Minggu, 06 April 2008

BINGUNG MAU KASIH JUDULNYA APA?

Baiknya, semua kritik, apapun sifatnya entah positif atau negative semestinya ditanggapi secara bijak, bukan malah sebaliknya. Sebagai ajang debat kusir yang tiada henti di mading-mading universitas dan fakultas, atau di forum-forum diskusi. Sementara realitas sosial yang terjadi terabaikan tanpa diperhatikan. Dan, sudah selayaknya kita sebagai mahasiswa pengemban tugas berat yang termaktub dalam tiga fungsi mahasiswa, agent of a change, moral force dan sosial control. Meskipun ketiga hal tersebut masih layak diperdebatkan. Benarkah mahasiswa sebagai agent of a change, moral force dan sosial control?. Agaknya butuh tempat tersendiri membahasnya, disini kita terkendala ruang dan takutnya melenceng dari tujuan awal tulisan.

Beberapa minggu yang lalu terjadi peristiwa besar menggemparkan seantero Sulawesi khususnya Makassar. Kematian seorang Ibu beserta anaknya, daeng besse sungguh ironis untuk didengarkan ditengah daerah yang terkenal dengan lumbung padinya, sebab kematian mereka didiagnosis akibat kelaparan dan menderita gizi buruk.

UNHAS? TANGGUNG-JAWABNYA MANA?

Kita semua pasti mengetahui—yang tidak tahu keterlaluan—bahwa unhas merupakan universitas wilayah Indonesia timur yang paling disegani, baik karena predikat universitas terbesar di wilayahnya maupun karena banyak dosennya yang menyandang gelar professor. Saya tidak ingin memasukkan data-datanya disini, pembaca bisa baca di buku panduan universitas maupun media penyaluran sifat narsistiknya. Ada banyak, silakan berusaha. Lagian pokok bahasan kita bukan menyangkut melubernya dosen yang bergelar professor namun miskin karya. Mungkin hanya simbolitas saja kali. Atau seperti bahasa teman saya, professor karena pangkat. Disini saya coba mengetengahkan pembahasan menyangkut unhas khususnya medical compleks, khususnya lagi fkm dan yang paling khususnya jurusan gizi dalam menghadapi atau merespon isu kesehatan terkini serta tindakan yang dilakukan secara konkrit, bukan konsep atau wacana yang dimuat di Koran-koran dengan tendensi simpati dan empati palsu. Bahasa ekstrimnya cari muka.

Dunia tidak butuh bahasa-bahasa apologi, apalagi opini kosong tanpa aksi. Saat ini kita semua butuh langkah konkrit pemecahan masalah bangsa yang makin kompleks. Pun menyangkut gizi buruk yang kembali mecuat ke permukaan setelah di bombardir media lewat wacana lambannya kinerja pemerintah. Hal ini juga diperparah oleh sikap mahasiswa yang terkesan apatis. Cenderung lari dari kenyataan, malah asyik-masyuk dengan ritual aneh yang bernama Mubes serta wisata angkatan. Padahal dunia tempatnya bernaung membutuhkan uluran tangannya sebagai agen perubah (agent of a change).

Fenomena ini bisa kita lacak, beberapa minggu yang lalu jurusan Kesling adakan Mubes, AKK, dan kemarin (4/4/08) jurusan gizi melakukan wisata ke bili-bili, bersamaan dengan angkatan 2005 yang berwisata ke pangkep. Belum lagi BEM FKM yang dingin-dingin, lebih antusias mengurus dies natalies keluarga mahasiswanya ketimbang turun kejalan mengadvokasi kebijakan penguasa, ini menjadi sesuatu yang urgen mengingat tipikal birokrat kita seolah-olah mengalami ketidak-normalan pendengaran, masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Tapi belakangan saya lihat mereka (bem,red) berencana mengadakan seminar. Semoga seminar tersebut bukan sekadar formalitas belaka supaya tidak dibilang tidak ada kerjaan. Biasa latah organisasi!.

SOLUSI!

Sulawesi adalah salah satu lumbung padi nasional Negara kita, jadi tidak ada alasan menganggap kejadian besse sebagai akibat kekurangan pangan. Nah, kalau begitu yang bermasalah apanya?. Pemerintahkah?. Atau bukan. Saya kira pemerintah itu sesuatu yang abstrak, sama misalnya masyarakat. Yang otentik individu-individu, bukankah masyarakat hanya akumulatif dari individu-individu?. Lalu siapa yang perlu disalahkan atau yang perlu bertanggung-jawab?. Jelas, yang paling berhak bertanggung-jawab atas problema ini kepala pemerintahan, presiden, gubernur, bupati/walikota serta jajaran terkait. Mereka, agen-agen kaum kapitalis serakah. Dalam artian hanya mewakili kepentingan kaum borjuasi dan mendiskreditkan proletariat. Ada kepentingan sistem yang bersifat laten dibaliknya. Itupun kalau indikasinya benar. Tapi semuanya bisa kita lacak saat pemilu, baik pemilu presiden, gubernur, maupun walikota/bupati. Begitu banyak dana dihamburkan hanya untuk kegiatan kampanye saja. Yang menjadi pertanyaan kita semua dana tersebut berasal dari mana?. Jelas disini, dana tersebut pasti berasal dari pemodal dengan janji memberi akses bagi pengembangan usahanya.

Intelektual dibagi dua, intelektual organic dan intelektual tradisional. Intelektual organic adalah kaum yang berani mempertanyakan secara kritis fenomena yang terjadi dilingkungannya dan berani memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Sedangkan intelektual tradisional dia tahu dan paham dengan fenomenanya namun tidak berani kritis. Saya menduga inilah intelektual pesimis.

Dari pembagian tersebut, kita sebagai mahasiswa harusnya berada dalam lingkup intelektual yang kedua. Intelektual organic. Oleh karenanya kita mesti secara total memperjuangkan segala ketimpangan yang terjadi dengan tidak lagi mengandalkan gerakan yang berbasiskan moral tapi mesti menaikkan kesadaran ke gerakan politik. Permasalahan bangsa kita adalah masalah sistem, sistem yang tidak mewakili kepentingan umum. Sistem kapitalis dengan agenda neo-liberalisme nya disegala bidang, termasuk yang marak terjadi akhir-akhir ini, wacana liberalisasi pendidikan. Mestinya kita terjun dalam politik, mengintervensi pemilu, merebut parlementer dari kaum pro-kapitalistik. Lalu membuat agenda nasional:

a. Nasionalisai perusahaan tambang untuk pendidikan dan kesehatan gratis

b. Meghapus utang luar negeri atau memohon memotarium (menunda pembayaran utang sampai waktu yang tidak ditentukan, sampai bangsa kita mampu membayarnya)

c. Sita harta koruptor

Dari solusi diatas, perlu diketahui bukanlah mutlak benar bagi pemecahan masalah keummatan. Ini bentuk lain solusi yang coba ditawarkan dalam mengadapi konteks zaman. Wacana dan diskusi harusnya digalakkan, rasionalitas komunikatif ala jurgen habermas dan tidak bersifat semu dan procedural semata. Bukan rasionalitas instrumentalis yang reduksionis-atomistik ala Cartesian-newtonian. Logika binerian Aristotelian yang memisahkan objek-subjek.

MAKASSAR--BUAT LuphieQuw

Tidak ada komentar: