Sabtu, 13 Desember 2008

Tunggu: Akan ku lamar engkau dengan sekali onani

Tadi, aku malu bukan main?. Orang tuanya mengusirku tanpa perasaan. Harga diriku sebagai lelaki dan juga sebagai manusia terinjak-injak. Untung saja, hanya ada beberapa orang diruang tamu rumahnya yang megah. Diriku, kedua orang tuanya dan dua orang temanku.

***

Di momen bersejarah ini, dimana aku seorang lelaki yang miskin papa datang berniat melamarnya, seorang anak bangsawan kaya keturunan Bone, yang mengharuskan harta dan gelar sebagai syarat mutlak. Jangankan emas segempok, uang sepeser pun aku tidak punya. Hanya keberanian dan cinta yang ku andalkan. Lebih dari itu, aku tak memilikinya. Kalaupun ada, aku hanya mempunyai sperma. Beberapa kali ku katakan, aku ini bukan bangsawan, tidak berharta dan berpendidikan, namun ia tetap saja memaksaku meminangnya.

***

Dua tahun lalu, tepat tahun 2005 setelah menamatkan studi ditingkat SMA di daerah asal ku, Dompu NTB, aku nekat dengan uang 500 ribu, yang kuperoleh dengan menjual sawah sepetak satu-satunya yang diwariskan bapak sebelum meninggal berangkat mengadu nasib untuk kuliah menuju kota daeng Makassar. Dengan uang sekian, aku dituntut ekstra hemat membelanjakannya agar bisa sampai ke kota tujuan. Dalam hati, aku berharap semoga sesampai di kota angingmamiri mencari pekerjaan secepatnya demi memperoleh uang pendaftaran masuk universitas. Agak aneh memang, dengan modal uang yang semestinya habis di perjalanan aku kok berani berniat kuliah?. Bagiku, hidup ini bukan cuma uang, hidup butuh kenekatan dan kerja-keras, tidak sedikit orang yang tidak memiliki apapun mampu bangkit dan keluar dari penderitaan yang dialaminya. Aku ingat kata bapakku sebelum ia meninggal, "nak, uang bukalah segalanya uang itu cuma alat, yang utama itu kemauan dan kerja keras". Kata-kata tersebutlah yang terus memotivasiku dalam menjalani kehidupan.

***

Tepat pukul 14.00 wita kapal Tilongkabila jurusan Bima-Makassar yang kutumpangi merapat dipelabuhan Soekarno-Hatta. Kota tujuan telah ada depan mata. Namun, ketakutan menghantuiku, uang ku hanya tersisa Rp. 100.000,-. Perlahan aku menarik dompet ku yang telah usang dimakan usia. Mencari selembar kertas berisi alamat kampus yang aku peroleh dari tetangga yang dulu pernah bekerja sebagai cleaning servis di Unhas. Jl. Perintis Kemerdekaan IV km.10, begitulah nama alamatnya. Tanpa menunggu, aku langsung bertanya ke petugas pelabuhan yang kebetulan lewat di depanku. Dia menyarankanku menaiki becak menuju pasar sentral setelah itu menaiki mobil jurusan Daya. Walhasil, aku pun sampai di pintu 1 kampus unhas tamalanrea, aku sengaja meminta sopir menurunkanku disitu.

***

Sampai disitu, masalah belum kunjung selesai, justeru inilah awal dari cobaan yang akan datang bertubi-tubi. Yang kelak mengajarkan ku arti kehidupan sesungguhnya. Aku tidak tahu entah dimana aku berteduh malam ini. Sementara itu, perlahan namun pasti matahari masuk ke peraduannya untuk beristrahat sejenak menyongsong hari esok yang berarti malam segera tiba. Kala itu, aku bingung bukan main, kemana harus aku melangkah lagi, aku tidak memiliki teman apalagi saudara disini. Bermodal keberanian, aku menuju kampus, siapa tahu disana ada orang baik yang memberiku tempat menginap. Ditengah perjalanan, sekitar 20 meter dari pintu masuk aku melihat ada mesjid, dan terlintas dalam benakku untuk menginap disitu. Lega rasanya hari ini, paling tidak ada tempat untuk berteduh dari dingin dan hujan.

***

nyambung ntar ya?

1 komentar:

FIRMAN mengatakan...

ga ada cinta yang ada hanyalah seks dan nafsu