Jumat, 21 Maret 2008

SEKELUMIT PERJALANAN HIDUP

(ada spirit revolusi dalam setiap momen hidup)


Setelah ujian berakhir, aku langsung disuruh orang tuaku ke Makassar. Kebetulan ada kapal. Padahal aku sedianya berniat ke jawa, ke jokjakarta, kota pelajar. Kapal besar berwarna kuning gading mengantarku berlabuh dipulau daeng. Agak asing perasaanku menginjakkan kaki disini.

Hampir sebulan aku di Makassar, menunggu pembukaan pendaftaran SPMB. Waktu sebanyak itu aku manfaatkan untuk ikut bimbingan belajar sebagaimana yang di intruksikan orang tua yang mulia. ”Ya…sekalian isi waktu luang bisikku”. Bimbel, sesudah satu bulan aku jalani ternyata tidak seperti yang diopinikan orang kebanyakan. Katanya, ikut bimbel diajarkan cara-cara jitu memecahkan soal. Tapi apa yang aku dapatkan, bimbel hanya mengajarkanku cara cepat yang sebenarnya tidak masuk dalam akal sehatku. “Dasar wong deso kataku dalam hati”. Susah beradaptasi dengan pola-pola praktis orang kota. Aku sedari sekolah dasar diajarkan mengerjakan soal selalu berdasarkan prosedur yang biasa dan umum. maklumlah.

Esok, sebulan penuh aku di Makassar, tepat 30 hari aku mendiami pulau orang yang terkenal dengan kerasnya budaya dan tabiatnya ini. Pagi-pagi aku bangun dari tidurku, langsung lekas mandi cepat-cepat, sebelumnya aku mencuci baju yang tertumpuk banyak dikamar. Dengan status kamar tumpangan, agak malu juga rasanya sama yang empunya. Kebiasaan lama dikampung terbawa juga kesini. Kebiasaan jelek yang selalu membiarkan baju menumpuk berminggu-minggu diatas keranjang merah tempat baju kotorku. Aku tidak menyucinya sebelum ibuku marah-marah sambil mengancam memotong uang saku ku. Sikap ku seperti anak kecil.

Diluar, aku diteriaki sepupuku. “cepat ko mandi cezt, nanti ketinggalan ujian, jam delapan itu mulai ujian SPMB”, teriaknya dengan logatnya yang khas Makassar. Aku kalang kabut jadinya, terbangun dari khayalan indah masa silam. Buru-buru aku mandi dan membilas pakaian. Akhirnya selesai juga kataku saat keluar wc.

Hari itu, aku memakai kameja hitam polos bermotifkan linking park, grup band ternama yang aku beli kemaren sore. Itu baju pertama aku beli semenjak berada di sini. Yang nantinya menjadi baju bersejarah dalam perjalanan hidupku. Aku tidak lupa menyetrikanya, aku tidak terbiasa memakai baju acak-acakan, walaupun bajunya masih rapi. Tapi perasaanku tidak enak aja. Emang benar kata orang, perasaan lebih mendominasi dari pada kebenaran. Perasaan lebih kuat mempengaruhi pilihan seseorang dari pada kenyataan yang terjadi. Baju ku tidak perlu disetrika, sebenarnya. Tapi kedepannya, entah aku tidak tahu apa yang terjadi apakah aku masih bisa bertahan dengan perasaan seperti ini atau tidak. Lingkungan mahasiswa tidak selalu mengajarkan kita untuk berpenampilan rapi ala eksekutif. Terpengaruh kaum capital katanya. Yang aku sendiri bingung, apakah kaum capitalis pernah mendeklarasikan dirinya dengan gaya seperti tadi. Mahasiswa terlalu phobi dengan capitalis sampai-sampai penampilan pun mereka lawan. Ataukah dunia ini pertarungan symbol?. Makanya kita harus melawan dengan symbol juga. Lawan dan lawan!!!

Aku keluar dari kost yang berukuran 5x5 itu, terlebih dahulu aku berdoa, semoga hari ini aku dapat meraih mimpiku, mimpi anak desa yang termarjinalkan. Pagi itu aku berjalan menunduk melintasi gang-gang kecil. Sesekali aku melihat tikus-tikus got, aku kaget bukan main. Tikus-tikus itu besarnya mirip kucing kesayanganku dikampung. Ah…mungkin mitos superioritas kucing terhadap tikus akan terbantahkan melihat kenyataan yang aku lihat. Aku hampir tidak bisa berbuat apa-apa. Ketakjubanku membuatku diam seribu bahasa. Sekaligus menertawakan diri yang kampungan.

Sesampai ditempat ujian, aku langsung masuk ruangan. Kemaren sore, sehabis nge-mall aku mengeceknya bersama sepupu ku. Kak linda, kak sri dan kak bia. Terimakasih banyak buat kalian, aku akan selalu mengingat jasa-jasamu. Mengingat saat kita bercanda sambil makan bersama dalam susahnya merantau. Mencari sedikit titik terang bagi nasib kita. Kaum-kaum termarjinalkan.

Aku memandangi sekeliling ruangan, melihat rona-rona wajah baru yang kelihatan sombong dan angkuh. Ada pula yang terlihat diam dan menunduk. Mungkin mereka dari kampung. Orang kampung biasanya begitu, berpenampilan norak dan kelihatan tidak percaya diri. Lama aku terbang melayang jauh melintasi batas kedirianku, memasuki relung-relung lorong gelap imaji. Sesekali aku menghayalkan diriku kelak bisa seperti mereka. Orang kota.

“tolong tasnya disimpan didepan, yang boleh ada dimeja hanya pensil, penghapus, dan penggaris. Bagi yang memilki Hp diharapkan menitip ke pengawas”. Ketus pengawas ujian kami. Lalu aku mengeluarkan tasku dalam laci meja, kemudian berlari kecil menyimpannya didepan. Disamping pengawas yang kelihatan sangar. Aku jelas belum punya Hp saat itu. He…he…maklum dari kampung.

Hampir 120 menit aku berkutat dengan soal yang super sulit, bagi kami orang kampung yang jauh dari akses informasi. Praktis soal-soalnya sulitnya minta ampun. Seumur hidupku belum pernah diperhadapkan pada soal seperti ini. Ternyata perbedaan antara kota dan desa bukan cuma pada gedung-gedung menjulang tapi juga akses buku-buku dan pengetahuan. Aku jadi perpikir, kenapa pemerintah tidak adil dalam hal ini, orang desa sekali lagi selalu dimarjinalkan. Dianggap warga Negara kelas dua. Atau kami dianggap bukan warga Negara?. Kenapa dunia begitu tidak adil, haruskah perbedaan kota dan desa menjadikan kita bodoh?. Tidak memperoleh kesetaraan akses pendidikan. Realitas yang menjadikanku pesimis. Akankah aku berhasil lulus nanti?.

Dalam teriknya matahari siang yang tak hentinya memancarkan cahayanya kesegala penjuru dunia. Dia seolah tidak pernah lelah dan bosan menjalani rutinitas yang monoton. Menyinari dunia merupakan tugas abadinya sampai ia sendiri luluh bersamanya. Bersama makhluk sombong dan serakah sekaligus bodoh bernama manusia. Terlalu banyak sejarah menceritakan semuanya. Sejarah tentang penyembahan matahari oleh manusia. Imaji manusia berani melampaui dirinya sendiri. Hewan-hewan kurban berserakan diantara bangunan candi dan altar-altar pemujaan. Kesucian kebenaran dicampur-adukkan dengan pikiran manusia lewat jargon klaim intelektulitas. Rasio mampu mencapai kebenaran hakiki ungkap filsuf. Akhirnya, begitu banyak klaim-klaim kebenaran oleh beberapa golongan atau kelompok. Sepertinya mereka ingin menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri. Simbol-simbol pun dipuja melebihi nilainya. Keberagaman diperkosa lewat bahasa dan kesejahteraan manusia. Makna dan nilai dikesampingkan. Adakah hal yang bisa menyatukan kita selain nilai-nilai universal?. Bukan berdasarkan symbol semata.

Aku termenung sejenak merefleksikan kembali hari yang telah lampau. Hari-hari yang penuh keceriaan dan ketenangan. Aku ingat saat padi mulai menguning, kami berlomba-lomba seusai sekolah pergi kesawah membantu orang tua kami menjaga padi dari serangan burung pipit. Kami biasanya membuat perangkap untuknya, menangkap dan menjadikan kawan bermain yang menyenangkan. Bila matahari telah masuk keperaduannya, kami anak-anak petani berlari ceria diatas pematang sawah sambil berteriak memanggil teman-teman mengajak pulang bersama. Nanti malam kami mengerjakan tugas sekolah dan mengaji bersama. Sungguh indahnya.

Kini aku tidak bisa menikmati hari indah lagi, mimpi-mimpi mengharuskan aku jauh dari realitas hidupku. Disini aku hanya bisa bernyanyi mengenang masa kecilku, dengan menyanyi aku bisa merasakannya kembali. Menjauh dari rasa alienasi yang menyakitkan.



Di sini negeri kami

Tempat padi terhampar

Samudera kaya raya

Tanah kami subur Tuhan

Dinegeri permai ini

Berjuta rakyat bersimbah luka

Anak kurus tak sekolah

Pemuda desa tak kerja

Mereka dirampas haknya

Tergusur dan lapar

Bunda relakan darah juang kami

Tuk membebaskan rakyat

Mereka dirampas haknya

Tergusur dan lapar

Bunda relakan darah juang kami

Padamu kami berjanji

(lagu pembebasan)

Haruskah menyembah kebodohan kami lagi Tuhan?. Kembali menjalankan ritus-ritus aneh. Jauh dari gemerlapnya dunia.


Bersambung…………

Tidak ada komentar: