Jumat, 06 Mei 2011

Menyibak Selubung Ideologis Pemikiran Islam Mahzab Garis Keras

“Semua pemerintahan selain Islam tidak dibenarkan dan merupakan pemerintahan kufur.” Petikan tulisan diatas saya ambil dari tulisan balasan saudara Firman Gani yang di muat di Rubrik Opini PK identitas Awal Agustus atas tulisan saya di rubrik Bias edisi Akhir Juni 2010. Judul tulisan saya saat itu, Negara Islam, No Way. Dari bahasa yang di lontarkan sodara Firman dalam tulisannya, saya melihat ada kesalahan fatal dalam menafsirkannya. Parahnya, sodara Firman secara implisit mengatakan kalau saya congkak dan salah baca. Tapi saya sendiri tidak akan mengomentari bahasa-bahasa seperti itu. Menurut saya, lontaran seperti itu tidak lahir dari rasio yang sehat, namun datang dari nafsu amarah yang menggebu.

Dari hasil pencarian saya di beberapa kamus dan mesin pencari Google, secara bahasa kafir berasal dari kata kufur yang artinya menutupi kebenaran, melanggar kebenaran yang telah diketahui dan tidak berterima kasih. Kata jamak dari kafir adalah kaafirun atau kuffar. Kata kafir dan derivasinya disebutkan sebanyak 525 kali dalam Al Qur’an. Semuanya mengacu pada perbuatan mengingkari Allah swt. Kalau kita cermati, arti kafir yang paling dominan disebutkan dalam Al Qur’an adalah pengingkaran terhadap Allah dan Rasul-Nya, khususnya Muhammad saw. dengan ajaran-ajaran yang dibawanya.

Jadi, orang kafir adalah mereka yang menolak, menentang, mendustakan, mengingkari, dan bahkan anti kebenaran. Seseorang disebut kafir apabila melihat sinar kebenaran, ia akan memejamkan matanya. Apabila mendengar ajakan kebenaran, ia menutupi telinganya. Ia tidak mau mempertimbangkan dalil apa pun yang disampaikan padanya dan tidak bersedia tunduk pada sebuah argumen meski telah mengusik nuraninya.

Nah, disinilah titik krusialnya. Apakah islam selain tafsiran sodara Firman lantas bisa kita cap kafir? Karena banyak umat islam sendiri, termasuk para ulama (baca: ulama NU) menolak keras pendirian Negara Islam. Pada titik inilah saya berbeda pemahaman dengan sodara Firman, bukan persoalan lain. Apalagi sampai berdebat soal sejarah Kebangkitan Nasional. Bukan itu esensi tulisan yang ingin saya sampaikan.

Perlu juga diketahui, tulisan saya tidak bermaksud menimbulkan islamophobia. Saya hanya ingin semua umat manusia saling menghargai, tidak saling menghujat, cinta damai. Bisa menerima perbedaan pendapat. Dan, cita-cita inilah yang kadang disalah-tafsirkan oleh orang-orang yang membenci Nucholis Madjid dan Gusdur yang dengan gencar mewacanakan pluralisme. Bagi saya, bukan Negara Islam yang menjadi keharusan, tapi pluralisme. Sebuah sikap yang saling menghargai, saling memberikan kesempatan mengeluarkan semua potensi yang ada. Dan, inilah inti demokrasi. Lalu apa alasan menolak demokrasi?

Mungkin kita harus sedikit merenung, kenapa Tuhan menciptakan manusia dengan bersuku-suku, berbangsa-bangsa. Ini tidak lain agar mereka saling berbuat dalam kebaikan dan taqwa. Bukan malah sebaliknya, mencap orang lain kafir.
Landasan saya mengatakan pemahaman islam macam Firman bisa menggiring islam dari agama menjadi ideologi? Kalau kita ingin membuka selubung “ideologis” pemikiran Firman, kita bisa melacaknya dari landasan pemahamannya. Dalam hal ini filsafat yang mendasarinya. Meskipun saudara Firman sendiri akan membantah kalau sedang berfilsafat. Namun, kalau di lacak secara hati-hati, kita bisa menemukan bahwa sodara Firman telah terkontaminasi paradigma positivistik. Sesuatu yang tidak mungkin disadarinya, baik olehnya maupun oleh pengikutnya yang lain.

Salah seorang pendiri Mahzab Frankfurt, Max Hokheimer menunjukkan tiga pengandaian dasar yang membuat paradigma posistivistik menjadi ideologi dalam arti ketat. Pertama, paradigma positivistik mengandaikan bahwa pengetahuan manusia tidak menyejarah atau ahistoris, dan karenanya teori yang dihasilkan juga ahistoris dan asosial, maka tak salah Firman menganggap saya dan atau yang berpikiran lain dari dia sebagai kafir. Berdasarkan ciri ahistorisnya itu, muncullah pengandaian kedua, yaitu pengetahuan bersifat netral. Teori merupakan dekskripsi murni tentang fakta, yang merupakan “pengetahuan demi pengetahuan.” Akhirnya, karena pengetahuan bersifat netral, maka ia terpisah dari praxis. Proses penelitian dipisahkan dari tindakan etis, dan pengetetahuan dapat dipisahkan dari kepentingan.

Lebih lanjut Hokheimer menjelaskan, sifat ideologis paradigma positivistik itu tampak dalam tiga gejala. Pertama, dengan anggapan teori itu ahistoris, ia mengklaim diri universal, berlaku dimana saja secara transendental dan suprasosial sehingga melupakan proses kehidupan dalam masyarakat real. Maka tak salah saudara Firman kemudian ingin menerapkan Negara Islam di Negara Indonesia yang majemuk ini. Ia tidak akan mau tahu akan perbedaan konteks antara Negara Timur-tengah sana dengan Indonesia. Bagi dia, pemikiran yang berbeda dengan mereka adalah salah dan kufur. Salah dan kufur artinya apa? Bahwa pemikiran yang sah ada di muka bumi hanya pemikiran kelompoknya, selain itu harus dibumihanguskan. Inilah kenapa saya mengatakan bahwa islam tak akan jauh dari bayang-bayang totaliterianisme.

Kedua, dengan mengangap diri netral, paradigma ini berdiam diri terhadap masyarakat yang menjadi objeknya dan membenarkan kenyataan tanpa mempertanyakannya. Firman tak mempertanyakan pemikirannya sendiri, dan menerapkan teorinya secara taken for granted. Ciri-cirinya, tafsirnya lah yang paling sahih. Ketiga, yang tak kalah pentingnya, dengan memisahkan diri dari praxis, ia hanya mengejar teori demi teori dan karenanya tidak memiliki implikasi praktis.

Dari penjelasan diatas, tak salah kalau senior saya Muh Absariarpin mengatakan antara islam versi Firman dengan Marxisme ortodoks tak ada bedanya. Menurutnya, kedua pemikiran tersebut meskipun saling bertentangan, sama-sama berlandaskan diri pada paradigma positivistik. Bagi Marxisme, kebenaran itu hanya ada dan pasti ada di Sosialisme Komunisme, sementara bagi Firman, kebenaran itu hanya ada di Negara Islam. Peran subjek kemudian diabaikan, gerak sejarah dilepaskan dari subjek penggerak sejarah itu sendiri.

Tidak ada komentar: