Sabtu, 13 Desember 2008

Mari Pejamkan Mata

Belantara dunia yang luas seakan sempit oleh tangan-tangan keserakahan. Kemunafikan menyebar kemana-mana. Ketidak-adilan seolah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi. Pembantaian ummat manusia tidak lagi menampilkan pilu. Ketidak-adilan bermotif suku, ras dan agama terjadi seakan hanya salah satu suku tertentu yang punya legalitas mencerap ciptaan Tuhan. Kebebasan manusia dibatasi, atas nama agama dan tradisi yang mereka katakan adi-luhung itu. Sungguh, dunia ini semakin edan saja.

Sudah seminggu ini, rakyat palestina dibantai. Tidak ada suara tegas dari dunia, khususnya negara islam untuk menyuarakan gencatan senjata. Apalagi ikut terlibat membantunya. Puluhan rakyat tidak berdosa jadi korban. Anak-anak dan wanita tidak berdaya, berpasrah menerima nasib yang malang.


Tunggu: Akan ku lamar engkau dengan sekali onani

Tadi, aku malu bukan main?. Orang tuanya mengusirku tanpa perasaan. Harga diriku sebagai lelaki dan juga sebagai manusia terinjak-injak. Untung saja, hanya ada beberapa orang diruang tamu rumahnya yang megah. Diriku, kedua orang tuanya dan dua orang temanku.

***

Di momen bersejarah ini, dimana aku seorang lelaki yang miskin papa datang berniat melamarnya, seorang anak bangsawan kaya keturunan Bone, yang mengharuskan harta dan gelar sebagai syarat mutlak. Jangankan emas segempok, uang sepeser pun aku tidak punya. Hanya keberanian dan cinta yang ku andalkan. Lebih dari itu, aku tak memilikinya. Kalaupun ada, aku hanya mempunyai sperma. Beberapa kali ku katakan, aku ini bukan bangsawan, tidak berharta dan berpendidikan, namun ia tetap saja memaksaku meminangnya.

***

Dua tahun lalu, tepat tahun 2005 setelah menamatkan studi ditingkat SMA di daerah asal ku, Dompu NTB, aku nekat dengan uang 500 ribu, yang kuperoleh dengan menjual sawah sepetak satu-satunya yang diwariskan bapak sebelum meninggal berangkat mengadu nasib untuk kuliah menuju kota daeng Makassar. Dengan uang sekian, aku dituntut ekstra hemat membelanjakannya agar bisa sampai ke kota tujuan. Dalam hati, aku berharap semoga sesampai di kota angingmamiri mencari pekerjaan secepatnya demi memperoleh uang pendaftaran masuk universitas. Agak aneh memang, dengan modal uang yang semestinya habis di perjalanan aku kok berani berniat kuliah?. Bagiku, hidup ini bukan cuma uang, hidup butuh kenekatan dan kerja-keras, tidak sedikit orang yang tidak memiliki apapun mampu bangkit dan keluar dari penderitaan yang dialaminya. Aku ingat kata bapakku sebelum ia meninggal, "nak, uang bukalah segalanya uang itu cuma alat, yang utama itu kemauan dan kerja keras". Kata-kata tersebutlah yang terus memotivasiku dalam menjalani kehidupan.

***

Tepat pukul 14.00 wita kapal Tilongkabila jurusan Bima-Makassar yang kutumpangi merapat dipelabuhan Soekarno-Hatta. Kota tujuan telah ada depan mata. Namun, ketakutan menghantuiku, uang ku hanya tersisa Rp. 100.000,-. Perlahan aku menarik dompet ku yang telah usang dimakan usia. Mencari selembar kertas berisi alamat kampus yang aku peroleh dari tetangga yang dulu pernah bekerja sebagai cleaning servis di Unhas. Jl. Perintis Kemerdekaan IV km.10, begitulah nama alamatnya. Tanpa menunggu, aku langsung bertanya ke petugas pelabuhan yang kebetulan lewat di depanku. Dia menyarankanku menaiki becak menuju pasar sentral setelah itu menaiki mobil jurusan Daya. Walhasil, aku pun sampai di pintu 1 kampus unhas tamalanrea, aku sengaja meminta sopir menurunkanku disitu.

***

Sampai disitu, masalah belum kunjung selesai, justeru inilah awal dari cobaan yang akan datang bertubi-tubi. Yang kelak mengajarkan ku arti kehidupan sesungguhnya. Aku tidak tahu entah dimana aku berteduh malam ini. Sementara itu, perlahan namun pasti matahari masuk ke peraduannya untuk beristrahat sejenak menyongsong hari esok yang berarti malam segera tiba. Kala itu, aku bingung bukan main, kemana harus aku melangkah lagi, aku tidak memiliki teman apalagi saudara disini. Bermodal keberanian, aku menuju kampus, siapa tahu disana ada orang baik yang memberiku tempat menginap. Ditengah perjalanan, sekitar 20 meter dari pintu masuk aku melihat ada mesjid, dan terlintas dalam benakku untuk menginap disitu. Lega rasanya hari ini, paling tidak ada tempat untuk berteduh dari dingin dan hujan.

***

nyambung ntar ya?

Jumat, 12 Desember 2008

Izinkan Aku Menyetubuhimu

Semua berawal dua bulan lalu, aku menawarkan dirimu yang berada nan jauh disana untuk menemuiku. Bermula dari hasrat dan keinginan melepas rindu yang lama tertahan. Rasa yang tidak mampu ditepis dan butuh diaktualisasikan. Bertatap muka adalah obat terbaik untuk mengobatinya. Maka dari itu engkau rela membohongi semua orang, demi tercapainya sebuah pertemuan.

Kini waktu telah dekat, satu minggu lagi engkau akan berangkat dari NTB, demi cintamu yang tulus engkau rela menyebrang pulau, melewati lautan, menemuiku di kota angingmamiri. Dengan sedikit keraguan engkau mengungkapkan kepadaku mengenai perasaan mu yang sedang bergejolak: apakah aku tidak akan melampiaskan keberingasan ku di atas kelaminmu, merenggut keperawananmu. Sebagai lelaki, aku tidak ingin menampik semuanya. Aku manusia normal. Butuh seks, butuh kasih sayang. Namun, yang perlu engkau ketahui tanggung jawab bagiku segalanya.

Tidak bisa dipungkiri, kehadiranmu memberiku segudang kesempatan. Sesaat aku berpikir, terlalu picikkah aku yang coba memanfaakan kesempatan langka ini?, atau terlalu bodohkan aku yang tidak memfaatkannya. Bagiku, menyetubuhimu merupakan harapan besar, cita-cita utamaku. Maka izinkan aku dengan segala cintaku memintanya dengan hormat, bukan dengan paksaan dan gombalan, namun dengan cinta yang menggebu.

Menanti Cerah

Sudah setengah hari ini aku hanya berbaring malas di kamar. Hujan membuatku tidak berkutik menerjangnya sekadar keluar menuju kios, membeli krupuk ikan kesukaanku untuk sarapan. Padahal hari ini aku berniat menuntaskan tugas foto yang sudah tiga minggu ini tertunda (tugas penggodokan red). Belum lagi aku di sms redaktur untuk menjepret kegiatan pelatihan soff skill yang diadakan di lantai 1 rektorat. Apes banget hari ini, hujan telah membuat seabrek rencana kacau dan tertunda.

Hujan turun sedari pukul 00.00 belum menunjukkan tanda-tanda akan reda, malahan semakin deras saja. Membuat air selokan meluap sehingga menggenangi halaman rumah kos. Kekacauan kecil juga terjadi di dalam, tiba-tiba atap kembali bocor sehingga air turun membasahi kamar beberapa penghuni. Kok masih saja bocor, padahal baru-baru ini diperbaiki. "Mungkin pekerjaanya kurang profesional", ketus sarkawi salah seorang tetangga kamar. Benar saja, ternyata yang mengerjakannya adalah tukang batu yang sok berani mengambil alih tugas tukang kayu. Ini dibenarkan bapak kos.

Dunia ini telah ditata sedemikian rupa oleh Tuhan sehingga setiap makhluk yang ada dimuka bumi ini menjalani setiap hal menurut keahliannya. Sehingga dalam proses pengerjaannya berjalan maksimal, tidak serampangan dan asal jadi. Contoh konkritnya adalah kejadian diatas, tukang batu yang mengambil alih tugas tukang kayu. Bocornya atap cukup membuktikan bahwa pekerjaan tersebut membutuhkan keahlian. Boleh saja tanpa skill, itu hanya berlaku bagi pekerjaan tertentu saja. Semisal pekerjaan menyapu, mengepel dan melempar mangga.

nah, dengan adanya insiden di atas semoga membuat kita jera dan mau belajar dari pengalaman, untuk memperkerjakan orang sesuai keahliannya, setidaknya belajar meghargai profesi seseorang.


Kamis, 11 Desember 2008

Menjelang Pusing

sebentar lagi ujian semester. buku-buku berserakan diantara kasur dan bantal tidur. kertas-kertas berhamburan memenuhi kamarku yang pengap. kamarku yang biasanya lembab, kini tambah parah dengan adanya kertas dan buku berserakan. aku memang lagi malas. sudah tiga minggu belakangan aku tidak masuk kampus alias tidak kuliah. aku lebih menikmati rutunitas baruku diluar, keseharian yang selalu membuatku ceria. ya...beberapa bulan belakangan ini aku lebih aktif di organisasi ketimbang konsentrasi kuliah demi mengejar target selasai 2009 awal.

organisasi ini membuatku ekstase, lupa terhadap tugas utama ku untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu, seperti yang di idamkan banyak orang. aku akui, ia begitu menyenangkan. aku bergulat terus dengan pekerjaan ini, yang sebenarnya lebih tepat disebut hobi. beberapa mata kuliah aku anggap sudah positif tidak lulus. konsekuensi memang. tak apalah. sebagai manusia dewasa, yang tahu bahwa hidup merupakan pilihan, hal tersebut bukan masalah. toh aku menyukainya.

identitas, itulah nama organisasi yang sedang kugeluti sekarang. identitas adalah penerbitan kampus universitas hasanuddin, tempat aku menuntut ilmu sekarang. disini aku mengambil spesifikasi fotografer, sebuah tugas--yang sekali lagi membuatku ekstase. setiap hari aku mesti merekam semua peristiwa dalam jepretan, kita diharuskan lihai mengambil gambar sehingga hasil pemotretan seolah-olah hidup dan mampu bercerita. nah, bagi yang tidak berminat terhadapnya jangan pernah menganggap ini hobi, anggaplah ini pekerjaan berat. he...he...

minggu lalu, aku menyempatkan diri ke fakultasku. sebenarnya tidak niat kesana saat itu, tapi karena aku di telpon, ada ujian mendadak. eh...sampai di fakultas aku dikibulin. ujian yang rencananya dilaksanakan pukul 08.00 wita ditunda sampai dengan waktu yang tidak ditentukan. maksudnya sampai dosen punya kesempatan. tapi kalau-kalau dosennya mangkat?. gimana dong!. tapi tidak apa-apa toh aku belum siap. hore!!!!

yang pake jas merah and pegang daun mmmm....daun apa ya?

cape' deh!!!

enam sekawan (aku yang pake jas merah)

kenangan indah di suro-boyo. lagi-lagi jaket abu2!

itu, yang pake jaket abu2;gue tuh!!!

diriku;kedua dari kiri, yang pake jaket abu2

bersama kawan dalam satu kesempatan

Jumat, 07 November 2008

Halim-Jafar: Pilkada Tidak Berkualitas

Kemarin (29/10), bertempat di markas pemenangannya Jl.Sungai Tangka calon Walikota dan Wakil Walikota yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Halim Abd. Razak dan Jafar Sodding pada pukul 16.15 Wita mengadakan konferensi pers seusai mengetahui hasil perolehan sementara suara lewat metode real count yang dilakukan tim kampanyenya. Melalui ketua tim hukum dan advokasinya Ahmad Bascam, SH Halim-Jafar membeberkan upaya-upaya tidak sehat yang terjadi selama proses pemilihan kepala daerah (Pilkada). Halim-Jafar menilai pemilihan calon walikota dan wakil walikota makassar periode 2009-2014 tidak berkualitas dan jauh dari harapan. Misalnya ditemukannya indikasi money politik melalui oknum aparat pemerintah (Lurah, RW, dan RT) dan tim sukses guna mempengaruhi suara pemilih. Hal ini mereka buktikan dengan ditemukannya mobil tim sukses salah seorang kandidat yang berkeliaran pada malam hari sebelum pencoblosan, serta adanya sebagian besar masyarakat yang tidak mendapatkan hak pilihnya. “Anggota tim kami tadi malam melakukan penyisiran dan tepat pukul 03.00 dini hari kami menjumpai adanya mobil salah seorang kandidat yang membagi-bagikan uang”, ungkap Muzakkir, salah seorang tim pemenangan yang dimintai komentar sebelumnya.

Selain itu, rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilu yang tidak mencapai setengah dari jumlah pemilih sebagai akibat dari buruknya kinerja penyelenggra pemilu, mulai dari pendataan, sosialisasi, hingga pendistribusian surat pemberitahuan model C6 KWK serta kartu pemilih. Dampak dari itu semua menyebabkan perolehan suara tidak memenuhi target yang sebelumnya diprediksikan akan memperoleh 40% suara. “Kami melihat adanya upaya sistematis yang dilakukan salah satu kandidat sehingga partisipasi pemilih tidak lebih dari 50% yang berdampak langsung kepada hilangnya potensi suara ”, kata Halim menjawab pertanyaan wartawan saat ditanyai tanggapannya menyangkut penyebab rendahnya suara yang dia peroleh.

Lebih lanjut, Halim mengatakan potensi kehilangan suaranya sebesar 20% yang diakibatkan oleh tidak sehatnya proses pemilihan termasuk yang diakibatkan tidak adanya kartu pemilih bagi pendukungnya. “Tingkat partisipasi di Tamalate sebesar 48%, padahal disana merupakan basis kita,” ujarnya dengan kecewa.

Ahmad Bascam, SH selaku ketua tim hukum dan advokasi ditempat yang sama berjanji akan mengupayakan upaya hukum jika memang terbukti terdapat pelanggaran didalamnya. “Kita akan mengumpulkan saksi-saksi dulu baru kemudian melaporkannya ke panitia pengawas pilkada (PANWASDA), apabila hal ini memang benar kami akan menyelesaikan lewat jalur pidana”, katanya menjelaskan.

Minggu, 02 November 2008

Melawan perbedaan

Bayangkan tuan adalah seorang kristen.... Bayangkan dirimu di tengah komunitas luas yang berhasrat membunuhmu. Bayangkan juga dirimu termasuk kelompok lemah dan termarginalkan. Rasakan lewat imajinasimu betapa menyakitkannya ditindas. Selami kehidupan bangsa Palestina ataupun Bosnia. Bacalah riwayat kekejaman kaum Nazi terhadap kaum Yahudi. Lalu setelah engkau menikmatinya dan merasakan, adakah kengerian ataupun kebencian dihatimu?. Bilamana engkau kebetulan seorang muslim, bagaiman reaksimu melihat kaum mu ditindas dan dianiaya, misalkan saja di Palesina dan Irak ataupun Bosnia. Pastinya, engkau akan berkata: semoga laknat Tuhan terhadapnya. Nah, coba engkau selami sekarang, bagaimana rasanya punya posisi tertindas.

Pekan lalu, diwaktu mengantri makan di kantin asrama mahasiswa Unhas. Pada saat itu, jam menunjukkan pukul 12.00 siang. Waktu yang tepat bagi mahasiswa untuk menikmati makan siang. Ketika itu, saya bertemu teman kampus yang juga sedang ikut mengantri. Memang saat itu pembeli sedang ramai. Saya agak risih sebenarnya, tapi tidak apalah. Hal seperti ini harus dibiasakan di negeri kita.

Tidak beberapa lama, acara mengantri pun selesai. Kami mencari tempat duduk yang sekiranya pas untuk kami berdua. Kami duduk persis samping kulkas yang disimpan depan warung. “kenapa di FKM itu rasis,”? kata teman mengawali pembicaraan. Saya masih dingin menanggapi pernyataannya. Saya belum mengetahui apakah gerangan kejadian yang membuat dia berkata demikian. Karena terdorong rasa ingin tahu, sebagai bentuk rasa peduli saya terhadap FKM, saya pun menanyakannya. “maksud kamu apaan,”? ada apa di FKM?. Teman baik saya ini tampak terkejut. “kamu tidak tahu apa-apa”?, selama ini kamu kemana saja,” katanya kebingungan sambil meraba pelan jidat saya. “apaan sih”, kataku menampik tangannya.

Sejenak kami terdiam, sembari menikmati makan dengan lauk telur ditambah tempe goreng. sementara itu, piring dan sendok berbisik lembut dalam gayanya yang khas, ada sebagaian mahasiswa bercanda tawa. aku tidak tahu apa yang sedang mereka candai, yang jelas ada binar-binar kebahagiaan dimata mereka. khas ala mahasiswa unhas gitu lho!, kataku dalam hati.


"kemarin aku dapat kabar kalau di fakultas kita terjadi insiden kecil yang menyentuh wilayah yang tidak sepantasnya kita ungkit", gumamnya sambil mengunyah makanannya pelan. universitas seharusnya bisa lebih dewasa dalam menyikapi berbagai perbedaan. pun perbedaan yang menyangkut isu SARA (Suku, ras dan agama). perbedaan merupakan realitas yang tidak bisa kita tampik dalam menjalani kehidupan. perbedaan adalah kenyataan mutlak dalam kehidupan. namun sangat disayangkan apabila terjadi perilaku yang menciderai netralitas universitas yang mengatasnamakan SARA.

NTAR DILANJUTIN

Nb.masih nyambung

Rabu, 10 September 2008

Langit sore terlihat mendung, awan yang biasanya putih kini tampak hitam pekat dan tidak estetis dipandang mata. ia seolah seperti monster buas yang siap menerkam mangsanya. bintang-bintang yang mulai muncul perlahan menghilang dan menjauh meninggalkan cakrawala. satelit bumi bernama bulan juga tak kunjung menampakkan dirinya. sampai gelap menjelang pun, jangkrik-jangkrik yang biasanya bernyayi, berirama dalam harmoni alam, tak menunjukkan simpinonya. malam ini terasa sepi. Hiruk pikuk tetangga yang biasanya berteriak, bertegur sapa tidak terdengar. Gonggongan anjing-anjing meneriakkan takbir kebesaran Tuhan seolah hilang ditelan bumi.

tidak terasa, tiga tahun telah aku lewati di rantauan. bagiku, tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. apalagi sebelumnya aku tidak terbisa jauh dengan orang yang aku sayangi. merantau--menurutku--kalau bukan karena cita-cita, mungkin tidak akan pernah terjadi. namun, dibulan ini merupakan momen yang sangat aku Perasaanku kalut. Pikiranku kacau. Di pekarangan kost, dibawah pohon mangga aku duduk termenung sendirian. Pandanganku menengadah ke langit sana yang masih saja terlihat buram. Aku merenung sejenak, merefleksikan hari-hariku yang lalu.

Rabu, 27 Agustus 2008

nantilah diriku di penghujung mimpi

waktu terasa cepat berlalu. tidak terasa, dua bulan telah terlewati. pengalaman indah di kampung kini tinggal menjadi kenangan, yang kadang-kadang muncul dalam jeda rutinitas yang membosankan. ia hadir jelas dalam imajinasi. kerinduan akan menghadang, menerjang tatkala sendiri. rintikan air mata tiba-tiba keluar, sedih dan pilu tak tertahan. saat harus mengingatnya.

Senin, 26 Mei 2008

lagi, gak tau judulnya apa?

Langit terlihat monoton dan tidak estetis dipandang mata. Bintang-bintang entah kemana. Bulan tidak kunjung menampakkan dirinya. Jangkrik-jangkrik yang biasanya bernyayi, berirama dalam harmoni alam, tak menunjukkan simpinonya. Malam ini terasa sepi. Hiruk pikuk tetangga kost yang biasanya berteriak, bertegur sapa tidak terdengar. Gonggongan anjing-anjing meneriakkan takbir kebesaran Tuhan seolah hilang ditelan bumi. Perasaanku kalut. Pikiranku kacau. Di pekarangan kost, dibawah pohon mangga aku duduk termenung sendirian. Pandanganku menengadah ke langit sana yang masih saja terlihat buram. Aku merenung sejenak, merefleksikan hari-hariku yang lalu.

Aku tiba-tiba ingin sekali tertawa. Di batas imajinasi, berlalu lalang hantu pocong yang tidak lagi mengenakan kain kafan sebagai marka perbeda antara dia dengan manusia. Ia mengenakan pakaian ala anak punk. Hidungnya di tindik, rambutnya direbonding. Bibirnya merah mirip buah tomat apel yang ranum, mungkin bibirnya di polesi gincu paling mahal. Bukan cuma itu, celanya yang ia pakai pun terlihat kebotol-botolan. Bajunya kurang seperempat sampai pusarnya. Lubang kecil pusarnya itupun dibiarkan terbuka tertiup angin malam yang dinginnya tiada ampun. Pinggulnya, karena pengaruh pakeannya terlihat seperti gitar spanyol pecah. Sungguh menggelikan untuk di bayangkan lagi. Belum selesai aku tertawa, hati ini mengarahkanku untuk menitikkan air mata. Berteriak dan menangis sekuatnya. Apakah dunia ini demikian edannya sampai-sampai setan ikut-ikutan gaya modern. Iblis-iblis tenyata tidak bisa menghindar dan luput dari gempuran ideologi kapitalisme yang menindas. Iblis dan manusia tidak bisa dibedakan lagi sebab telah menyatu dalam satu kesamaan cultural. Kita tidak bisa membedakan lagi antara yang haq dan yang bakhil. Karena memang, yang haq dan yang bakhil itu tidak pernah sungguh-sungguh eksis. Yang benar-benar nyata itu hanya kehendak untuk kuasa. Tidak ada moralitas, tidak ada agama, tidak ada kebaikan, yang abadi hanya kehendak untuk kuasa.

Aku menangis sejadi-jadinya. Kenapa dunia ini demikian absurd?. Inginku berlari menjauh meninggalkan dunia yang ironi. Yang tidak lagi mampu membedakan antara bahagia dan sedih. Menangis dan tertawa. Apalah arti menangis?. Apakah arti tertawa. Kita tidak pernah mampu mengetahui esensi menangis dan tertawa. Kita latah. Tertawa karena kita melihat orang lain tertawa. Menangis saat orang lain juga menangis. Kita sebutir pasir di tengah gurun yang luas. Setetes air di padang tandus. Kita bukanlah apa-apa. Makhluk hasil rekayasa sejarah lewat wacana-wacana pengetahuan di universitas-universitas ternama, khotbah rahib agung di pusat-pusat peribadatan. Saatnya kita mendeklarasikan kematian. Kematian subjek yang selama ini suka membusungkan dada berbicara mengenai kebenaran. Yang suka mengklaim dan rela mati demi arogansi butanya. Tidakkah kita sadar, manusia telah mati.

Bernyanyilah wahai umat manusia. Lantunkan kidung kematian. Lakukan perlawanan terhadap segala bentuk kekuasaan. Rombaklah nilai-nilai yang ketinggalan zaman dan yang telah usang. Bila perlu merontalah sekuatmu. Melawanlah sampai batas kekuatan. Bila mulut tidak mampu di buka. Lidah telah kelu. Maka rayakanlah kekalahanmu. Sebab bagi zaman kita, kalah dan menang sekadar permainan bahasa. Tidak ada yang benar-benar menang atapun kalah. Lihatlah sekelilingmu, saat iblis dan malaikat berperang, berkonfrontasi atas nama kebaikan dan kejahatan. Ia memang tidak nampak, tapi selalu hadir dalam imajinasi kita. Dan disitulah ia berada. Berdiam dalam kotak khayalan manusia. Di tempat itulah dunianya. Pikiran kita merupakan Tuhannya. Tapi akhirnya mereka menari larut dalam kebahagiaan. Berbicara mesra sambil tertawa meratapi kobodohan serta kepongahan egonya, kemarin. Mereka kini adalah sahabat. Di titik inilah kesadaran tertinggi mereka. Evolusi keberadaanya telah mencapai puncak sehingga mereka, walaupun sadar berbeda, tapi perbedaanya bukanlah alasan untuk saling menyakiti. Dan itulah mengapa pada zaman ini kita mesti dengan rendah diri mengakui bahwa pusat telah tiada, atau paling tidak mempunyai aturan baku untuk mengklaim ini adalah pusat bagi yang lainnya. Tidak ada normal dan abnormal, baik dan jahat, wanita dan laki-laki, yang ada hanya kehendak untuk kuasa.

Aku akui, tulisanku terlalu membingungkan untuk dipahami. Terlalu abstrak bagi realita vulgar hari ini. Baik, aku akan berikan contoh kokrit tesisku. Beberapa minggu yang lalu, pada acara bedah buku menteri kesehatan St. Fadilah supari yang katanya kotroversial itu. Di rungan mewah fakultas kedokteran universitas hasanuddin. Kalau tidak salah ingat. Ruang lt.5. selagi membedah buku, seorang pemateri mengatakan untuk mengatasi dan mencegah tindakan atau perialaku tidak adil dalam mengelola alam yang tinggal menunggu waktu kehancuran. Harus di terapkan secara universal ideologi islam. Ideologi yang paling sahih. Paling mampu menghadapi tantangan zaman. Lalu yang jadi pertanyaanya, islam yang dimaksud islam yang mana?. Islamnya Hambali kah?. Syafi’i kah? Atau Hanafi?. Jelas bagi kita semua islam tidak satu. Islam itu banyak. Semenjak wafatnya baginda Muhammad SAW, tidak ada lagi seorang pun anak manusia yang representatif dalam menafsirkan aturan islam. Menafsirkan al-qur’an dan sunnah. Apakah sistem khalifah yang ditawarkan dan di gembar-gemborkan representatif dalam menghadapi tantangan zaman. Kalau memang itu representatif, otoritas apa yang melegitimasinya. Di titik terakhir kita akan menemukan, ternyata ini semua tidak lebih dari strategi kehendak untuk kuasa. Harusnya kita mulailah mencoba untuk keluar dari jargon pemahaman yang menyesatkan ini. Agar kita semua tidak terjebak pada usaha klaim kebenaran. Kebenaran wafat semenjak manusia juga wafat.

Masih saja—mohon aku tidak di cap kafir—kita umat islam bermain pada kesadaran simbolik. Kesadaran paling rendah. Tidak bisakah islam di dakwahkan tanpa menyebut nama islam, sebagai identitas. Identitas cenderung anarkis. Ia berputar di lingkaran setan egosentrisitas umat manusia. Kita mesti beranjak dan meninggalkan kesadaran naif ini untuk berhijrah menuju kesadaran akan cinta. Cinta tidak mensyaratkan identitas. Tidak mengharuskan persamaan. Karena dengan perbedaan keindahan itu dapat dirayakan.

Maka inilah yang di kritik oleh si filosof godam Nietsche. Mendeklarasikan kematian rasionaliatas. Rasionaliatas ala aristotelian-newtonian yang reduksionis-instrumentalis. Logika binerian yang hirarkis serta dominatif. Manusia mencipta berhala bagi dirinya sebagaimana disabdakannya dalam otobiografinya yang mengasikkan untuk dibaca “ecce homo”.

Realitas telah di rampas nilainya, makananya, kejujurannya hingga ketingkat yang sama seperti dunia isdeal yang telah dipalsukan

selesaikan semuanya, bangkit dan mulailah belajar!!!

Selasa, 15 April 2008

Kurenungkan hari ini

Aku tak memiliki arti, kehadiranku bukanlah angan yang pernah engkau impikan. Aku tahu, cinta itu tidak pernah hadir dari ruang yang hampa, selalu ada awal. Tidak seperti orang bijak berujar, “pada suatu titik sesuatu itu berasal dari ketiadaan”. Tapi kau tahu, kita bukanlah titik itu, kita lah dunianya. Selalu ada awal bagi hubungan kita. Namun, pernahkan kau bertanya, adakah diriku keawalan itu?. Jawabannya tidak!. Aku bukanlah al-awwal, aku mungkin al-akhir! Atau akulah ketidak-jelasannya.

Engkau tahu, pikiran ini, perasaan ku, kebingungan akan kejelasan esok. Ketersiksaan eksistensial yang diliputi pertanyaan bodoh “adakah engkau mencintaiku?”. Kejelasan macam apa yang bisa menjadikanku yakin!. Percaya terhadap komitmenmu!. Cintamu!.

Kobodohanku memang, atau inilah realitasnya?. Dunia terlampau absurd bagi suatu kejelasan, tidak ada yang betul-betul mampu mencapai kebenarannya!. Bahkan rahib agung sekalipun!. Yang nyata hanya hari ini, esok itu absurd, tidak jelas, membingungkan! Dan keberadaan waktu justeru semakin mempertegasnya!.

Minggu, 06 April 2008

KAU HADIR DARI KETIADAAN, SAYANG!

Tidak meyakini kesempurnaan cinta, apatis terhadap bunga-bunga perasaan yang disemai Tuhan lewat special relation. Kehampaan makna bisa diatasi dengan buku dan aktivitas, “kataku suatu saat”. Dengan begitu kita hidup dalam sebuah ekstase rutinitas, berusaha keluar dari jargon cinta yang tak produktif. Asumsi-asumsi yang membuatku terus bertahan dalam kesendirian sampai beberapa tahun belakangan. Ironisnya, asumsi tersebut kemudian dipraksiskan dalam sikapku sehari-hari, dengan menolak sama sekali benih-benih cinta yang kadang tumbuh. Bahkan aku beranggapan cinta tidak lain merupakan bentuk paling halus dari nafsu kelamin. Cinta murni itu tidak ada, itu omong kosong yang mesti dibuang di keranjang sampah. Menikahpun tidak lebih dari kegiatan prostitusi yang dilegalkan. Pikiran ini terlalu picik untuk kenyataan, seolah-olah keluar dari konteks ruang dan waktu yang melingkupi, mencoba menutup segala kemungkinan yang terjadi dan terkesan memutlakkan asumsi dalam teoritisasi yang universal. Oh … Alangkah piciknya aku saat itu !!!

Kini dunia memperhadapkanku pada suatu realita yang sulit kuterima. Pilihan yang membingungkan. Cintakah? Atau Kesendiriankah?. Omong-kosongkah itu cinta, realitiskah itu kesendirian? Ataukah—seperti tulisanku terdahulu—kita hanya kecewa dengan kenyataan. Sampai-sampai mengkonstruk asumsi ini sebegitu jauhnya. Apakah cinta memang inherent dengan nafsu, apakah memisahkan nafsu dari cinta justeru mengindikasikan pemikiran yang reduksionis, seperti diktum Rene Descartes, Cogito Ergo Sum. Aku berpikir maka aku ada. Yang memisahkan antara pikiran dan tubuhnya. Bisakah manusia berpikir tanpa tubuh?. Otak maksudnya!

Kehadiran dikau menggugurkan asumsiku. Meruntuhkan semua bangunan pemahamanku tentang cinta dan kasih sayang. Engkau seolah datang dari ketiadaan, dalam kemisteriusan sebagai juru selamat atas kesesatan jalanku. Kesempurnaanmu, dimataku, mengantarkan aku dari keterpenjaraan mendobrak dari pikiran sempit hakikat cinta. Engkau setara dengan Jesus Kristus bagi umat nasrani, dan Budha Gautama bagi agama Hindu. Engkaulah penyelamat bagiku!

Dulu, yang ku pahami cinta adalah seks, penguasaan, dan egoisitas. Cinta bagiku hanyalah bersifat keduniawian semata, oleh karena itu aku menolak cinta. Tapi itu dulu, hari ini aku ingin berteriak mendeklarasikan kepada dunia, “Aku salah!”. Cinta itu luas, tidak ada definisi atau konsep baku. Membakukan definisi cinta berarti meng-Universalkan hakikatnya bagi setiap insan penikmat cinta dan bukan pemujanya.

Sayang, sengaja kutorehkan pikiranku disini agar dikau membacanya, menghayatinya, menginterpretasinya sepuas mungkin tanpa harus takut akan kesalahan penafsiran. Kubebaskan dikau menafsirkannya menurut versimu. Memaksamu menafsirkan sepertiku sama artinya dengan menyuruhmu tunduk terhadapku. Aku tidak mau hal itu terjadi. Bukankah bahasa sangkar ada?. Kebenarannya terikat ruang dan waktu dan tidak mengherankan kalau Plato mengatakan “Kata-kata tidak akan pernah bisa dan mampu mewakili pikiran dan perasaanku”. Kata-kata itu lemah untuk sebuah kenyataan.

Apabila engkau telah membacanya, kusarankan engkau berpikir sejenak, sehari ataupun dua hari. Menghayati dan merefleksikan kembali dirimu. Apakah kehadiranku menjadi berhala baru bagimu. Aku tidak menginginkan itu terjadi. Aku terlalu naïf untuk kau kultuskan. Aku bukan Sang Hyang Widi. Tidak pantas bagiku dalam pikiran dan perasaanmu duduk setara dengan sang penguasa Ada, Ada yang tidak diadakan, ada yang berdiri sendiri, yang mutlak, kreatif dan tanpa definisi. Kuharapkan cintailah diriku sesuai porsi yang seharusnya, tidak berlebihan. Yang berlebihan itu tidak baik!. Cobalah tidak mencintai sepenuh hatimu, aku makhluk yang sewaktu-waktu bisa lenyap, menghilang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Aku adalah kemisteriusan, dan engkau kemisteriusan juga bagiku. Kita sama-sama adaan, sama dengan lemari, kursi, panci, dll. Cuma kita punya kelebihan, sedikit. Yang bisa mempertanyakan masa lalu, mempermasalahkan keberadaannya, serta menyangsikan adakah diriku?. Tentu, kau janganlah sombong dengan predikatmu, tanpa palu, rumah, atau karena engkau anak……..tanpa rumah sakit, tanpa pulpen, tanpa adanya anak-anak kekurangan gizi, maka jelas tidak akan pernah ada dirimu. Seorang mahasiswi Gizi.


untuk LuphieQuw

BINGUNG MAU KASIH JUDULNYA APA?

Baiknya, semua kritik, apapun sifatnya entah positif atau negative semestinya ditanggapi secara bijak, bukan malah sebaliknya. Sebagai ajang debat kusir yang tiada henti di mading-mading universitas dan fakultas, atau di forum-forum diskusi. Sementara realitas sosial yang terjadi terabaikan tanpa diperhatikan. Dan, sudah selayaknya kita sebagai mahasiswa pengemban tugas berat yang termaktub dalam tiga fungsi mahasiswa, agent of a change, moral force dan sosial control. Meskipun ketiga hal tersebut masih layak diperdebatkan. Benarkah mahasiswa sebagai agent of a change, moral force dan sosial control?. Agaknya butuh tempat tersendiri membahasnya, disini kita terkendala ruang dan takutnya melenceng dari tujuan awal tulisan.

Beberapa minggu yang lalu terjadi peristiwa besar menggemparkan seantero Sulawesi khususnya Makassar. Kematian seorang Ibu beserta anaknya, daeng besse sungguh ironis untuk didengarkan ditengah daerah yang terkenal dengan lumbung padinya, sebab kematian mereka didiagnosis akibat kelaparan dan menderita gizi buruk.

UNHAS? TANGGUNG-JAWABNYA MANA?

Kita semua pasti mengetahui—yang tidak tahu keterlaluan—bahwa unhas merupakan universitas wilayah Indonesia timur yang paling disegani, baik karena predikat universitas terbesar di wilayahnya maupun karena banyak dosennya yang menyandang gelar professor. Saya tidak ingin memasukkan data-datanya disini, pembaca bisa baca di buku panduan universitas maupun media penyaluran sifat narsistiknya. Ada banyak, silakan berusaha. Lagian pokok bahasan kita bukan menyangkut melubernya dosen yang bergelar professor namun miskin karya. Mungkin hanya simbolitas saja kali. Atau seperti bahasa teman saya, professor karena pangkat. Disini saya coba mengetengahkan pembahasan menyangkut unhas khususnya medical compleks, khususnya lagi fkm dan yang paling khususnya jurusan gizi dalam menghadapi atau merespon isu kesehatan terkini serta tindakan yang dilakukan secara konkrit, bukan konsep atau wacana yang dimuat di Koran-koran dengan tendensi simpati dan empati palsu. Bahasa ekstrimnya cari muka.

Dunia tidak butuh bahasa-bahasa apologi, apalagi opini kosong tanpa aksi. Saat ini kita semua butuh langkah konkrit pemecahan masalah bangsa yang makin kompleks. Pun menyangkut gizi buruk yang kembali mecuat ke permukaan setelah di bombardir media lewat wacana lambannya kinerja pemerintah. Hal ini juga diperparah oleh sikap mahasiswa yang terkesan apatis. Cenderung lari dari kenyataan, malah asyik-masyuk dengan ritual aneh yang bernama Mubes serta wisata angkatan. Padahal dunia tempatnya bernaung membutuhkan uluran tangannya sebagai agen perubah (agent of a change).

Fenomena ini bisa kita lacak, beberapa minggu yang lalu jurusan Kesling adakan Mubes, AKK, dan kemarin (4/4/08) jurusan gizi melakukan wisata ke bili-bili, bersamaan dengan angkatan 2005 yang berwisata ke pangkep. Belum lagi BEM FKM yang dingin-dingin, lebih antusias mengurus dies natalies keluarga mahasiswanya ketimbang turun kejalan mengadvokasi kebijakan penguasa, ini menjadi sesuatu yang urgen mengingat tipikal birokrat kita seolah-olah mengalami ketidak-normalan pendengaran, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tapi belakangan saya lihat mereka (bem,red) berencana mengadakan seminar. Semoga seminar tersebut bukan sekadar formalitas belaka supaya tidak dibilang tidak ada kerjaan. Biasa latah organisasi!.

SOLUSI!

Sulawesi adalah salah satu lumbung padi nasional Negara kita, jadi tidak ada alasan menganggap kejadian besse sebagai akibat kekurangan pangan. Nah, kalau begitu yang bermasalah apanya?. Pemerintahkah?. Atau bukan. Saya kira pemerintah itu sesuatu yang abstrak, sama misalnya masyarakat. Yang otentik individu-individu, bukankah masyarakat hanya akumulatif dari individu-individu?. Lalu siapa yang perlu disalahkan atau yang perlu bertanggung-jawab?. Jelas, yang paling berhak bertanggung-jawab atas problema ini kepala pemerintahan, presiden, gubernur, bupati/walikota serta jajaran terkait. Mereka, agen-agen kaum kapitalis serakah. Dalam artian hanya mewakili kepentingan kaum borjuasi dan mendiskreditkan proletariat. Ada kepentingan sistem yang bersifat laten dibaliknya. Itupun kalau indikasinya benar. Tapi semuanya bisa kita lacak saat pemilu, baik pemilu presiden, gubernur, maupun walikota/bupati. Begitu banyak dana dihamburkan hanya untuk kegiatan kampanye saja. Yang menjadi pertanyaan kita semua dana tersebut berasal dari mana?. Jelas disini, dana tersebut pasti berasal dari pemodal dengan janji memberi akses bagi pengembangan usahanya.

Intelektual dibagi dua, intelektual organic dan intelektual tradisional. Intelektual organic adalah kaum yang berani mempertanyakan secara kritis fenomena yang terjadi dilingkungannya dan berani memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Sedangkan intelektual tradisional dia tahu dan paham dengan fenomenanya namun tidak berani kritis. Saya menduga inilah intelektual pesimis.

Dari pembagian tersebut, kita sebagai mahasiswa harusnya berada dalam lingkup intelektual yang kedua. Intelektual organic. Oleh karenanya kita mesti secara total memperjuangkan segala ketimpangan yang terjadi dengan tidak lagi mengandalkan gerakan yang berbasiskan moral tapi mesti menaikkan kesadaran ke gerakan politik. Permasalahan bangsa kita adalah masalah sistem, sistem yang tidak mewakili kepentingan umum. Sistem kapitalis dengan agenda neo-liberalisme nya disegala bidang, termasuk yang marak terjadi akhir-akhir ini, wacana liberalisasi pendidikan. Mestinya kita terjun dalam politik, mengintervensi pemilu, merebut parlementer dari kaum pro-kapitalistik. Lalu membuat agenda nasional:

a. Nasionalisai perusahaan tambang untuk pendidikan dan kesehatan gratis

b. Meghapus utang luar negeri atau memohon memotarium (menunda pembayaran utang sampai waktu yang tidak ditentukan, sampai bangsa kita mampu membayarnya)

c. Sita harta koruptor

Dari solusi diatas, perlu diketahui bukanlah mutlak benar bagi pemecahan masalah keummatan. Ini bentuk lain solusi yang coba ditawarkan dalam mengadapi konteks zaman. Wacana dan diskusi harusnya digalakkan, rasionalitas komunikatif ala jurgen habermas dan tidak bersifat semu dan procedural semata. Bukan rasionalitas instrumentalis yang reduksionis-atomistik ala Cartesian-newtonian. Logika binerian Aristotelian yang memisahkan objek-subjek.

MAKASSAR--BUAT LuphieQuw

Jumat, 21 Maret 2008

SEKELUMIT PERJALANAN HIDUP

(ada spirit revolusi dalam setiap momen hidup)


Setelah ujian berakhir, aku langsung disuruh orang tuaku ke Makassar. Kebetulan ada kapal. Padahal aku sedianya berniat ke jawa, ke jokjakarta, kota pelajar. Kapal besar berwarna kuning gading mengantarku berlabuh dipulau daeng. Agak asing perasaanku menginjakkan kaki disini.

Hampir sebulan aku di Makassar, menunggu pembukaan pendaftaran SPMB. Waktu sebanyak itu aku manfaatkan untuk ikut bimbingan belajar sebagaimana yang di intruksikan orang tua yang mulia. ”Ya…sekalian isi waktu luang bisikku”. Bimbel, sesudah satu bulan aku jalani ternyata tidak seperti yang diopinikan orang kebanyakan. Katanya, ikut bimbel diajarkan cara-cara jitu memecahkan soal. Tapi apa yang aku dapatkan, bimbel hanya mengajarkanku cara cepat yang sebenarnya tidak masuk dalam akal sehatku. “Dasar wong deso kataku dalam hati”. Susah beradaptasi dengan pola-pola praktis orang kota. Aku sedari sekolah dasar diajarkan mengerjakan soal selalu berdasarkan prosedur yang biasa dan umum. maklumlah.

Esok, sebulan penuh aku di Makassar, tepat 30 hari aku mendiami pulau orang yang terkenal dengan kerasnya budaya dan tabiatnya ini. Pagi-pagi aku bangun dari tidurku, langsung lekas mandi cepat-cepat, sebelumnya aku mencuci baju yang tertumpuk banyak dikamar. Dengan status kamar tumpangan, agak malu juga rasanya sama yang empunya. Kebiasaan lama dikampung terbawa juga kesini. Kebiasaan jelek yang selalu membiarkan baju menumpuk berminggu-minggu diatas keranjang merah tempat baju kotorku. Aku tidak menyucinya sebelum ibuku marah-marah sambil mengancam memotong uang saku ku. Sikap ku seperti anak kecil.

Diluar, aku diteriaki sepupuku. “cepat ko mandi cezt, nanti ketinggalan ujian, jam delapan itu mulai ujian SPMB”, teriaknya dengan logatnya yang khas Makassar. Aku kalang kabut jadinya, terbangun dari khayalan indah masa silam. Buru-buru aku mandi dan membilas pakaian. Akhirnya selesai juga kataku saat keluar wc.

Hari itu, aku memakai kameja hitam polos bermotifkan linking park, grup band ternama yang aku beli kemaren sore. Itu baju pertama aku beli semenjak berada di sini. Yang nantinya menjadi baju bersejarah dalam perjalanan hidupku. Aku tidak lupa menyetrikanya, aku tidak terbiasa memakai baju acak-acakan, walaupun bajunya masih rapi. Tapi perasaanku tidak enak aja. Emang benar kata orang, perasaan lebih mendominasi dari pada kebenaran. Perasaan lebih kuat mempengaruhi pilihan seseorang dari pada kenyataan yang terjadi. Baju ku tidak perlu disetrika, sebenarnya. Tapi kedepannya, entah aku tidak tahu apa yang terjadi apakah aku masih bisa bertahan dengan perasaan seperti ini atau tidak. Lingkungan mahasiswa tidak selalu mengajarkan kita untuk berpenampilan rapi ala eksekutif. Terpengaruh kaum capital katanya. Yang aku sendiri bingung, apakah kaum capitalis pernah mendeklarasikan dirinya dengan gaya seperti tadi. Mahasiswa terlalu phobi dengan capitalis sampai-sampai penampilan pun mereka lawan. Ataukah dunia ini pertarungan symbol?. Makanya kita harus melawan dengan symbol juga. Lawan dan lawan!!!

Aku keluar dari kost yang berukuran 5x5 itu, terlebih dahulu aku berdoa, semoga hari ini aku dapat meraih mimpiku, mimpi anak desa yang termarjinalkan. Pagi itu aku berjalan menunduk melintasi gang-gang kecil. Sesekali aku melihat tikus-tikus got, aku kaget bukan main. Tikus-tikus itu besarnya mirip kucing kesayanganku dikampung. Ah…mungkin mitos superioritas kucing terhadap tikus akan terbantahkan melihat kenyataan yang aku lihat. Aku hampir tidak bisa berbuat apa-apa. Ketakjubanku membuatku diam seribu bahasa. Sekaligus menertawakan diri yang kampungan.

Sesampai ditempat ujian, aku langsung masuk ruangan. Kemaren sore, sehabis nge-mall aku mengeceknya bersama sepupu ku. Kak linda, kak sri dan kak bia. Terimakasih banyak buat kalian, aku akan selalu mengingat jasa-jasamu. Mengingat saat kita bercanda sambil makan bersama dalam susahnya merantau. Mencari sedikit titik terang bagi nasib kita. Kaum-kaum termarjinalkan.

Aku memandangi sekeliling ruangan, melihat rona-rona wajah baru yang kelihatan sombong dan angkuh. Ada pula yang terlihat diam dan menunduk. Mungkin mereka dari kampung. Orang kampung biasanya begitu, berpenampilan norak dan kelihatan tidak percaya diri. Lama aku terbang melayang jauh melintasi batas kedirianku, memasuki relung-relung lorong gelap imaji. Sesekali aku menghayalkan diriku kelak bisa seperti mereka. Orang kota.

“tolong tasnya disimpan didepan, yang boleh ada dimeja hanya pensil, penghapus, dan penggaris. Bagi yang memilki Hp diharapkan menitip ke pengawas”. Ketus pengawas ujian kami. Lalu aku mengeluarkan tasku dalam laci meja, kemudian berlari kecil menyimpannya didepan. Disamping pengawas yang kelihatan sangar. Aku jelas belum punya Hp saat itu. He…he…maklum dari kampung.

Hampir 120 menit aku berkutat dengan soal yang super sulit, bagi kami orang kampung yang jauh dari akses informasi. Praktis soal-soalnya sulitnya minta ampun. Seumur hidupku belum pernah diperhadapkan pada soal seperti ini. Ternyata perbedaan antara kota dan desa bukan cuma pada gedung-gedung menjulang tapi juga akses buku-buku dan pengetahuan. Aku jadi perpikir, kenapa pemerintah tidak adil dalam hal ini, orang desa sekali lagi selalu dimarjinalkan. Dianggap warga Negara kelas dua. Atau kami dianggap bukan warga Negara?. Kenapa dunia begitu tidak adil, haruskah perbedaan kota dan desa menjadikan kita bodoh?. Tidak memperoleh kesetaraan akses pendidikan. Realitas yang menjadikanku pesimis. Akankah aku berhasil lulus nanti?.

Dalam teriknya matahari siang yang tak hentinya memancarkan cahayanya kesegala penjuru dunia. Dia seolah tidak pernah lelah dan bosan menjalani rutinitas yang monoton. Menyinari dunia merupakan tugas abadinya sampai ia sendiri luluh bersamanya. Bersama makhluk sombong dan serakah sekaligus bodoh bernama manusia. Terlalu banyak sejarah menceritakan semuanya. Sejarah tentang penyembahan matahari oleh manusia. Imaji manusia berani melampaui dirinya sendiri. Hewan-hewan kurban berserakan diantara bangunan candi dan altar-altar pemujaan. Kesucian kebenaran dicampur-adukkan dengan pikiran manusia lewat jargon klaim intelektulitas. Rasio mampu mencapai kebenaran hakiki ungkap filsuf. Akhirnya, begitu banyak klaim-klaim kebenaran oleh beberapa golongan atau kelompok. Sepertinya mereka ingin menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri. Simbol-simbol pun dipuja melebihi nilainya. Keberagaman diperkosa lewat bahasa dan kesejahteraan manusia. Makna dan nilai dikesampingkan. Adakah hal yang bisa menyatukan kita selain nilai-nilai universal?. Bukan berdasarkan symbol semata.

Aku termenung sejenak merefleksikan kembali hari yang telah lampau. Hari-hari yang penuh keceriaan dan ketenangan. Aku ingat saat padi mulai menguning, kami berlomba-lomba seusai sekolah pergi kesawah membantu orang tua kami menjaga padi dari serangan burung pipit. Kami biasanya membuat perangkap untuknya, menangkap dan menjadikan kawan bermain yang menyenangkan. Bila matahari telah masuk keperaduannya, kami anak-anak petani berlari ceria diatas pematang sawah sambil berteriak memanggil teman-teman mengajak pulang bersama. Nanti malam kami mengerjakan tugas sekolah dan mengaji bersama. Sungguh indahnya.

Kini aku tidak bisa menikmati hari indah lagi, mimpi-mimpi mengharuskan aku jauh dari realitas hidupku. Disini aku hanya bisa bernyanyi mengenang masa kecilku, dengan menyanyi aku bisa merasakannya kembali. Menjauh dari rasa alienasi yang menyakitkan.



Di sini negeri kami

Tempat padi terhampar

Samudera kaya raya

Tanah kami subur Tuhan

Dinegeri permai ini

Berjuta rakyat bersimbah luka

Anak kurus tak sekolah

Pemuda desa tak kerja

Mereka dirampas haknya

Tergusur dan lapar

Bunda relakan darah juang kami

Tuk membebaskan rakyat

Mereka dirampas haknya

Tergusur dan lapar

Bunda relakan darah juang kami

Padamu kami berjanji

(lagu pembebasan)

Haruskah menyembah kebodohan kami lagi Tuhan?. Kembali menjalankan ritus-ritus aneh. Jauh dari gemerlapnya dunia.


Bersambung…………

Rabu, 12 Maret 2008

DOSENKU MULTILEVERs

Sorot matanya lemah, suaranya pelan tanpa gairah. Kehidupan yang keras menjadikan rambut tebalnya putih sebelum waktunya. "aku banyak mengikuti MULTI LEVEL MARKETING tapi tidak pernah kaya?". ujarnya diakhir promosi singkatnya sehabis kuliah. lalu kami menertawainya. Dosen yang payah, ketusku dalam hati. Ternyata predikat sebagai intelektual tidak bisa menjadikannya bijak memaknai dunia. Begitu hebat gempuran iklan yang memaksa imaji tidak bisa tenang dan menerima hidup apa adanya. Perang yang tak pernah menemukan titik akhirnya.

Menertawakannya bukanlah pilihan yang tepat, tidak ada riuh tawa untuk sebuah tragedi. Aku terdiam saja, tenang mendengar oceh tangis kehidupan. Kekejaman dunia memaksa ia tanpa malu menjual otaknya demi harta dan materi. Kaum intelektual benar-benar kehilangan akal sehatnya, pikirannya tentang pengetahuan telah dimodifikasi menjadi pikiran materil semata. Banyak kali aku mendengar dosen terlibat MLM (multi level marketing). Aku sedikit sanksi dengan itu, terus terang. Dan tidak akan mempermasalahkannya sepanjang tidak keluar dari jalur yang ditetapkan bersama. Bukankah dunia ini adalah konsensus?. Sekali lagi hatiku miris, inginku menangis dan berteriak pada dunia. Kenapa engkau begitu kejam?. Ia seorang dosen, dosen tidak pernah diajarkan untuk pamrih. Pahlawan tanpa jasa slogannya.

Aku masih saja terdiam, walaupun desakan nurani memberontak terhadap perilaku dosen begitu menggebu. Berdiam boleh jadi pilihan terbaik menurutku untuk suasana seperti ini. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkannya. Ada realitas yang harus dipertanyakan. Sejahterakah dosen ataupun guru hari ini?. Ia tidak salah pada wilayah itu, ia hanya terpaksa. Tidak ada cara lain. Mungkin hanya itu yang bisa dia lakukan ditengah keterbatasannya. Ia tahu ada tanggung jawab yang dia pikul. Dia rapuh oleh kerasnya arus kehidupan. Tidak ada lagi harga diri, toh harga diri bisa dibeli. Nanti bila kaya!.

Kaya. selalu menjadi modus utama dunia sekarang. Kaya yang dahulunya bermakna luas kini dipersempit oleh pengertian yang mngacu ke hal yang bersifat materil. Orang tidak butuh kaya hati, kaya nurani. Orang hanya peduli kaya materi. Kaya hati, kaya materi bisa dibeli. Bisakah?.

Dosenku multilevers, ia menjajakan dagangannya di ruang-ruang kuliah. Diatas topeng-topeng intelektualitas. Ia sekaligus menjajakan harga dirinya. Kampus seharusnya bukan tempat untuk bertransaksi bisnis, walaupun tidak salah. Jam kuliah jangan dipotong demi promosi MLM. "Baiklah sekarang kalian mau jadi apa?". Jadi kaya teriak teman-temanku. Kaya lagi-kaya lagi. Tiadak adakah pilihan selain itu?. Begitu sempitklah dunia ini?. Kenapa orang mengidentikkan kata kaya dengan materi semata?.

Oh...ingin kumaki dirimu. Dosenku. Enyahlah engkau dari lorong-lorong kehidupanmu. Sekarang lari dan kejarlah impianmu itu. Duniamu terlalu jauh bagi kami, orang-orang idealis.

Memang, tidak ada yang bisa memungkiri kenyataan hidup yang engkau jalani. Engkau selalu bercerita pada kami disela-sela waktu mengajarmu, dan bukan hanya engkau. Engkau menceritakan tentang istri dan anakmu yang ingin beli ini beli itu. Sementara gajimu hanya cukup membiayai hidup sebulan. " kenapa istriku mengidentikkan kaya dengan materi". Kami tahu engkau tersiksa. Istri dan anakmu mendesak meminta tanggung-jawabmu. "Pa...kapan kita punya mobil?". Jadilah engaku mengkreditnya dengan memotong gaji yang pas-pasan. Untung tidak ada ruang untuk korupsi. terlalu banyak badan-badan pemberantas korupsi.

Pak...!!! kami paham dan sangat memahami. Slogan pahlawan tanpa jasa masih berdengung. untuk provesimu. Padahal dunia yang engkau alami tidak pernah mau menukar jasamu dengan honda jazz kesukaan anak dan istrimu. Kesukaan orang kebanyakan. Sangat tidak adil.

Slogannya perlu dipertanyakan sekarang. Berteriaklah dan tuntut hak-hakmu. Upah yang memadai untukmu. Buatlah revolusi besar-besaran. Bukan cuma petani yang perlu revolusi, tapi juga kalian. Pekerja-pekerja kere. Bila perlu buat partai sendiri ataupun kalau mau negara sendiri yang menghargai dirimu bukan dengan slogan. Pilihlah pemimpin dari kalanganmu agar kelak dia bijak dan mau memperhatikan engkau. Kami pasti mendukung, Pak!!!

Aku jadi teringat bapakku. Ia seorang guru. Aku jadi teringat saat diriku meminta kiriman uang tiap bulannya, sementara gajinya sudah tidak ada. Gajinya dipotong pinjamannya di Bank. Aku menitikkan air mataku, selama ini uang yang dikirimkan dari mana?. Apakah ia mencuri atau korupsi?. Setahuku ia tidak punya penghasilan lain. Atau mungkin ia hutang sana-hutang sini. Seberapa banyak hutangnya?. Aku malu memikirkannya, apalagi mendengarkannya bercerita. Dan memang ia tidak pernah mau bercerita. Apalagi bekeluh-kesah. Ia tida pernah jujur saat aku tanya, uang ini dari mana papa?. Ia bungkam. Mungkin ia malu padaku. Ia hanya menjawab " tidak usah dipikirkan kamu kuliah saja, cepet-cepat selesai". Kata itu biasa terucap saat mengakhiri pembicaraan dan menutup teleponnya. (makassar, 13 maret 2008. saat kuliah metodologi).

MENERIAKKAN DUNIA

Dimana kita mau bertanya,
Sedangkan orang-orang pada apatis
Pasif dan pasrah menerima kenyataan
Pesimisme bagai hantu gentayangan
Membayangi jejak langkah dan pikitran manusia

OH...optimisme yang hilang
Cepat datang rebut pikiran manusia
Kembalikan seperti masa renaisans
Cambukkan cemeti imajimu
Balikkan kembali seperti masa Marduk dan Tiamat
Berperang.............lah
Gairah memabra dalam dialektika tak berbatas

cinta...oh cinta

Engkau ratu hatiku yang tersimpan di lubuk hatiku yang terdalam, dalam kepenuhan pikiranku, di sana ... ilahi yang tak dikenal! Oh, dapatkah aku sungguh-sungguh mempercayai dongeng-dongeng si penyair, bahwa ketika seseorang melihat sebuah obyek cintanya, ia membayangkan bahwa ia sudah pernah melihatnya dahulu kala, bahwa semua cinta seperti halnya semua pengetahuan adalah kenangan semata, bahwa cinta pun mempunyai nubuat-nubuatnya di dalam diri pribadi. ... tampaknya bagiku bahwa aku harus memiliki kecantikan dari semua gadis agar dapat menandingi kecantikanmu; bahwa aku harus mengelilingi dunia untuk menemukan tempat yang tidak kumiliki dan yang merupakan misteri terdalam dari keseluruhan keberadaanku yang mengarah ke depan, dan pada saat berikutnya engkau begitu dekat kepadaku, mengisi jiwaku dengan begitu dahsyat sehingga aku berubah (transfigured) bagi diriku sendiri, dan merasakan sungguh nikmat berada di sini.

—Søren Kierkegaard, Journals[5] (2 Februari 1839)

Selasa, 11 Maret 2008

tanpa judul

angin sepoi menerpa diriku kala tiba ditempat DIKLAT Jurnalistik, raga yang panas langsung segar kembali. ada sebersit kebahagiaan dan rasa takjub, ternyata Tuhan sempurna mencipta kehidupan. kemaren aku selesai mengikuti pelatihan, aku bahagia sebab tiga hari telah berlalu yang awalnya terasa berat. benar kata orang, kebosanan itu hanya ada pada orang yang tak pernah merasa bersyukur. terrus terang, aku kecewa dan sedih saat harus berpisah dari teman-teman, suasana akrab telah terbangun saat kami bersama dalam suka dan duka menjalani DIKLAT. suasana terbangun sejuk, penuh inspirasi.
kemaren, pagi-pagi aku terbangun dari tidurku, aku masih merasa ngantuk saat itu, maklum semalam acaranya selesai pukul 03.00 wita. aku terpaksa bangun, jam sebelas nanti aku ada kuliah kimia. aku tidak mau mengulangi mata kuliah ini sampai empat kali. cukup sudah, aku kapok bermalas-malasan. kasian banget kan?. aku keluar kamar menuju kamar sebelah menemui temanku, kebetulan ia satu jurusan. aku langsung membangunkannya, agak kaget dia saya lihat, tapi dia langsung ke wc mencuci muka.
disaat DIKLAT, terus terang hatiku berbunga-bunga, aku dapat kiriman pulsa dari temanku yang selalu menyuplaikan kala aku benar-benar boke dan membutuhkannya. ia boleh jadi teman spesialku. dua minggu yang lalu, ia menelponku menceritakan masalah yang sekarang dia hadapi. dia katanya lagi jatuh cinta, aku bingung mau nanggapi apa, wong aku gak pernah jatuh cinta?. tapi dengan kebingungan itu membuat aku merasa kok disaat dia membutuhkanku, aku tidak bisa membantunya. teman apa kau ini?.
mencintai boleh jadi sunnatullah, kasih sayang sesuatu yang lumrah. terbesit seribu tanya, adakah itu telah mati pada diriku?. aku tidak berani jatuh cinta. salahkah aku tidak mencinta dan tidak menjawab pertanyaan teman spesialku?. aku teregun, kaget mengingat diriku. aku terbangun dari meditasi lamaku, mengekspresikan diri terkadang punya batas, punya halangan. haruskah cinta mengandalkan nafsu kelamin?. ataukah ketiadaan nafsu adalah manipulasi. justeru dengan nafsu bercinta jadi hidup, menggairahkan. ataukah kita yang terlampau egois mengendalikan diri?. tidak pernah puas dengan sesuatu yang dimiliki?. pilihan itu memang rumit, Tuhan telah adil menentukannya semua, namun apakah kita harus takluk?.
banyak cara bagi kita tuk belajar memilih, bukti kesempurnaan penciptaan. tapi kita tidak diajarkan mengetahui tanpa kriteria dan indikator. semua punya standar. disitulah kelemahan manusia, saat harus bingung dengan standar, sementara dunia penuh dengan standar-standar palsu. banyak kelompok mengklaim standarnya yang paling valid, petunjuknya yang paling sahih. tapi membuktikan kesahihan, kevalidan harus memakai apa?.
kita manusia tidak lebih dari makhluk lemah. klaim yang selama ini mengatakan kita makhluk sempurna tidak sepenuhnya benar. patut dipertanyakan?. mestinya kita membongkar segala kemapanan yang telah ada, melawan tirani yang tersebunyi. ya...harus ada yang berani menanyakan dunia ini, semua orang tampak tenang dengan apa yang dimiliki, dirasa dan dilihat. pertanyakan kawan-kawan, kenapa berzina itu dilarang?. kenapa anggur diharamkan?. walaupun hanya segelas penghangat tubuh yang dingin.
ada alasan yang disamarkan, katanya dunia perlu aturan, undang-undang dibuat untuk mengatur. siapa yang mau diatur?. dan siapa yang mengatur?. kenapa semua orang merasa risih dengan ketidak-teraturan, batas-batas seperti apa dikatakan tidak teratur?. membingungkan!. inikah dunia?.
cobalah bertanya kawan, sebelum kita semua buta. kritislah. coba lari dan menjauh dari kemapanan, berniatlah menghancurkannya. belum terlambat. masih ada cukup waktu untuk itu semua.
memang, pasti ada yang mengkritik, tulisan ini tidak lain dari bentuk kegilaan paling nyata. ketidak-teraturan tulisan, ketidakjelasan dan banyak teka-teki. tapi bukankah budaya kita mengajarkannya?.
pasti kawan, aku sebagai objek kegilaan. engkau pasti bertanya padaku apakah engkau benar-benar mengalami kegilaan?. oh...tunggu dulu, standar apa dan kriteria apa yang meneguhkan asumsimu bahwa aku mengalami kegilaan. kalian jelas bisa menjawab ini. kegilaanku terlihat dari indikasi tuliasan yang tidak teratur, bahasa yang sedikit nyeleneh dan...membingungkan. lalu izinkanlah aku bertanya, kriteria yang engkau pake berasal dari mana?. kedokteran?. psikologinya freud, ato psikologi behavioris. saya berani menyatakan kalian makhluk paling kejam, representatifkah kriteria mu bagi kegilaanku?. hanya ada satu kata, DOMINASI lah yang membuatmu berlaku begitu. coba kalian telaah dengan baik-baik, ternyata pengalaman dan kebiasaanmu mempengaruhi pikiranmu. buktinya karena engkau tidak biasa melihat tulisan seperti ini lalu kau mengklaim ini tuliasan orang gila. (buat yang kusayang)

Selasa, 19 Februari 2008

sekadar curhat aja

kemaren, aku kepengen banget buka blog ku, aku kepengen mencurahkan seluruh unek-unek ku, kemarahanku, namun kemaren aku lagi tak punya duit, kiriman belum kunjung datang juga padahal naluri menulisku lagi gencarnya menyuruhku merangakai kata-kata disini. eh...saat uang dah ada ide yang ingin kutulis kemaren hilang entah kemana. kayaknya ditelan hantu kali. he...he....waktu aku lagi pusing nyari ide yang ilang tadi, aku jadi teringat blog temanku anak UI, kalau ndak salah "kuncring" nama blognya. ya udah aku masuk aja. aku salut banget ma dia, pandai merangkai kata-kata menjadi kalimat yang--menurutku--indah banget. terus terang, dengan tidak menafikkan realita yang ada, aku sedikit mengkritik perasaannya, bukan tulisannya. ia terlalu percaya dengan dunia yang penuh dengan kemunafikan ini, ia terlalu berani jatuh cinta. adakah itu cinta?. adakah kasih sayang?. mungkin karena realitas mengajarkanku, maka dengan sangat terpaksa aku mengatakan bahwa cinta itu hanya ilusi yang mesti dilempar jauh keluar cakrawala kehidupan umat manusia. aku coba nulis tanggapan ku di pos cooment sebelah kanan bawah tulisannya, tapi gak bisa masuk. yah.... gak apalah. ya udah aku nulis aja tanggapanku itu di blogku sendiri, siapa tahu dia membacanya. moga aja aja ada keajaiban datang, ia tiba-tiba masuk di blogku.

wah...lage jatuh cinta ya mba'. indah banget tuh kata-katanya, sampe-sampe saya sendiri gak sadar bahwa itu adalah kalimat yang nyata ada. salut deh, indah banget!. oya...aku sendiri cuma kagum ma kata-katanya, kalimatnya, bukan pada hal tersembunyi dibalik kalimat indahnya, aku tak pernah percaya bahwa cinta itu benar-benar ada, cinta adalah bentuk paling indah dari nafsu kelamin. cinta murni gak ada di dunia, yang dipenuhi dengan kemunafikan dan penghianatan, ia hanya ada di langit, cinta murni itu ilusi, omong kosong. orang yang berbicara tentang cinta hanyalah sekumpulan komunitas makhluk buas yang ingin berkuasa terhadap orang lain. wallahualam...

Selasa, 05 Februari 2008

dalam kekosongan

esok hari kamis tanggal 7 ferbruari 2008 yang berarti tahun baru telah berjalan satu bulan tujuh hari, umurku makin tua namun perjuangan mencari makna hidup belum-belum menunjukkan kejelasan, semakin lama makin absurd rasanya. selalu berada dalam kekosongan. semakin aku berjuang, semakin pula aku merasa kesepian dengan diriku sendiri, aku merasa orang lain mulai menjauhiku. ah...ingin ku lari dari segala rutinitas hidup ini, lari dari segala kemunafikan dan penghianatan yang mengejarku ibarat hantu-hantu. realitas hidup menjadikanku sadar "mengutip bahasanya nietsche", bahwa didunia ini tidak ada cinta dan moralitas yang ada hanya kepentingan. paling tidak hal itu yang ku lihat hari ini. orang-orang berlalu lalang, sibuk berjuang namun tidak pernah benar-benar tulus, selalu ada kepentingan yang bermain.
ah... agaknya aku harus belajar sekarang menerima realitas. mulai mencoba mencinta kepada kesendirian, kemunafikan dan penghianatan.