Selasa, 27 Desember 2011

---Fajar Itu Disana, Di Sudut Bola Matamu---

Makassar, 10 Desember 2011 Pukul 23.00 Wita

“Kami menjalaninya dengan resmi pada suatu malam yang panjang, di sebuah café, Makassar Town Square. Saya merasa, malam itu awal dari sejarah yang akan kami ukir, minggu 10 Desember 2011 pukul 20.00 Wita.”

Sore hari, seperti biasa, ada deringan nada getar dari Hp butut merek Nokia N1200 yang saya simpan tergeletak di atas tempat tidur kusam. Saya belum lagi bangun dari pembaringan. Dua minggu belakangan ini segala aktivitas hancur berantakan. Entah kenapa, semenjak kehadiran dia, aku tak bisa menjalani semuanya dengan benar. Semua daya pikiran terfokus padanya. Padahal saya belum memilki hubungan apa-apa denganya.
Saya dengan mata sedikit terpejam, membuka sms itu dan terkaget saat melihat dia mengajak saya keluar. Saya seketika terbangun dari tempat tidur, pergi ke kamar kecil sekaligus mencuci muka. Saya buru-buru kembali ke kamar dan meraih hp di atas meja. Saya membuka kembali sms tadi, siapa tahu salah baca, atau tadi saya lagi ngigo. Berkali-kali saya buka itu sms, hasil nya tetap sama, yang terbaca “Malam minggu keluar yuk, ke Popsa.”
Saya sebenarnya sudah tak ingin berhubungan dengannya, cukup saja persoalan 2 minggu lalu membuat saya kapok. Ya, waktu itu saya memutuskan untuk tidak “mengejarnya” lagi, lantaran dia menolak meresmikan hubungan menjadi sebuah ikatan resmi bernama pacaran. Saya berpikir, itu semacam cara paling halus dari sebuah penolakan. Saya paham itu, sangat paham.
Dengan hati yang agak berat, saya mengatakan “ya’. Saya berpikir, tak ada salahnya saya menemaninya, tokh mungkin ini cara saya melupakannya dengan tak lari darinya. Saya tahu, semakin saya melupakan dia, semakin sadar, perasaaan ini tambah besar. Rindu saya bertambah. Ini rindu terlarang bukan? Tapi persetan, saya siap mencintainya dalam diam, mencintainya dengan kesendirian. Mencintai kan tokh tak harus memiliki? Cinta itu adalah bagaimana cara kita merelakan semuanya, berjalan sesuai kenyataan.
Jeda antara dia sms dengan waktu pertemuannya adalah dua hari. Jeda waktu itu, saya berpikir keras, pergi tidak ya? Pergi berarti siap mengingat kembali dan membuat rasa ini makin menggebu. Tidak berarti lari dari kenyataan. Semua serba rumit.
Saya menjemputnya dengan persiapan ‘matang’, dengan celana yang masih basah. Sudah tiga hari ini hujan terus, celana itu saya cuci kemarin, saya berpikir, celana ini akan kering tepat saat saya akan berangkat. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Celana itu masih basah, serius, masih basah. Meski begitu, kretivitas tak lantas hilang, saya mengambil jalan pintas, dengan menyetrikanya. Tapi mungkin dasar lagi apes, listrik lagi tak bersahabat. Tenaga listrik tak bisa menghanagtkan setrika, tegangan seharian itu lagi turun. Bayangkan saja, bagaimana paniknya saya. Saya tak boleh tampil seadanya. Saya harus tampil perfek, paling tidak saya berusaha. Berusaha membuat dia terpikat. Itulah cara pecinta yang naïf belajar bagaiamana menghargai perasaan dan kata hati.
Sore itu saya menjemput di rumahnya, tepat setelah kami sholat magrib. Dengan keyakinan penuh meluncur menuju rumahnya. Sesampainya disana, saya sms dia kalau udah nyampe. Dia keluar dengan, seperti biasa, senyuman yang selalu membuat saya mati kutu. Saya suka mengatakan itu sebagai seyuman maut. Senyuman mematikan, sebab apalagi bertingkah, berkutik saja hati saya sudah tak mampu.
Sebelum berangkat, saya disuruh masuk, orang tuanya mau kenal saya. Saya memang pernah bilang, “kamu kasi kenal saya ma ortu mu dong.” Biar saya enak bawa kamu pergi keluar. Tapi apa yang terjadi, saya kaget minta ampun, dia mirip mama saya. Atau itu hanya halusinasi … ya sudah, lewat aja.
Kami tak jadi ke tempat tujuan awal, sebab sore itu lagi hujan rintik, kami kemuadian memutuskan menuju Makassar Town Square (Mtos), kami sepakat datang nonton aja malam itu. Tapi sesampainya di studio, kami tak jadi nonton, waktu itu, dari list film yang ada, tak ada film yang membuat kami sepakat untuk menontomnya. Filmnya tak ada yang berkualitas. Semua film tentang pocong dan hal turunannya. Pokoknya tak ada! Titik!
Kami keluar dari studio, menuju toko buku yang ada disebalah, kami keliling mencari judul buku yang berkualitas. Tapi kami tak menemukannya. Ditempat itu, kami bercerita, dan saya agaknya merasakan hal lain, dia memegang dan sedikit manja. Saya awalnya menganggap itu sebagai hal biasa. Ya sudah, kami terus keliling sambil bercerita tentag suatu hal, tentang filsafat lah, tentang cinta, agama.
Sekira 40 menit kami berjalan disitu, kami memutuskan untuk turun ke lantai satu. Saya mengajak dia untuk jalan-jalan di luar saja, entah itu balapan dijalan melepas penat, ke pantai, atau kemana aja. Tapi ternyata langit sedang tak bersahabat, hujan masih rintik. Kami kemudian memutuskan naik ke atas, ke lantai tiga, menuju kafe. Dia bilang, ingin bercerita tentang suatu hal yang serius. Saya waktu itu, tahu apa yang akan dibicarakan. Tapi saya harus bersikap ‘kalem’. Tokh saya sudah janji tak akan memaksanya lagi untuk meresmikan hubungan. Saya tak ingin jadi lelaki egois dan arogan. Saya cukup satu kali diberi tahu.
Tapi dia mengawalinya sendiri. ‘Bagaimana kalau kita resmikan.”. maksudnya? Saya kemudian menjawab dengan sedikit pura-pura ‘bego’. Ada banyak hal yang kami bahas di tempat itu, termasuk mendengar curhatnya yang gak penting, gak penting karena bikin saya jadi gak enak hati alias jeales.
Tapi saya mau juga mendengarnya. Tak apa. Ini konsekuensi. Kami banyak bercerita, termasuk soal bagaimana hubungan kami ke depan, tiga bulan lagi saya harus pergi jauh, mengejar cita yang sempat tertunda. Setelah semua kami bahas, kami pun bersepakat mendeklarasikan hari itu sebagai hari jadian kami. Tanggal 10 Desember 2011 pukul 20.00 Wita. Itulah awal dari sejarah itu, sejarah yang akan terukir kelak. Saya sangat bahagia. Tak tahu, masih adakah hal di dunia yang membuat saya bahagia setelah malam itu. Wallahualam.
Tapi ada satu hal yang saya tangkap dari dia, ada keraguan d matanya. Pada secercah kalimat yang dia utarakan, tersembunyi keraguan yang menggunung. Saya maklumi, saya orang jauh. Bahkan lebih jauh dari yang diperkirakan. Sebab meskipun kami telah kenal sudah hampir enam tahun, tapi saya baru benar-benar mengenalnya 2 bulan belakangan ini saja. Saya menganggap keraguan itu merupakan hal wajar. Tinggal ke depan, saya mesti membuktikan kalau saya bisa dia percaya. Titik!
Malam itu, saya menjalani dengan indah, tak tahu dia, apakah mengalami hal yang sama. Semua masih misteri bagi saya. Saya juga malu menanyakannya.
Tapi ada satu hal yang perlu dia tahu, bahwa bagaimana pun, anugrah cinta yang Tuhan titipkan akan saya jaga dengan baik. Saya kan memupuknya, terus merawatnya hingga menjadi besar, seperti pohon-pohon di hutan Amazon sana. Saya berjanji pada diri untuk menghargai rasa yang dia simpan pada sudut kamar hati ku. Saya mencintainya dengan tulus, ingin memilikinya dengan pretensi tapi saya paham, semua itu harus dijalani dengan perlahan.
Semua itu mesti dijalani dengan hati-hati, sebab didepan ada banyak kerikil tajam menghadang. Saya bilang padanya, kita mesti saling menguatkan kalau hubungan kita mau langgeng. Hanya itu cara saya untuk mengingatkannya. Saya yakin, pada suatu titik kenangan itu, pada sebuah perjalanan panjang nan melelahkan. Saya yakin pada fajar disana, di sudut bola matanya yang jujur, tujuan itu bersembunyi dengan lugunya, ya, pada dirimulah saya akan datang kelak, mencuri kembali hartaku yang telah kau rampas. Sayang, maukah kau menjadi istriku?

Tidak ada komentar: