Rabu, 12 Maret 2008

DOSENKU MULTILEVERs

Sorot matanya lemah, suaranya pelan tanpa gairah. Kehidupan yang keras menjadikan rambut tebalnya putih sebelum waktunya. "aku banyak mengikuti MULTI LEVEL MARKETING tapi tidak pernah kaya?". ujarnya diakhir promosi singkatnya sehabis kuliah. lalu kami menertawainya. Dosen yang payah, ketusku dalam hati. Ternyata predikat sebagai intelektual tidak bisa menjadikannya bijak memaknai dunia. Begitu hebat gempuran iklan yang memaksa imaji tidak bisa tenang dan menerima hidup apa adanya. Perang yang tak pernah menemukan titik akhirnya.

Menertawakannya bukanlah pilihan yang tepat, tidak ada riuh tawa untuk sebuah tragedi. Aku terdiam saja, tenang mendengar oceh tangis kehidupan. Kekejaman dunia memaksa ia tanpa malu menjual otaknya demi harta dan materi. Kaum intelektual benar-benar kehilangan akal sehatnya, pikirannya tentang pengetahuan telah dimodifikasi menjadi pikiran materil semata. Banyak kali aku mendengar dosen terlibat MLM (multi level marketing). Aku sedikit sanksi dengan itu, terus terang. Dan tidak akan mempermasalahkannya sepanjang tidak keluar dari jalur yang ditetapkan bersama. Bukankah dunia ini adalah konsensus?. Sekali lagi hatiku miris, inginku menangis dan berteriak pada dunia. Kenapa engkau begitu kejam?. Ia seorang dosen, dosen tidak pernah diajarkan untuk pamrih. Pahlawan tanpa jasa slogannya.

Aku masih saja terdiam, walaupun desakan nurani memberontak terhadap perilaku dosen begitu menggebu. Berdiam boleh jadi pilihan terbaik menurutku untuk suasana seperti ini. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkannya. Ada realitas yang harus dipertanyakan. Sejahterakah dosen ataupun guru hari ini?. Ia tidak salah pada wilayah itu, ia hanya terpaksa. Tidak ada cara lain. Mungkin hanya itu yang bisa dia lakukan ditengah keterbatasannya. Ia tahu ada tanggung jawab yang dia pikul. Dia rapuh oleh kerasnya arus kehidupan. Tidak ada lagi harga diri, toh harga diri bisa dibeli. Nanti bila kaya!.

Kaya. selalu menjadi modus utama dunia sekarang. Kaya yang dahulunya bermakna luas kini dipersempit oleh pengertian yang mngacu ke hal yang bersifat materil. Orang tidak butuh kaya hati, kaya nurani. Orang hanya peduli kaya materi. Kaya hati, kaya materi bisa dibeli. Bisakah?.

Dosenku multilevers, ia menjajakan dagangannya di ruang-ruang kuliah. Diatas topeng-topeng intelektualitas. Ia sekaligus menjajakan harga dirinya. Kampus seharusnya bukan tempat untuk bertransaksi bisnis, walaupun tidak salah. Jam kuliah jangan dipotong demi promosi MLM. "Baiklah sekarang kalian mau jadi apa?". Jadi kaya teriak teman-temanku. Kaya lagi-kaya lagi. Tiadak adakah pilihan selain itu?. Begitu sempitklah dunia ini?. Kenapa orang mengidentikkan kata kaya dengan materi semata?.

Oh...ingin kumaki dirimu. Dosenku. Enyahlah engkau dari lorong-lorong kehidupanmu. Sekarang lari dan kejarlah impianmu itu. Duniamu terlalu jauh bagi kami, orang-orang idealis.

Memang, tidak ada yang bisa memungkiri kenyataan hidup yang engkau jalani. Engkau selalu bercerita pada kami disela-sela waktu mengajarmu, dan bukan hanya engkau. Engkau menceritakan tentang istri dan anakmu yang ingin beli ini beli itu. Sementara gajimu hanya cukup membiayai hidup sebulan. " kenapa istriku mengidentikkan kaya dengan materi". Kami tahu engkau tersiksa. Istri dan anakmu mendesak meminta tanggung-jawabmu. "Pa...kapan kita punya mobil?". Jadilah engaku mengkreditnya dengan memotong gaji yang pas-pasan. Untung tidak ada ruang untuk korupsi. terlalu banyak badan-badan pemberantas korupsi.

Pak...!!! kami paham dan sangat memahami. Slogan pahlawan tanpa jasa masih berdengung. untuk provesimu. Padahal dunia yang engkau alami tidak pernah mau menukar jasamu dengan honda jazz kesukaan anak dan istrimu. Kesukaan orang kebanyakan. Sangat tidak adil.

Slogannya perlu dipertanyakan sekarang. Berteriaklah dan tuntut hak-hakmu. Upah yang memadai untukmu. Buatlah revolusi besar-besaran. Bukan cuma petani yang perlu revolusi, tapi juga kalian. Pekerja-pekerja kere. Bila perlu buat partai sendiri ataupun kalau mau negara sendiri yang menghargai dirimu bukan dengan slogan. Pilihlah pemimpin dari kalanganmu agar kelak dia bijak dan mau memperhatikan engkau. Kami pasti mendukung, Pak!!!

Aku jadi teringat bapakku. Ia seorang guru. Aku jadi teringat saat diriku meminta kiriman uang tiap bulannya, sementara gajinya sudah tidak ada. Gajinya dipotong pinjamannya di Bank. Aku menitikkan air mataku, selama ini uang yang dikirimkan dari mana?. Apakah ia mencuri atau korupsi?. Setahuku ia tidak punya penghasilan lain. Atau mungkin ia hutang sana-hutang sini. Seberapa banyak hutangnya?. Aku malu memikirkannya, apalagi mendengarkannya bercerita. Dan memang ia tidak pernah mau bercerita. Apalagi bekeluh-kesah. Ia tida pernah jujur saat aku tanya, uang ini dari mana papa?. Ia bungkam. Mungkin ia malu padaku. Ia hanya menjawab " tidak usah dipikirkan kamu kuliah saja, cepet-cepat selesai". Kata itu biasa terucap saat mengakhiri pembicaraan dan menutup teleponnya. (makassar, 13 maret 2008. saat kuliah metodologi).

1 komentar:

kuncring mengatakan...

yah....apa kareba makassar? (bener ga nulisnya? hehe...) saya denger di tv beberapa minggu lalu ada temen makasar yang saling tawuran.........wah,,,, sayang banget ya! padahal banyak masyarakat yang mengharapakan karya kita............

Salam buat yang lain.
FILOSOFISNYA, Kerenz banget!!
Email : bungarumput1001@gmail.com
atau : nicelight1001@multiply.com

Semangat ya pa, slam buat temen2 makasar.......