiskusi. Di sekitarnya, terpampang atribut bendera dan spanduk bertuliskan huruf Arab. Saya yang terlambat datang tetap langsung bisa menebak, kelompok mana yang membikin kegiatan ini. Tema diskusinya, “Memaknai Hari Kebangkitan Nasional, 21 Mei”.

Saya tercengang, salah seorang pemateri berseloroh, maknailah Hari Kebangkitan Nasional sebagai tonggak awal perjuangan mengganti sistem Negara Indonesia. Saya tahu, pemateri itu tidak sedang bercanda. Sebab kelompok ini memang gencar mengusung jargon Negara Islam. Mereka memiliki tujuan mengganti sistem negara kita yang nasionalis dan demokratis dengan Negara Islam. Bagi mereka, demokrasi merupakan sistem kufur yang berasal dari Barat.

Tampaknya kini yang membebaskan atau yang menjerat adalah sebuah ide membentuk sebuah Negara Islam dan dengan itu segala ketimpangan sosial bisa ‘dilenyapkan’. Negara Islam itu, seperti yang digemborkan pendukungnya merupakan wasiat Tuhan yang harus diwujudkan. Jika tidak melakukannya, maka azab Tuhan niscaya datang bertubi-tubi.

Beberapa puluh tahun lalu, di negeri asalnya, Arab Saudi, para pendukung Negara Islam yang tergabung dalam gerakan Wahabi-Ikhwanul Muslimin bahkan tak segan membunuh dan mengecap kafir orang lain yang berbeda pemahaman. Mereka mengklaim bahwa mereka sepenuhnya memahami isi Al-quran. Olehnya, mereka berhak menjadi wakil Tuhan.

Ide pembentukan Negara Islam di negeri Indonesia bukanlah hal baru. Dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdatul Ulama (NU), salah satu organisasi keislaman terbesar di Indonesia harus berdiskusi panjang untuk sampai pada kesimpulan memperbolehkan pendirian negara bangsa. Bagi kaum muda NU, terbentuknya Negara Islam tidak serta-merta membentuk masyarakat yang islami pula. Masyarakat islami akan terwujud jika ummat menjalankan agama secara konsisten.

Baru-baru ini, adanya insiden penyerangan kapal bantuan kemanusiaan Mavy Marmara oleh tentara Zionis Israel semakin memperkuat justifikasi kelompok ini atas ide membentuk Negara Islam. Tengok saja aksi-aksi yang terjadi. Spanduk dan plakat bertulis, “Sistem Khilafah (baca: Negara Islam) solusinya.”

Tentu harus dicatat, keinginan mereka memperjuangkan islam itu tak salah. Namun, klaim yang menganggap Negara Islam sebagai satu-satunya pilihan dengan mencap sistem lain sebagai kufur atau buatan Barat tentu tak benar. Hal ini bisa menggiring islam dari agama menjadi ideologi. Pada akhirnya, islam menjadi dalih untuk membumi-hanguskan orang lain yang berbeda pemahaman dari mereka.

Agaknya, bayang-bayang totaliterianisme tak jauh dari islam yang mengagungkan perbedaan. Harapan Tuhan bahwa islam bisa menjadi rahmat bagi sekalian alam, bisa jadi isapan jempol belaka. Tetapi dibandingkan Timur-tengah, Indonesia masih lebih baik. Disini tak kita temukan ‘genosida’ yang mengatas-namakan mahzab-mahzab agama.

Abdurahman Wahid, salah seorang cendekiawan muslim tentu jauh hari telah menyadari kondisi ini. Ia terbukti getol melakukan counter wacana. Bahkan sampai mengeluarkan buku berjudul “Ilusi Negara Islam,” sebagai respon atas semakin mengguritanya kelompok ini di tengah masyarakat. Akhirnya mungkin sesekali kita harus menyadari, kita ini hanyalah makhluk biasa, yang tak berhak mengklaim kebenaran. Andai itu terjadi, tentu kita harus kritis bertanya: Tuhan kah saya? Tabik