Sabtu, 18 Desember 2010

Catatan Untuk Aminah

“Saya kasi masuk telunjuk ku. Tak bertahan lama nafasnya kemudian bagai kuda yang habis di pacu, matanya layaknya orang pingsan.” Itulah sebagian kalimat yang teman saya ceritakan beberapa waktu lalu. Ia menceritakan pengalamannya berpacaran dengan, sebut saja Aminah.

Seminggu sebelum ia menceritakan pengalaman bejatnya ini, saya kebetulan ketemu dengan Aminah. Pada kesempatan itu kami berdiskusi panjang tentang banyak hal. Termasuk tentang agama. Yang diperdebatkan apakah agama itu punya kontribusi bagi perbaikan moralitas seseorang. Bagi dia, agama sangat memiliki peran untuk itu. Tapi bagi saya, agama sudah tak lagi punya taji.

Aminah adalah seorang mahasiswi universitas bergengsi di Makassar. Saya mengenal Aminah tahun lalu. Pertama kali bertemu Aminah, tak terbersit sedikit pun pikiran kalau ia cewek ‘tak baik’. Ia tampak kalem. Kalau melangkah kelihatan hati-hati. Memakai pakaian muslimah dengan jilbab yang lebar sampai mendekati lutut. Saking perfect nya, saya melihat semua perilakunya sesuai dengan tuntutan ayat dan hadist. Inilah wanita, dalam Alquran sebagai penghuni surga. Saya kaget saat pertama kali tahu kalau ternyata berpacaran dengan teman saya.

“Islam itu agama yang sempurna, tak tersisa sedikit pun pertanyaan untuknya.” Itulah sedikit kalimat yang keluar dari mulut manis Aminah saat berdiskusi. Aminah membantah pernyataan saya kalau kita tak butuh agama. Menurut Aminah, agama penting untuk menjaga moralitas manusia. Dengan beragama kita bisa menghindarkan bangsa dari jurang kehancuran. Dalam Alquran tercatat ada banyak umat manusia dimusnahkan Tuhan karena menolak kebenaran suatu agama. Lihat saja bagaimana sejarah umat Nabi Luth yang membangkang tersapu gelombang tsunami.

Tapi saya keukeh beranggapan agama tak lagi punya relevansi bagi perbaikan moralitas umat di era modern ini. Agama hanya dijadikan lukisan penghias dinding kehidupan. Agama tak lagi dihayati secara esensial. Tapi telah menjelma menjadi sebuah ritual yang bersifat formal semata. Orang kini memperlakukan agama layaknya buku-buku yang hanya disimpan di rak sebagai penghias agar terkesan intelek. Di umbar di Kartu Tanda Penduduk sebagai penyelamat dari hukuman negara karena melarang tak beragama.

Aminah tak mau menerima argumen itu. Ia malah memperlihatkan muka tak bersahabat. Dengan sedikit jengkel berseru, “semoga Allah menujukkan mu jalan menuju pada-Nya.”

Merasa kondisi memanas, dengan memperkecil intonasi saya menjelaskan secara hati-hati landasan pemikiran saya. Saya mengatakan kalau kapitalisme telah merubah semuanya secara drastis. Seseorang yang mengkonsumsi barang tak lagi bermaksud memperoleh manfaat. Dikatakan bermanfaat bila memenuhi kepuasan untuk memenuhi kehidupan semata. Di era globalisasi ini mengkonsumsi barang tak lagi dilihat dari manfaat an sich, namun sudah jauh melampauinya. Yaitu sebagai pendongkrak prestise atau harga diri. Maka tak salah orang berlomba-lomba membeli Handphone blackberry, padahal blackberry tak beda jauh dengan Handphone merk Mito. Begitu pula yang terjadi dengan agama. Agama hanya dimanfaatkan sebaga “juru selamat” dari represivitas negara.

Contoh paling riil untuk Aminah, setelah seminggu berdiskusi dengan saya. Dimana posisi Tuhan saat jari teman saya memasuki wilayah tak terlarangnya? Apakah Tuhan ada di jari-jari? Dalam agama, aturan tentang zina sudah diatur secara jelas. “Laa Takrabul zinna,” Janganlah sekali-kali mendekati zina. Jangankan memasukkan jari, mendekati saja dilarang. Inikah arti agama? Wallahu alam!

Tidak ada komentar: