Jumat, 06 Mei 2011

Hakikat Kaum Intelektual

Pada dasarnya, intelektual tak identik dengan sarjana, ustad, pendeta ataupun orang yang bergelut dalam spesiliasasi ilmu tertentu. Kaum intelektual juga tak identik dengan politisi. Ke- Intelektualitasan tak terletak pada simbol-simbol akademik yang formal. Seorang intelektual, harus bisa mendedahkan pemikirannya tanpa terjebak kepentingan dan berkomitmen menjunjung tinggi kebenaran yang diyakininya.

Kebebasan untuk mengungkapkan kebenaran itu tak dibatasi oleh aturan formal organisasi. Seorang intelektual sejati konsisten dengan tujuannya untuk membebaskan masyarakat dari kungkungan struktur yang menindas. Ia melakukan semua itu dengan ikhlas meskipun harus mengorbankan dirinya sendiri sekalipun.

Secara sosiologis, keberadaan kaum intelektual merupakan kelompok creative elite dalam suatu susunan masyarakat yang berfungsi sebagai early warning system dalam kehidupan masyarakat. Entah itu masyarakat akademis ataupun masyarakat ‘awam’. Kelebihan kaum intelektual adalah kemampuannya untuk menjadi prototype bagi masyarakat diluar dirinya. Kaum intelektual sebagai kaum yang memiliki daya kreatif untuk menciptakan solusi cerdas bagi masalah ummat yang sedang terjadi. Dengan begitu, seluruh pemikirannya bisa menjadi daya tawar bagi masyarakat untuk menghadapi kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang.

Jadi hakikat kaum intelektual dapat dilihat dari corak pemikirannya yang dapat melampaui zamannya. Pada posisi inilah kaum intelektual kadang-kala menjadi kontrovesial, karena terang-terangan menggugah kemapanan kehidupan pada saat itu. Lihat saja bagaimana Friederick Niezche yang dituduh kafir lantaran berani mengkritik arus pemikiran pada zamannya. Atau tengok saja Michael Faucault yang dituduh gila. Cermin paling kuat untuk ini adalah para nabi, yang meskipun harus bertaruh nyawa tak pernah lari untuk memperjuangkan keyakinannya.

Bagaimana menjadi kaum intelektual?

Tapi kemudian menjadi persoalan: bagaimanakah cara menjadi kaum intelektual? Mungkin banyak kalangan yang berniat menjadi kaum intelektual, tapi jalan untuk memperoleh predikat itu tak seperti membalikkan telapak tangan. Diperlukan orang-orang yang siap hidup “asketis” dan bersemangat juang tinggi. Jalan menuju kesana penuh dengan kerikil tajam.

Menjadi intelektual, diperlukan seorang yang bisa melihat realitas dengan mata malaikat. Mata malaikat disini artinya seorang yang bisa membedah realitas secara empiris. Tak hanya terlibat dalam diskusi-diskusi yang abstrak tentang Tuhan dan kebenaran yang sifatnya trasendental, tapi jauh melampaui itu, yaitu membicarakan masyarakat yang riil.

Dengan peran fundamentalnya untuk meningkatkan martabat kehidupan manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kaum intelektual berguna untuk melaksanakan “pemberdayaan” masyarakat yang sedang berada dalam fase kejumudan, ketertinggalan, ketertindasan dan lain sebagainya.

Maka, tak ada jalan yang bisa ditempuh selain belajar sekuat tenaga. Dalam belajar itu, diperlukan sarana yang sangat fundamental, yaitu buku. Buku merupakan jalan utama menjadi kaum intelektual. Tanpa buku, kita hanya bisa ber-angan-angan dan tertunduk lesu melihat realitas yang sebetulnya kita muak melihatnya. Pepatah mengatakan, “buku adalah jendela dunia.” Begitu besarnya peran yang dimainkan buku.

Tidak ada komentar: