Selasa, 27 Desember 2011

---Tentang Kepala Yang Sakit---

Makassar, 24 Desember 2011

Tiga hari baru saja berlalu, saat mengantarnya pulang dari kampus. Pada waktu itu, ia di daulat jadi asisten bagi mahasiswa FKM asal Gorontalo yang datang praktek di laboratorium bersama FKM Unhas. Sebelum berangkat ke kampus, ia memberi tahu saya lewat sms kalau keadaannya lagi kurang fit. Ia mengalami sakit kepala dan sedikit mual. Awalnya saya menganggapnya sakit biasa, dan tak jadi soal. Dan dia pun menganggap demikian. Ia memaksakan diri berangkat ke kampus, sebelumnya terlebih dahulu ia singgah di tempat kerjanya. Di Rumah Sakit Pendidikan Unhas.
Ada cerita lucu ketika dia singgah. Ia ditegur atasannya karena memakai celana jeans. Dia sms ke saya “ Sayang, ditegur ka karena make celana jeans ke kantor.” Membaca sms itu, saya hanya bisa tersenyum geli. Saya tak bisa membayangkan mukanya pada saat di tegur. Pasti lucu. Ato malah sebaliknya, menyeramkan. Saya tahu, pasti dia sangat malu ditegur meski itu hanya teguran sepele. Tokh memang tujuan awal dia mau ke kampus, bukan ke kantor. Bagi saya, itu taka pa. Saya memberi tahunya lewat sms agar tak usah memikirkan soal tadi. Angap aja itu hal speele, keluar telinga kanan masuk telinga kiri.
Belum lupa saya akan kejadian tadi, di hp tiba2 berdering. Saya membacanyta. Saya melihat ada sms dia. Dia bilang kalau keplanya tambah sakit, ia juga sempat muntah. Dia meminta antuan saya untuk membelikan obat pereda nyeri. Tapi saya tak membelikannya, saya justru membelikannya obat maagh. Saya piker mungkin dia maag, makanya muntah. Saya membelikan juga susu, mungkin tadi pagi dia belum makan.
Di kampus saya menemuinya di lt.3, saya lihat mukanya sedikit pucat. Kasian dia. Padahal sehrusnya hari ini dia sehat, dia harus sehat agar bisa bisa menuntun praktikan dengan lebih baik. Tapi sayang, Tuhan mungkin terllau menyanyaginya. Saya meberikan obar dan susu yang saya bwa. Dia bertanya, kok obat maag? Saya bilang, tadi saya naya sama apotekernya kalau sakit kepa gak ciocok minum obat pereda nyeri. Dia mengeti juga rupanya. Dia kemudian msuk kembali tanpa lupa bilang terimaksih. Kata terimaksh dari mulutnya paling syaa benci. Seolah-olah apa yang saya lakukan membutuhkan pamrih. Saya tahu, pada saat saya menyatakan suka padanya, pada saat itu pula kewajibab menjanya melekat. Saya berjannji untuk menjaganya, dalam suka maupun duka. Meski saya tahu, saya belum bisa menjaganya secra ituh. Ada wilayah-wilayah yang tak bisa saya langgar. Kami belum resmi secara syah menjadi sebuah pasangan. Kami belm legal sebagi sebuah suami istri. Saya coba membatasi diri.
Sememtara dia melanjutkja kegiatanya, saya turun menuju perpustkaan. Sambil menunggu, siapa tahu dia ambah parah. Kalau saja tambah parah, saya kan memintanya pulang dan minta dia izin keatsannya. Saya takut dia apa-apa. Saya menunggu dengan was-was. Belum cukup 1 jam saya di perpust, dia membritahu say lewat sms klaau dia mutah lagi. Dia meminta sya ke atas, dan seklaigus mengantar pulang. Dia sudah tak tahan sakitnya. Saya buru-buru menuju lantai 3. Menemuinya. Tapi tak saya lihat. Agaknya dia masih di dalam. Say meng-sms dia agar keluar. Tapi sms nya tertunda. Jaringan lagi error. Beberapa menit kemudian, alya, teman nya yang juga teman saya, menelpon saya gar datang menjempunya di lt.3. saya bilang saya ada di lt.3. beberpa detik kelmudian saya melihat dia di depoan pintu,dengan muka yang snagat pucat. Saya menghampirinya. Dan bilang supaya dia siap-iap untuk pulang saja. Dia msuk sebentar mengambil tasnya. Dan kemi sama-sam turun dari lantai 3. Waktu itu, saya ingin seklai emmapahnya, tapi saya tak berani terllau jauh, tak enak nnati kalau da orang lain atau siapa yang melihat. Nanti bisa menimbulkan fitnah. Saya tak mau itu.
Saya mengantar di apulang dengan motor butut, motor kesayangan ku. Di tengah jalan, dia menyandarkan kepal anya pada bahu ku. Saya kasian dia. Agaknya kepalnya sakit sekali. Mukanya tambah pucat. Kami lmelewati jalan tanpa helm. Dan diseberang jalan ada polisi. Dengan sok saya menatap polisi itu, dan dia terlihat was-was, kalau saja polisi itu mengejar. Tapi saya ingatkan kalau tak usah khwatir. Saya kebal polisi, kataku menenangkan.
Kami ampai di rumahnya. Sebelum turun, saya mewanti dia agar lekas makan dan langsung tidur. Sgaknya dia capek. Sousinya ya iistrahat. Hanya itu cara paling jitu. Di jalan, saya was-was kalau terjadi apa2 dengan dia, say takut kehilangan dia. Saya tahu, saya mencintainya melebihi diriku. Say merindukannya bahkan dihampir tiap perpindahan jarum detik jam. Saya tak tahu, apa bisa kau hidup tanpamya. Aku merindukannya.
Siang itu dia istrahat. Saya meg sms dia pada sore hari. Mennayakan tentang sakitnya. Alhamdulilah sudah cukup sehat, dan tak terllau sakit. Say amnegucap syukur pada tuhan, karena telah menyembuhkannya hari itu. Terimakasih Tuhan, kalu telah menyembuh kannya. Begitulah sekelumit cerita kami tentang kepal yang sakit.

Tidak ada komentar: