Sabtu, 18 Desember 2010

Identitas dan Menginap

Rumah Singgah

Di Jakarta dan kota besar lainnya, kolong jembatan, trotoar, dijadikan sebagian orang yang tak beruntung sebagai sebuah rumah. Orang-orang seperti inilah yang kemudian dinamakan masyarakat jalanan. Mereka tak memiliki rumah permanen untuk digunakan sebagai tempat tinggal. Bagi mereka, setiap tempat adalah rumah. Mereka inilah sedikit dari banyaknya orang yang menjadi korban ganasnya kota.

Belakangan, pemerintah dan masyarakat dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat membuat sebuah program yaitu rumah singgah. Rumah singgah sendiri di buat hanya sebagai tempat menginap (baca: singgah). Bila matahari mulai terbenam, mereka akan berbondong-bondong datang. Bagi mereka, rumah singgah merupakan alternativ. Tempat itu masih baik ketimbang menginap di kolom jembatan, trotoar dan pinggiran toko.
Rumah singgah bukan tempat yang permanen, yang bisa mereka tempati selamanya. Rumah singgah, seperti namanya, hanya dijadikan tempat singgah sementara pada malam hari. Keesokan harinya, mereka meninggalkannya untuk mencari kehidupan. Bagi mereka tak ada kalimat: Rumah ku, surga ku. Sebab itu bukanlah rumahnya. Rumah singgah hanyalah tempat berteduh sementara waktu.

Rumah singgah bukanlah tempat bagi proses pencapaian sebuah tujuan. Maksudnya, rumah singgah tak bisa menawarkan sebuah harapan bagi hidup yang lebih baik. Beda dengan rumah pada umumnya yang digunakan sebagai bagian dari elemen pendukung pencapai cita-cita. Di rumah kita bisa belajar, bermain, membikin anak maupun lainnya. Rumah tinggal bukanlah sebuah alternatif.


Identitas, Bukan Rumah Singgah

Lalu apa kaitannya rumah singgah dengan identitas? Beberapa hari lalu teman saya bilang begini: Saya mau cari kos, mulai bosan ma nginap di identitas, gak ada yang temani. Pertanyaan sederhananya, di posisi manakah kita menempatkan identitas? Apakah sebagai rumah singgah atau rumah dalam artian umum. Kalau kita sepakat dengan pilihan pertama, menginap bukan lagi kewajiban. Tapi jika pilihan jatuh pada poin kedua, menginap merupakan kewajiban. Saya mengatakannya wajib sebab kalau kita tak lagi menginap disitu, tak ada lagi artinya sebagai rumah. Sebab tak di tinggali. Dikatakan rumah jika ada yang meninggalinya. Jika semua orang yang merasa memiliki nya tak lagi berada disitu, dia kemudian hanya menjadi bangunan. Dan tak ada bedanya dengan toko, kantor, dan hotel.

Realitasnya, saya melihat identitas tak lagi di jadikan sebagai sebuah rumah. Banyak orang-orang di dalamnya menggunakannya sebagai tempat untuk sekadar singgah karena capek seharian kuliah, atau sekadar sebagai ajang kumpul-kumpul. Atau hanya sebagai tempat singgah karena tak memiliki kos atau rumah tinggal. Saya berani berkata demikian karena saya tak lagi melihat identitas digunakan sebagai tempat untuk menapaki kehidupan mencapai cita-cita. Misalnya, untuk diskusi, belajar dll. Kita hanya datang, duduk di ruang tamu cerita yang tak jelas, atau nonton Televisi, sesaat kemudian ambil posisi kemudian tidur.

Maka tak lah salah kalau ada sebagian, termasuk saya memilih menginap di rumah sendiri. Bukan di identitas. Menurut saya, tak ada lagi hal yang membuat identitas istimewa dari rumah sendiri. Tokh di identitas kita hanya datang tidur, lalu beramal buat sang nyamuk yang banyak nya minta ampun. Atau sebagai tempat meluapkan rasa sepi. Hanya orang sepi yang mencari keramaian.

Mungkin sudah saatnya kita merubah itu semua, menganggap identitas tak lagi sebagai rumah singgah tapi lebih dari itu rumah yang ideal. Yang di dalamnya kita ditempa untuk mencapai cita-cita dengan berdiskusi, berdiskusi dan membaca. Sehingga identitas layak di beri label, SURGA.

1 komentar:

coretan anak gembala mengatakan...

we syukri... adaji kosanku nah!!! tapi tetap ja mau menginap di identitas...
saya hanya ingin menikmati masa-masa kepengurusanku yang tinggal beberapa bulan lagi!!!!!

tidak semua yang kau bilang itu benar! z tahuji apa yang kau mau!!!