Senin, 13 September 2010

Negara Islam, No Way

Tulisan ini di muat di Tabloid identitas edisi Akhir Juni 2010

Pada suatu hari di bulan Mei 2010, sekelompok mahasiswa tampak serius berdiskusi. Di sekitarnya, terpampang atribut bendera dan spanduk bertuliskan huruf Arab. Saya yang terlambat datang tetap langsung bisa menebak, kelompok mana yang membikin kegiatan ini. Tema diskusinya, “Memaknai Hari Kebangkitan Nasional, 21 Mei”.

Saya tercengang, salah seorang pemateri berseloroh, maknailah Hari Kebangkitan Nasional sebagai tonggak awal perjuangan mengganti sistem Negara Indonesia. Saya tahu, pemateri itu tidak sedang bercanda. Sebab kelompok ini memang gencar mengusung jargon Negara Islam. Mereka memiliki tujuan mengganti sistem negara kita yang nasionalis dan demokratis dengan Negara Islam. Bagi mereka, demokrasi merupakan sistem kufur yang berasal dari Barat.

Tampaknya kini yang membebaskan atau yang menjerat adalah sebuah ide membentuk sebuah Negara Islam dan dengan itu segala ketimpangan sosial bisa ‘dilenyapkan’. Negara Islam itu, seperti yang digemborkan pendukungnya merupakan wasiat Tuhan yang harus diwujudkan. Jika tidak melakukannya, maka azab Tuhan niscaya datang bertubi-tubi.

Beberapa puluh tahun lalu, di negeri asalnya, Arab Saudi, para pendukung Negara Islam yang tergabung dalam gerakan Wahabi-Ikhwanul Muslimin bahkan tak segan membunuh dan mengecap kafir orang lain yang berbeda pemahaman. Mereka mengklaim bahwa mereka sepenuhnya memahami isi Al-quran. Olehnya, mereka berhak menjadi wakil Tuhan.

Ide pembentukan Negara Islam di negeri Indonesia bukanlah hal baru. Dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdatul Ulama (NU), salah satu organisasi keislaman terbesar di Indonesia harus berdiskusi panjang untuk sampai pada kesimpulan memperbolehkan pendirian negara bangsa. Bagi kaum muda NU, terbentuknya Negara Islam tidak serta-merta membentuk masyarakat yang islami pula. Masyarakat islami akan terwujud jika ummat menjalankan agama secara konsisten.

Baru-baru ini, adanya insiden penyerangan kapal bantuan kemanusiaan Mavy Marmara oleh tentara Zionis Israel semakin memperkuat justifikasi kelompok ini atas ide membentuk Negara Islam. Tengok saja aksi-aksi yang terjadi. Spanduk dan plakat bertulis, “Sistem Khilafah (baca: Negara Islam) solusinya.”

Tentu harus dicatat, keinginan mereka memperjuangkan islam itu tak salah. Namun, klaim yang menganggap Negara Islam sebagai satu-satunya pilihan dengan mencap sistem lain sebagai kufur atau buatan Barat tentu tak benar. Hal ini bisa menggiring islam dari agama menjadi ideologi. Pada akhirnya, islam menjadi dalih untuk membumi-hanguskan orang lain yang berbeda pemahaman dari mereka.

Agaknya, bayang-bayang totaliterianisme tak jauh dari islam yang mengagungkan perbedaan. Harapan Tuhan bahwa islam bisa menjadi rahmat bagi sekalian alam, bisa jadi isapan jempol belaka. Tetapi dibandingkan Timur-tengah, Indonesia masih lebih baik. Disini tak kita temukan ‘genosida’ yang mengatas-namakan mahzab-mahzab agama.

Abdurahman Wahid, salah seorang cendekiawan muslim tentu jauh hari telah menyadari kondisi ini. Ia terbukti getol melakukan counter wacana. Bahkan sampai mengeluarkan buku berjudul “Ilusi Negara Islam,” sebagai respon atas semakin mengguritanya kelompok ini di tengah masyarakat. Akhirnya mungkin sesekali kita harus menyadari, kita ini hanyalah makhluk biasa, yang tak berhak mengklaim kebenaran. Andai itu terjadi, tentu kita harus kritis bertanya: Tuhan kah saya? Tabik


Tidak ada komentar: