Jumat, 06 Mei 2011

‘Seksualitas menyimpang’ dalam telaah Faucault

Beredarnya video ‘panas’ yang melibatkan tiga artis papan atas Indonesia belakangan ini menyita perhatian masyarakat Indonesia. Video syur yang melibatkan Luna Maya, Ariel dan Cut Tari tak hanya diburu ‘kolektor’ video porno, tapi telah beredar bebas dikalangan pelajar dan mahasiswa. Bahkan, anggota dewan yang terhormat menjadikan berita ini sebagai guyonan saat rapat resmi kenegaraan.

Selain video, berita terkait juga di incar masyarakat, baik di media cetak maupun media elektronik. Hal ini bisa dibuktikan dengan meningkatnya rating pemberitaan acara televisi, khususnya infotainment. Indikasi lainnya bisa dilihat dari sepuluh informasi yang paling banyak diakses masyarakat dalam satu bulan terakhir.

Besarnya perhatian masyarakat mengakibatkan sejumlah kalangan angkat bicara. Mulai dari agamawan, sosiolog, dan seksolog. Mereka semua menghujat perilaku tersebut. Seksolog ternama, dr Boyke Dian Nugraha sampai mengatakan Ariel sudah tak waras. Dalam istilah medisnya, skopofolia yaitu kelainan seks dengan menonton adegan syur dirinya sendiri untuk memperoleh kenikmatan. Ini disimpulkannya setelah mendengar kabar adanya 29 video serupa dengan wanita lainnya yang belum di publikasikan.

Indonesia sendiri telah mengenal budaya seks (baca: budaya yang melibatkan seks didalamnya) sejak lama, yaitu pada abad ke-8. Relief Karmawibangga bagian bawah di Borobudur menggambarkan posisi ideal bercinta ala Kamasutra. Hingga akhirnya ditutup pemerintah kolonialis Belanda. Alasannya, tidak sesuai norma agamanya.

Sementara itu, pada abad ke-11, muncul sekte varian Buddha di Sumatera, Jawa dan Bali. Namanya Tantra. Salah satu ajarannya, untuk berhubungan dengan Tuhan dan mencapai surga, pemeluknya harus makan ikan, menari dan bersenggama. Lalu, Candi Sukuh yang dibuat pada tahun 1437 di dinding candi banyak gambar memuat perwujudan genital pria dan wanita.

Akhirnya pada tahun 1906, seorang Mas Ngabehi, anggota dewan penasihat Raja Pakubuwana X, dipermalukan di harian Darmo Konda, harian rakyat setempat. Sang dewan ketahuan berbuat mesum dengan seorang penari ronggeng.


Seksualitas dan episteme

Dari runutan sejarah diatas dapat kita lihat konsep masyarakat mengenai apa yang dilarang dan yang tidak dilarang, apa yang benar dan salah terjadi berbedaan. Pada awalnya, sesuatu yang berbau seksualitas tidak ditutup-tutupi. Kata-kata yang bernada seks dilontarkan tanpa ragu. Bahkan secara terang-terangan seksualitas menjadi bagian penting dalam setiap acara resmi. Para pandita agung juga tak ragu untuk melukis gambar-gambar erotis di dinding-dinding candi. Baru pada awal abad ke-19 seksualitas kemudian benar-benar dibungkam.

Dalam persfektif Faucault, terjadinya perbedaan pandangan mengenai seksualitas di tiap zaman disebabkan oleh struktur diskursif yang berlaku pada zaman itu. Menurutnya, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif yaitu pandangan yang mendefinisikan bahwa yang benar ini dan lainnya tidak. Inilah oleh Faucault dinamakan episteme yaitu keseluruhan ruang bermakna, stratigrafi yang mendasari kehidupan intelektual, serta kumpulan pra-pengandaian suatu zaman.

Menurut Ankersmit, salah seorang ‘penerjemah’ pemikiran Faucault ada tiga karakteristik episteme yang diajukan filsuf kelahiran Poitiers, Prancis tersebut. Pertama, episteme menentukan cara kita melihat dan mengalami kenyataan. Kenyataan itu subjektif dan seringkali tidak disadari.

Kedua, karakter episteme yang lainnya adalah adanya larangan, penyangkalan, pengabaian dan penolakan. Episteme itu mengendalikan dan mengontrol pengetahuan manusia melalui tabu, kegilaan dan ketidak-benaran. Cap gila yang dilabelkan dr. boyke terhadap Ariel menunjukkan perannya sebagai agent pengontrol. Bidang psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu lainnya inilah penanggung-jawab utama pembungkam ‘seksualitas menyimpang’.

Ketiga, dalam episteme terdapat hubungan antara bahasa dan realitas. Umumnya, bahasa dipandang sebagai medium yang transparan, bahasa adalah refleksi kenyataan. Bagi Faucault, bahasa selalu ditentukan episteme yaitu bentuk penggunaan bahasa yang dipakai untuk merumuskan kebenaran. Dengan demikian, bahasa dan episteme tidak lah pasif melainkan aktif. Bahasa turut menentukan dan menciptakan kebenaran.

Kalau kita lacak secara saksama, adanya penyangkalan terhadap ‘seksualitas menyimpang’ ala Ariel, Luna Maya dan Cut Tari terkait dengan episteme (penerimaan zaman) terhadap sesuatu yang tak bertujuan, tak bersifat produktif, dll. Intinya, adanya penolakan besar-besaran oleh masyarakat kita lebih kepada pola pokir masyarakat yang telah dijangkiti ‘virus’ kapitalisme. Segala sesuatu jika tidak diatur untuk membangun keturunan (baca: reproduktif) dan yang tidak diidealkan berdasarkan tujuan yang sama tidak lagi memiliki tempat dan tidak boleh bersuara; diusir, disangkal dan ditumpas sampai hanya kebungkaman yang tersisa. Seksualitas bukan saja tidak ada, melainkan tidak boleh hadir dan segera ditumpas begitu tampil dalam tindak atau wicara.

Penolakan pun terpaksa menerima kompromi jika berbagai tindakan ‘seksualitas menyimpang’ itu tak terelakkan. Maka dibuanglah ‘seksualitas menyimpang’ itu ditempat dimana bisa diterima, kalau bukan disektor produktif paling tidak bisa mendatangkan keutungan. Contohnya, rumah pelacuran, diskotik, dll.

Di Barat masa awal terjadinya represi seksual yaitu pada abad ke-17. Puncaknya ketika ratu Victoria memerintah Inggris. Ketika itu, seksualitas betul-betul ditabukan. Kalau kita baca sejarah secara saksama, pada abad ke-17 inilah awal perkembangan kapitalisme. Dengan begitu, riwayat sejarah seksualitas berikut riwayat represinya tidak lain merupakan sejarah kelam penguasaan alat-alat produksi.
Dalam suatu diskusi tentang pornografi dan pornoaksi, salah seorang teman saya berujar, penolakan masyarakat terhadap video Aril, Luna Maya dan Cut Tari lebih diakibatkan ketakutan mereka akan efek video tersebut bagi generasi bangsa. Menurut pemberitaan televisi swasta, video syur tersebut telah menelan beberapa korban. Salah seorang kakek tua di Sumatra memperkosa pembantunya usai menonton video Ariel. Kemudian ada seorang anak yang menjadi korban pelecehan setelah melihat adegan yang sama.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis kalau semenjak beredarnya video ini terjadi peningkatan kejahatan seksual terhadap anak-anak. Menurut Masnah, ketua KPAI, dari hasil survei yang mereka lalukan terjadi peningkatan kejahatan seksual terhadap anak-anak sebesar duapuluh persen semenjak video beredar. Tapi pertanyaannya, banyaknya kasus tersebut apakah punya korelasi langsung dengan beredarnya video itu? Bukankah kejadian pemerkosaan, pencabulan terhadap anak-anak juga terjadi sebelumnya. Jauh hari sebelum video ini beredar. Hanya saja KPAI terlihat bertindak serius saat kasus ini merebak. Saya beranggapan, KPAI hanya numpang tenar saja sebab isu video ini begitu menyedot perhatian media.

Mantan Presiden Indonesia, Abdurahman Wahid pernah mengatakan banyaknya tindakan kejahatan, termasuk kejahatan kelamin membuktikan kalau masyarakat Indonesia yang—katanya—beragama ternyata hanya isapan jempol belaka. Masyarakat kita merupakan masyarakat yang munafik, sibuk, dan suka menghitung-hitung sesuatu secara ekonomis. Jika tak dianggap produktif, tak bisa menghasilkan uang maka sesuatu menjadi haram, disangkal bahkan dianggap tak waras.

Nah, satu pertanyaan terakhir: Apakah Ariel, Luna, dan Cut Tari yang berani bertindak subversif dengan melanggar norma dan moralitas agama itu benar-benar tak waras lagi atau sebaliknya, dr. Boyke dan masyarakat kita yang—dengan rasa hormat—sebetulnya gila? Tabik!

Tidak ada komentar: