Kamis, 02 Juni 2011

Membincang Kembali Teori Evolusi

Dihari ketika Charles Darwin diminta Beagle, mahagurunya untuk berlayar mengelilingi dunia, ayahnya seketika menolak. Alasannya sederhana, perjalanan itu hanya dalih Darwin untuk lari dari pekerjaan serius. Tapi Darwin beruntung, berkat kemampuan Bealge meyakinkan ayahnya ia kemudian diberi ijin. Inilah tonggak awal bagi perjalanan ilmu pengetahuan barat.

Waktu itu, Darwin baru berumur dua puluh dua tahun. Darwin berangkat berlayar diatas kapal H.M.S Beagle tahun 1831. Lima tahun Darwin mengarungi dunia, dua pertiga waktunya dihabiskan di darat. Ia menyusuri pantai Amerika Selatan, menyelidiki pulau Galapagos dan menembus pulau-pulau Pasifik, samudra Hindia hingga selatan Samudra Atlantik. Dan kita tercengang: ‘pemalas’ ini berhasil mengguncang dunia.

Selama berlayar, Darwin membaca buku Charles Lyell, Princip of Geology. Buku itu berisi penjelasan penampilan geologis sebagai akibat proses bertahap selama proses yang panjang. Selama perjalanan, ia banyak menyaksikan keajaiban alam. Ia mengunjungi suku-suku primitif, menemukan fosil-fosil, meneliti tumbuhan dan juga binatang. Buku itu sangat membantunya, hingga suatu saat ketika ia mengirim surat ke keluarganya, “saya menyaksikan tanah-tanah seolah-olah saya mempunyai mata Lyell.”

Ia mencatat secara rinci dan panjang atas apa yang dilihat dan dialaminya dalam perjalanan. Berkat “kegemarannya” menulis itulah yang membuatnya kelak mendapat gelar naturalis sejati. Dan tulisan itulah yang membuatnya menjadi teoritis terkemuka dunia. Tulisan itu pula yang kedepannya menjadi kontroversial bagi agamawan, ilmuawan, dll. Darwin berkesimpulan, manusia itu berasal dari kera. Ia menamakan teori barunya sebagai teori evolusi.

Seabad lebih telah berlalu semenjak kontroversi itu pecah, di Ankara Turki lahirlah seorang penulis bernama Adnan Oktar. Pemuda yang taat beragama ini memiliki nama pena Harun Yahya kelak menjadi antitesa bagi pemikiran Darwin. Harun terbukti getol membantah teori evolusi Darwin. Sama seperti Darwin, walaupun tak memiliki latar sebagai ahli Biologi, berkat kegemarannya membaca ia akhirnya berhasil menerbitkan buku-buku yang menentang teori evolusi. Karya-karyanya disambut hangat pembaca dari Eropa hingga Indonesia.

Di Universitas Mimar Sinan tempatnya menuntut ilmu, Harun resah ke setiap orang, termasuk mahasiswa dan staf pengajar. Di setiap forum diskusi, di kantin kampus, di koridor-koridor kampus, seseorang dapat melihat Harun sedang menjelaskan kelemahan dan kesalahan teori evolusi. Menurutnya, teori itu dimunculkan oleh kelompok tertentu untuk melawan fakta penciptaan. Dengan menggunakan kedok sains, teori tersebut sebenarnya bertujuan untuk meracuni dan menghancurkan akidah dan akhlaq pemuda. Jika kebohongan ilmiah ini tidak dibongkar, maka akan muncul generasi yang tak memiliki nilai spiritual, moral dan religius.

Dari puluhan buku yang ditulisnya, harus dengan keras mengkritik filsafat materialistik yang menunggangi teori evolusi. Menurutnya, ini adalah agenda tersembunyi—yang belakangan—Harun menyebut kelompok itu sebagai Freemasonry. Kaum Freemason ini memiliki tujuan menghancurkan islam. Tentu harus dicatat, inilah kelemahan terbesar pemikiran Harun. Memulai sesuatu dari stereotype, tentu ini tak dibenarkan. Walaupun Harun dengan susah payah membuktikan kenyataan diatas. Tapi tetap, asumsi itu tak bisa dibenarkan.

Kalau kita amati seluruh buku tentang atheisme kontemporer, memang hampir semua argumen-argumennya bermuara pada Darwinisme, pada teori evolusi, pada teori seleksi alam. Jadi apa yang dicurigakan Harun ada benarnya. Hanya saja, bangunan epistemologis Harun terkesan tendensius.

Begitu mengakarnya Darwinisme, Lutfi Assyaukani pentolan JIL sampai membuat judul makalah yang terdengar profokatif. Bagi umat islam judul itu sangat dekat dengan syahadat. Kira-kira ashadu an laa ilaaha ila Allah ia ganti dengan ashadu an la ilaaha illa Darwin, tidak ada Tuhann selain Darwin. Artinya, tak ada Tuhan selain Darwin.

Di Prancis, jauh sebelum Harun lahir ada seorang ahli bahasa bernama Ferdinand D. Saussure. Ia belakangan disebut-sebut sebagai peletak dasar strukturalisme. Dalam teori strukturalis sebuah kata terdiri dari penanda dan petanda. Penanda adalah aspek material dan petanda adalah aspek mental. Contohnya buah Apel, ketika kita menyebut Apel, Apel (bunyinya) dan Apel (makna yang ada dibenak kita). Lalu apa kaitannya dengan teori evolusi? Begini, saling serang wacana antara kaum agamawan yang menentang teori evolusi dan kaum sekuler yang mendukungnya selama ini tak menemui jalan keluar, bahkan bisa dibilang buntu. Semua pihak saling mengklaim dirinya yang paling benar. Tapi apakah saling klaim itu hal yang benar? Disitulah teori strukturalisme disini layak diketengahkan.

Dalam teori pascastrukturalis, yang ditandai itu menjadi tidak penting karena penanda itu yang bermain. Makna itu lahir dari perbedaan antara penanda. Jadi kalau kita bicara tentang kucing, apa kucing? Kita tidak mendefinisikan satu binatang yang kita juga tidak bisa definisikan. Artinya tidak bisa mendefinisikan kucing, apa definisi kucing? Tidak bisa kan? Karena kucing baru kita mengerti kalau kita bandingkan dengan anjing. Juga soal teori evolusi itu hanya pengertian-pengertian lahir, makna yang lahir dari perbedaan, yang tidak pernah final, yang selalu ditunda makna finalnya. Tidak ada teori yang mutlak benar. Kita harus menyadarinya.

Salah seorang pemikir pascastrukturalis terkemuka, M. Faucault bahkan lebih jauh membuat kesimpulan. Pengetahuan itu berkelit-kelindan dengan kekuasaan, begitupula sebaliknya. Artinya, segala klaim atas kebenaran merupakan efek permainan kuasa. Siapa yang paling berkuasa, dialah yang menang dan dianggap sahih. Begitupula tentang dengan teori evolusi, kita sendiri tak punya otoritas untuk mengklaim teori itu salah? Apakah kita cukup representatif untuk mengklaim kebenaran? Dulu, orang yang mengatakan bumi mengeliling matahari pasti akan dicap gila. Lihat saja Copernikus yang di cap kafir, Descartes yang dibunuh. Tapi belakangan kita mahfum, ternyata pendapat mereka benar. Lalu bagaimana kalau suatu saat teori evolusi terbukti benar?

Kalau semua adalah relatif, dimana kita memposisikan diri dalam menanggapi teori evolusi? Solusi yang paling baik adalah dengan melihat dunia dengan tertawa. Tertawa adalah bagian dari cara kita melihat kebenaran, melihat dunia. Tertawa adalah cara orang melihat kebenaran supaya tak menjadi dogma. Tertawa juga menjungkirbalikkan apa yang telah ada. Intinya, semua memiliki potensi untuk memposisikan diri sebagai benar. Tinggal kita bijak memposisikan diri. Akhirnya semua adalah proses menjadi. Kita hanya bisa melihat teori evolusi sebagai hal yang ironik.

Selama ini kita menyikapi teori evolusi dengan kenak-kanakan. Menurut Richard Rorty, segala sesuatu harus dilihat dari gunanya. Kita mestinya berhenti berbicara tentang konsep atau gagasan yang hanya berputar-putar dengan masalah metafisis-filosofis. Kalau teori evolusi menyebabkan sikap rasialis, yang menggap ras Eropa sebagai makluk sempurna, maka silakan teori itu dienyahkan, titik!

Tidak ada komentar: